Dengan
langkah tegap, dia memasuki ruang Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Di sana,
nampak Rustam lagi sibuk membenahi beberapa arsip senat.
Rustam, teman kamar, juga teman kuliahnya di Fakultas Ekonomi. Tempat dia meminjam catatan, menyalin tugas, bahkan menyontek ujian. Juga kawan berbagi kisah soal asmara yang selalu kandas.
Pokoknya, Rustam segalanya, kecuali soal demonstrasi, Rustam tipe aktivis yang lebih mengedepankan diplomasi. Beda dengan dia yang selalu menggebu dan semua soal ingin diselesaikan dengan demonstrasi.
Rustam, teman kamar, juga teman kuliahnya di Fakultas Ekonomi. Tempat dia meminjam catatan, menyalin tugas, bahkan menyontek ujian. Juga kawan berbagi kisah soal asmara yang selalu kandas.
Pokoknya, Rustam segalanya, kecuali soal demonstrasi, Rustam tipe aktivis yang lebih mengedepankan diplomasi. Beda dengan dia yang selalu menggebu dan semua soal ingin diselesaikan dengan demonstrasi.
“Ada pesan dari Isabella, bro. Kalau berani,
langsung saja temui bapaknya bede’.” Sergah Rustam ketika melihatnya
menghempaskan badan kerempengnya di sofa butut di sudut ruang senat.
“Ha? Dia bilang begitu? Kenal saja belum,
dia suruhka' langsung temui bapaknya?” Dia memperbaiki posisi duduknya ketika
mendegar nama Isabella disebut, apalagi diikuti dengan permintaan yang
menurutnya aneh.
“Kenapa, Isbah?”
“Deh, saya baru kirim salam kenal,
langsungka' nasuruh menemui bapaknya?”
“Iya, dia bilang sendiri begitu tadi, waktu
kusampaikan salammu.” Jelas Rustam.
Dia
teringat dengan gadis mungil berkerudung hijau tosca yang dia lihat pada suatu
sore minggu lalu, di sudut pelataran fakultas. Gadis itu seperti sibuk
memelototi buku makro ekonomi ketika dia melintas bersama Rustam dari Fakultas
Hukum. Dari Rustam dia tahu kalau gadis itu disapa Isabella oleh
teman-temannya, mahasiswa satu angkatan di bawahnya. Isabella telah menyedot
perhatiannya, bahkan dia telah mengumpulkan informasi soal gadis itu di
sela-sela kesibukannya rapat konsolidasi dan memimpin aksi.
Isabella
adalah tipe mahasiswa yang hanya fokus pada pelajaran, tak ada waktu untuk
aktif di organisasi, apalagi ikut demonstrasi. Sebenarnya, itu tipe mahasiswa
yang sangat tidak disukai olehnya. Awal ketertarikannya bermula ketika dia
memimpin penyegelan ruang kuliah sebagai bentuk protes atas kewajiban memenuhi
presentase delapan puluh persen kehadiran bagi mahasiswa untuk bisa ikut ujian.
“Ini upaya terselubung dari pihak kampus
untuk membungkam gerakan kita, kawan-kawan! Hanya satu kata, Lawan!!!”
Teriaknya memprovokasi mahasiswa yang berkerumun di depan ruang kelas yang
pintunya telah dia segel.
“Hentikan omong kosongmu itu! Janganko
salahkan kampus atas kemalasanmu! Kau yang malas, kita semua kopaksa
ikut-ikutan tak kuliah!” Seorang gadis mungil berkerudung hijau tosca
menginterupsi orasinya yang berapi-api.
Dia
tak mampu berkata-kata beberapa jenak, hanya matanya yang melotot ke arah gadis
mungil berkerudung hijau tosca yang juga melotot ke arahnya dengan sorot mata
yang tak kalah tajam. Setelah itu, dia melanjutkan orasinya sambil berlalu.
* *
*
“Rustam, antarka' ke rumahnya itu cewek yang
selalu pakai kerudung hijau tosca.”
“Isabella maksudmu? Seriusko?”
“Penasaranka', mauka' temui orang tuanya.”
“Deh, jauh itu rumanya, di Takalar. Tapi
ayo'mi.”
Maka siang itu, dia berboncengan dengan
Rustam meluncur ke Takalar.
Setelah
bertanya beberapa kali, akhirnya mereka menemukan rumah yang mereka tuju.
Sebuah rumah panggung sederhana dengan cat dinding juga warna hijau tosca.
Terletak di ujung dusun Damme', Kelurahan Patte'ne, Kecamatan Polongbangkeng
Selatan, Kabupaten Takalar. Itulah rumah Isabella, gadis mungil berkerudung
hijau tosca, yang membuatnya penasaran.
Dengan
percaya diri, dia menapaki anak tangga satu persatu, sampai akhirnya dia tiba
di depan pintu yang tidak terkunci. Kedatangannya disambut oleh seorang lelaki
berusia senja, dengan sorot mata tajam. Begitu mengetahui bahwa yang datang
adalah teman kuliah anaknya, dan seorang aktivis, lelaki itu begitu bersemangat
bercerita. Sebagai seorang mantan pejuang, tak sulit baginya mengikuti
pembicaraan tentang berbagai tema secara kritis.
“Jadi, nak Isbah ini suka demonstrasi? Wah
ini luar biasa.” Seru lelaki tua itu sambil berdiri menyalaminya.
“Iyye' Pak.”
“Saya suka anak muda yang punya idealisme
sepertimu, itu berarti masa depan bangsa ini masih ada!” Dia dan Rustam hanya
tersenyum simpul melihat bapak dari Isabella begitu bergairah.
“Oh ya, maaf Nak, Isabella belum pulang nih.
Biasanya dia baru di rumah setelah sholat isya.”
“Tidak apa-apaji Pak, tidak adaji juga
keperluan mendesak, cuma silaturahmiji.” Rustam menjawab sekenanya.
“Tapi memangnya Isabella ke mana, Pak?”
“Biasalah, di masjid. Dia mengajari
anak-anak mengaji selepas ashar. Kalau sudah maghrib, giliran ibu-ibu yang dia
ajari mengaji.”
“Ooooo...”
Setelahnya,
mereka kembali larut dalam perbincangan mengenai berbagai hal. Mulai dari isu
nasionalisasi Freeport, impor pangan, sampai pembangunan daerah. Mereka baru
pulang, ketika waktu sudah jam lima sore.
*
* *
Sejak
kunjungannya sore itu, beberapa kali dia datang lagi ke sana, baik bersama
Rustam maupun datang sendiri. Dia merasa nyaman berbincang dengan ayah
Isabella, mereka memiliki idealisme yang sama tentang negeri ini. Apalagi
selama mengurusi skripsi sampai ujian, dia tak lagi turun lapangan memimpin
aksi, sehingga dia punya banyak waktu luang. Meski demikian, hubungannya dengan
Isabella berjalan biasa saja, meski ada rasa yang terajut diantara mereka, dia
tak kuasa mengekspresikannya berlebih.
Namun
ketika tawarannya untuk mengantar Isabella pulang dengan berboncengan motor
ditolak, dia menjaga jarak dan menjaga hati. Kala itu, Isabella menasehatinya
panjang lebar tentang makna hijab dan perlunya menjaga jarak bagi mereka yang
bukan mahram. Meski awalnya kurang bisa menerima, tapi rasa penasaran
menuntunnya mencari penjelasan lebih soal ini. Sampai dia mengerti mengapa Isabella
dulu memintanya langsung menemui bapaknya.
Bismillah.
Siang itu udara sejuk, dia bergerak menuju Damme', tekadnya sudah bulat:
melamar Isabella, langsung ke bapaknya.
“Jadi, begini Pak.”
“Kenapa, nak Isbah?”
“Mmmm... Begini Pak.”
“Iya, kenapa?”
“Aduh, mulai dari mana nih?”
“Ada apa? Kayak orang mau melamar saja.”
“Iyye', itu sebenarnya maksudku, Pak.”
“Maksudnya?”
“Mauka' lamarki anakta' Pak, Isabella.”
“Haaaa? Melamar Icha'?”
“Bukan Pak, bukan Icha'. Tapi Isabella.”
“Berani-beraninya kau melamar anakku,
namanya saja kau tidak tahu!”
“Maksud bapak?”
“Namanya bukan Isabella, tapi Aisyah.”
“Tapi saya dengar dia disapa Isabella, Pak.”
“Nama panggilanna Icha', tapi karena ada
lebih dari satu yang bernama Icha' di sini, jadi ditambahkanlah namaku, Daeng
Bella, di belakang namanya. Lama-lama, Icha' Bella menjadi Isabella.”
“Oooo begitu, Pak. Tapi bagaimana dengan
lamaranku?”
“Lamaran apa? Saya tidak mau anakku menikah
dengan aktivis!”
“Tapi Pak, bukannya suka’ki’ sama aktivis,
sama anak muda idealis?”
“Idealisme saja tidak cukup anak muda.
Aktivis bukan profesi yang bisa menghidupi.”
“Isabella juga tidak adaji masalah Pak.”
“Isabella... Isabella.... pokoknya tidak!
Buktikan dulu dirimu, bisa bertindak secara ril di masyarakat!”
“In shaa Allah akan kubuktikan, Pak.”
“Buktikanmi Nak, setelah itu,baru kau datang
lagi ke sini.”
“Jadi lamaranku masih ditolak ini Pak?”
“Ya, aktivis itu cuma cocok dijadikan teman
diskusi, bukan untuk jadi menantu.”
Dengan
muka tertekuk dalam, dia melangkah menuruni tangga rumah Isabella menuju motor
yang terparkir. Sepanjang jalan menuju Makassar, terngiang terus kalimat
terakhir bapak Isabella, “Aktivis itu cuma cocok dijadikan teman diskusi, bukan
untuk jadi menantu.”
Makassar, 03 Desember 2015
Dimuat di Halaman Sastra Islam Harian Amanah, Sabtu 12 Desember 2015
Dimuat di Halaman Sastra Islam Harian Amanah, Sabtu 12 Desember 2015
Tags:
Cerita Pendek
ternyata icha anakna daeng bella ...
BalasHapusDia juga nekad sekali pergi melamar, hahahaha....
HapusKamaseangna kodong
BalasHapusmari merenungi nasib :p
HapusKisah siapa ini ya kira2? hmmmm.......
BalasHapusini kisah seseorang yang curhat kepadaku beberapa tahun yang lampau. saya dramatisasi, ganti latar dan tokoh. jadi deh
Hapus