Awal Agustus 1660. Hari menjelang siang ketika para penggali parit
meninggalkan pekerjaannya dan berhamburan menuju ke barat. Para mandor yang
sebagian berkuda dan menenteng tombak, tak bisa menghalangi konsentrasi para
penggali. Sayapun meletakkan linggis, ikut berlari mencari tahu apa yang
terjadi.
Di sela bahu para penggali, yang dihalang-halangi para mandor dengan
tombak melintang, saya melihat seorang lelaki tinggi semampai dengan dada
bidang, kedua tangannya mencekik leher seorang mandor kepala dengan percaya
diri, meski dia berada di bawah todongan tombak prajurit pengawal. Mandor itu
dia banting ke atas gundukan pasir.
Muka lelaki itu menegang, menatap penuh amarah ke arah mandor kepala
yang berkumis melintang. Perlahan dia lepaskan cekikannya, sang mandor terlihat
lemas, kesulitan bernafas. Lelaki dengan rambut berombak tipis itu berdiri,
menatap prajurit yang mengepungnya.
“Aku bukan ata, kami bukan
sahaya, mengapa kalian memperlakukan kami seperti budak!?” Telunjuknya dia
arahkan ke prajurit pengawal satu persatu.
“Kami hanyalah rakyat yang negerinya kalian jajah! Jangan perlakukan
kami seperti kerbau!” Katanya lagi, lalu menyibak tombak yang menodongnya dan
berlalu. Prajurit yang mengepungnya hanya bergeming.
Ketika lelaki itu pergi,
kerumunan berhasil dibubarkan. Sayapun kembali menggali, namun wajah lelaki itu
tak lepas dari ingatan. Saya yang baru sepekan tiba di lokasi, dipenuhi
penasaran tentang siapa dia yang berani melawan mandor kepala yang mendapat kuasa
langsung dari Karaéng. Pastilah dia
mempunyai keberanian yang tepermanai.
* * *
“Itu yang bernama La Tenri Tatta.” Jelas I Malegga, beberapa hari kemudian.
Rupanya dia orangnya, disebut pernah menjadi murid kesayangan Karaéng
Pattingalloang, mangkubumi kerajaan Makassar yang kesohor itu. Sayang, sejak
posisi mangkubumi dipegang oleh Karaéng Karunrung, kebijakan terhadap negeri
jajahan menjadi lebih ketat.
Sebelumnya, saya to maradéka,
orang merdeka di Pattiro, wilayah Kerajaan Bone. Namun untuk memenuhi
permintaan Karéng Karunrung kepada administratur pemerintahan Bone, Jennang To
Bala, sebanyak sepuluh ribu orang budak dari Bone, saya pun diseret menjadi
budak.
“Kenapa kau demikian penasaran dengannya?” I Malegga menyikutku yang berjalan
di sisinya sambil merenung.
“Saya berharap bisa menyertai cucu Puatta La Tenri Ruwa itu nanti,
meskipun sekedar menjadi pembawa tempat pinangnya, beruntung kalau bisa menjadi
pallapi aro, pengawal pribadinya.”
“Apa yang kau lihat darinya?”
“Sebelumnya, saya cuma mendengar cerita tentang La Tenri Tatta, namun
setelah bertemu langsung, saya yakin beliau memiliki kualitas arung seperti yang
digariskan para panrita, cendekia
kita.”
“Yayaya... Sepertinya dia bakal jadi orang besar.”
* * *
Awal September 1660. Mendung menggelayut di langit sejak subuh. Kelam
pula nampak di mukanya. Sudah seminggu saya mendekatinya, dia orang yang ramah.
Namun siang ini, dia hanya terdiam, saya tak diacuhkannya.
“Ada apa Puang? Saya melihat hari ini Puang begitu gelisah.”
“Berhenti memanggilku Puang, Mallongi, kita sama saat ini, sama-sama
tawanan Karaéng.” Jawab Datu Mario.
“Tidak bisa begitu, Puang adalah cucu Puatta La Tenri Rua, Arung
Pattiro.”
“Panggil saja Daéng Sérang[1].”
“Sebagai orang Pattiro, saya takut mabusung,
nanti saya kualat Puang.”
“Tidak apa-apa Mallongi.”
“Kalau begitu tabé', tabik Daéng
Sérang.”
Setelah menghela nafas panjang, Datu Mario menjawab pertanyaan saya.
“Hari ini Karaéng’é ri Gowa berburu rusa di Tallo, sebagai pakkalawing épa, asisten pribadi Karaaéng
Karunrung, seharusnya aku ikut. Aku memilih ke sini, terpaksa Pettaku Arung
Tana Tengnga yang mewakili.” Ujarnya masygul.
“Lalu, apa yang Daéng Sérang khawatirkan?”
“Wajah Pettaku terbayang. Entahlah,
sepertinya ini pertanda buruk, Mallongi.” Jawabnya, lalu melanjutkan, “Ibu dan
istriku juga seperti memanggil-manggilku pulang.”
Setelah itu, La Tenri Tatta hanya menggali, saya pun demikian. Sepanjang
hari.
* * *
Malam tiba, mendung tebal masih bergelayut.
“Kau tidak ke Bontoala?”
“Ada apa di sana, Malegga?”
“Datu Mario berduka, Puatta Petta Tana Tengnga terbunuh tadi siang.”
Saya tertohok mendengarnya. Bersama I Malegga, saya ke Bontoala. Nampak kerumunan
di sana, juga penjagaan yang lebih ketat. Aku mencoba
naik ke teras, di ruang tengah, kulihat Datu Mario berusaha
menenangkan ibunya, Wé Tenri Sui, dan istrinya, Daéng Talélé. Keduanya tak
henti tersedan.
“Bagaimana ini tidak menyulut amarah? Puatta meninggal karena diikat
lalu ditumbuk di lesung.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Puatta tidak bisa tembus senjata tajam, jadi itu satu-satunya cara
untuk membunuhnya.”
“Benar-benar kejam!”
“Ooo... Puang, Addampengengngi
atammu! Tuhan ampuni hambamu!”
Muka mereka yang berkerumun di depan rumah Datu Mario malam itu,
menyiratkan kemarahan yang menggelegak.
Di sela isaknya, lamat-lamat kudengar Wé Tenri Sui berpesan kepada
La Tenri Tatta, anaknya.
“Anakku, kaulah harapan Palakka dan Mario satu-satunya.”
“Iya Ibu, aku tak akan melupakan itu. Kita memang tak boleh selamanya
diperlakukan seperti kerbau begini. Tapi bagaimana dengan Uluada[2],
kesepakatan di Palletté?”
“Kesepakatan antara kakekmu, Sultan Adam dengan Sultan Alauddin sudah
berakhir, Nak. Semua rusak sejak amauré-mu,
pamanmu La Maddaremmeng diserang dan La Tenriaji kalah di Pasémpe’.”
We Tenri Sui menghela nafas, airmatanya mengering, badannya menegang,
lalu melanjutkan.
“Bukan kita yang merusak uluada
itu, Nak. Kita tak mengingkari janji kakekmu, uluada itu yang mengkhianati kita!”
“Baiklah, kalau memang demikian titah ibunda. Restui sumpahku. Barulah
aku menjadi manusia sebenarnya, bila Bone berhasil kumerdekakan, dan orang
Mario bisa kubebaskan!” Suara lelaki yang memperoleh gelar Datu Mario ri Wawo warisan
dari ibunya itu, bergetar. Dia mencium kedua tangan ibunya.
* * *
Pertengahan September 1660. Subuh cerah, kemeriahan pesta panen yang akan
dihadiri langsung oleh Sultan Hasanuddin bersama segenap pembesar kerajaannya
di Tallo pun mulai terdengar. Subuh pula mencekam. Dalam gelap di Bontoala, La
Tenri Tatta menggerakkan perlarian bagi orang Bone dan Soppeng yang menjadi
budak penggali parit dan para tawanan perang.
Mereka berlari tersuruk-suruk dalam kelompok-kelompok kecil untuk menghindari
agar tak ketahuan pasukan Kerajaan. Dengan bekal ala kadarnya dan persenjataan seadanya,
pelarian ini bergerak bak gelombang yang susul menyusul. Tak henti bergerak
hingga beberapa hari, tak ada kata berhenti, sebelum menginjak wilayah Bone,
itu intinya.
Petang, pada hari keempat pelarian, La Tenri Tatta tiba di Lamuru, lalu
mengumpulkan para pelarian dan mengajaknya berlawan. Jennang To Bala memanggil
tambahan pasukan ke Bone. La Tenri Tatta dengan menggunakan wewenangnya sebagai
Datu Mario, mengundang keterlibatan dan meminta dukungan dari kerabatnya di
Soppeng.
Pada hari ketujuh, sebelum Pincara
Lopié ri Attapang, kesepakatan di atas rakit di sungai Attapang, La Tenri
Tatta Datu Mario ri Wawo, disahkan menjadi pewaris daerah Palakka dari kakeknya,
La Tenri Rua. Maka sejak pentahbisan itu, dirinya lebih dikenal sebagai Arung
Palakka.
Bersama Datu Soppeng, La Tenri Bali dan Jennang To Bala, Arung Palakka mempersatukan
Bone dan Soppeng, mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Gowa yang
perlahan namun pasti merangsek mengejar para pelarian. Maka genderang
perlawananpun di tabuh, dan gerakan pembebasan dimulai.
[1] Arung
Palakka mempunyai sembilan nama: 1. La Tenri Tatta To Appatunru; 2. Daéng
Sérang; 3. Datu Mario Ri Wawo; 4. Arung Palakka; 5. Petta Malampé’é Gemme’na;
6. Arung Ugi; 7. Petta To Risompaé; 8. Sultan Sa’aduddin; 9. Petta Matinroé Ri
Bontoala
[2] Uluada ri Palletté, dikenal pula sebagai Ulukana
ri Palletté, perjanjian persaudaraan antara Raja Gowa ke-14, I Mangngarangi,
Daéng Manrabia, Sultan Alauddin, Tu Menangnga ri Gaukanna, dengan Raja Bone
ke-11, La Tenri Rua, Arung Pattiro, Arung Palakka, Sultan Adam al
Wasyikubillah, Matinroé ri Bantaéng.
Tags:
Cerita Pendek