Ayam baru berkokok sekali, La
Bilalu sudah beranjak dari pembaringannya di kamar kecil samping mihrab Masjid
Nurus Shalihin, Desa Pakkasalo. Hari baru belum lagi tiba, namun sebagai doja, dia berkewajiban untuk
membangunkan jamaah masjid, jauh sebelum subuh. Jamaah kadang memanfaatkan
dinihari untuk sholat lail, atau sholat tasbih berjamaah di masjid.
Meski usia sudah menjelang
70-an, namun langkahnya masih tegap. Setelah memukul bedug berkali-kali, dengan
sigap dia menurunkan timba ke sumur, belum pukul tiga dinihari, masih ada waktu
untuk mengisi bak tempat wudhu. Namun, dia terkesiap, tali timba yang coba dia
angkat, menegang, bebannya seperti kelebihan muatan. Ada apa ini? Batinnya.
Terdengar kecipak dari bawah, namun tak ada yang terlihat, cahaya rembulan tak
sanggup menerangi liang sumur sedalam 15 meter itu.
Berbekal senter dari jamaah yang
mulai berdatangan, dia menyorot ke bawah, di kedalaman sumur nampak Ustaz Kaddase',
imam masjid mereka, memegang tali timba dengan muka kuyup, tubuh bugilnya
terendam air sumur. Beragam anggapan dari jamaah yang sudah datang, menguar.
Ada yang berspekulasi bahwa imam mereka telah kehilangan ingatan, namun yang
lain berpikir, ada yang menjatuhkan Ustaz ke sana.
Untuk memastikan, La Bilalu,
sambil menyentak tali timba, berteriak lantang ke dalam sumur.
“Kenapa bisa di dalam sumur,
tengah malam begini, Ustaz?”
Suaranya menggema, tak ada
jawaban, hanya kecipak air yang terdengar. Jamaah kian ramai berdatangan,
berkerumun di sekeliling sumur tua di tengah halaman masjid, seakan sedang tawaf.
Mereka melupakan jadwal sholat tasbih berjamaah tiap jumat jelang subuh,
seperti hari itu. Semua penasaran dengan tingkah imam baru di masjid itu.
“Aku mencari sikat gigiku yang
terjatuh...” Terdengar suara, dari liang sumur, suara yang dalam, dingin, dan
tercekat di kerongkongan.
* *
*
Muqaddas Lc., atau Ustaz Kaddase',
demikian jamaah Masjid Nurus Shalihin memanggilnya dengan lidah beraksen Bugis.
Baru sebulan menjadi imam di masjid tersebut, dirinya digaji oleh orang tua
juniornya di sebuah pesantren modern di Makassar, untuk menjadi imam di situ.
Si dermawan yang menggajinya adalah orang terkaya di desa itu, Haji Teppe'
namanya.
Ustaz Kaddase’ lahir dan besar
di Lamongan, Jawa Timur, namun sejak madrasah aliyah sampai kuliah, dia tempuh
di salah satu pesantren di Makassar. Konon, pesantren itu lumayan terkenal
karena sebagian besar tenaga pengajarnya adalah lulusan dari kota Madinah,
Saudi Arabia. Maka tak diragukan lagi, pemahaman agama Ustaz Kaddase’, terutama
tentang hadis nabi, sangat mumpuni.
Pada awal kedatangannya di Desa Pakkasalo,
Ustaz Kaddase’ menumpang di rumah Haji Teppe’. Namun itu cuma seminggu, atas
bantuan kepala desa, dia bisa menempati salah satu perumahan guru yang kosong
di kompleks SD No. 226 Pakkasalo, tepat di depan masjid. Alasan kepindahannya, untuk
menghindari fitnah, Haji Teppe’ memiliki seorang anak gadis, Ustaz Kaddase’ tak
mau serumah dengan yang bukan muhrim.
Dengan tinggal di depan masjid,
kinerja Ustaz Kaddase’ juga kian lancar. Hampir seluruh waktunya digunakan
untuk menanamkan agama kepada masyarakat, baik melalui majelis taklim,
pengajian bakda subuh dan magrib, TK-TPA untuk anak-anak, serta pengajian
pekanan untuk remaja. Dia juga melayani acara aqiqah, pernikahan, maupun
kematian.
Tak ada cacat cela pada bacaan
quran-nya, begitupun sopan-santun dan tuturkata-nya. Hanya satu yang
disayangkan oleh jamaah dari ustaz yang masih bujangan tersebut, dia tak pernah
mau menghadiri acara barzanji, bahkan cenderung melarangnya. Bidah katanya,
sesuatu yang tak pernah dicontohkan nabi. Semua acara jamaah yang menyertakan
barzanji, imam desa akan diwakili oleh sang doja,
La Bilalu.
* *
*
Doja La Bilalu adalah warga asli desa Pakkasalo, jabatan marbut
atau dalam masyarakat Bugis disebut doja,
dia warisi dari bapaknya. Nama sebenarnya adalah Ilyas, namun karena salah satu
fungsi doja adalah mengumandangkan
azan, maka dia digelari Bilal, yang dalam pelafalan lidah Bugis menjadi Bilalu. Sebagai doja, hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan aktivitas yang
terkait dengan masjid.
Saban hari, ada saja kerjaan
yang terkait dengan masjid, dilakukannya. La Bilalu hanya akan menyambangi
rumahnya bila dia didera rindu kepada anak tunggalnya, Karim, dan istrinya,
Sitti Karimah. Kebutuhan sehari-hari keluarga doja dianggarkan dari kas masjid, namun terkadang juga ada sedekah
yang diserahkan oleh para donatur langsung ke tangan La Bilalu.
Soal ketelatenan bekerja, tak
ada yang meragukan doja La Bilalu.
Azan tak pernah terlambat dengan cengkok yang khas. Kelihaiannya melagukan
barazanji dan kisah mi’raj baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Bugis, tak ada
yang menandingi. Apalagi ustaz Kaddase’ tak mau menghadiri kegiatan warga yang
ada pembacaan barazanji, maka La Bilalu menjadi kebanjiran panggilan.
Selain urusan agama, La Bilalu
juga melayani konsultasi jamaah soal kesehatan, terutama yang hendak
menggunakan pengobatan alternatif. Hampir segala jenis penyakit yang dikeluhkan
warga, bisa diatasi oleh doja tua
itu, baik sakit fisik, maupun sakit yang berbau mistik. Mulai dari sakit perut
karena kebanyakan makan cabe, atau sakit perut yang dipercaya masyarakat karena
gangguan roh jahat dan mahluk halus.
Maka ketika subuh itu dia
menemukan ustaz Kaddase’ berada di dalam sumur dengan alasan sedang mencari
sikat giginya yang terjatuh, dia sudah paham apa yang sebenarnya sedang menimpa
iman desa itu. Dengan sigap doja La
Bilalu mengarahkan jamaah untuk masuk ke masjid untuk salat lail, sementara dia
sendiri sibuk mengeluarkan ustaz Kaddase’ dari sumur. Begitu berhasil, dia
menyelimuti tubuh si ustaz dengan sarung, lalu menuntunnya pulang.
“Pernah berada di bawah pohon
mangga di tengah kburan kampung secara tiba-tiba, ustaz?” Doja La Bilalu memburu ustaz dengan tanya.
“Kok pak Ilyas bisa tahu?” Ustaz
Kaddase’ selalu memanggilnya dengan nama itu.
“Pernah terbangun, dan tiba-tiba
berada di comberan?” La Bilalu terus bertanya.
“Iya, ada apa Pak?”
“Sejak seminggu yang lalu?”
“Betul...”
“Tepat dugaanku....” La Bilalu
mengelus janggut tipisnya yang mulai kelabu.
* *
*
Seminggu yang lalu, tepatnya
sebuah kamis sore, warga ramai berkerumun di depan rumah megah yang ditinggali
oleh seorang perempuan tua sebatang kara, Haji Dahliah namanya. Dia sudah
sekarat sejak kemarin pagi, dan belum juga berhasil menghembuskan nafas
terakhir hingga sore hari. Nampaknya, ada yang menahan ruhnya untuk pergi, dan
juga, dia tak pernah berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat, padahal semasa
hidupnya, dia muslim yang taat.
Hanya seorang kemenakan jauhnya
dari desa sebelah, Halija, yang setia menunggui tanpa kata, mulutnya seakan
terkunci. Upayanya memandu Haji Dahliah untuk mengucap syahadat selalu kandas,
sang tante hanya selalu mengucapkan satu kata, sangat pelan, dan setiap dia
mendengar kata itu, Halija hanya bisa menatap masygul lalu menutup mata dan mengatup
bibir, dia menahan isak. Sudah dua hari dia mencoba, dan tak ada tanda-tanda
akan berhasil.
Tiba-tiba sore itu, Ustaz Kaddase’
hadir dengan niat mau membantu.
“Bagaimana keadaannya?”
“Masih belum bisa mengucap
syahadat, Ustaz.”
“Kita harus terus mencoba.”
Ustaz Kaddzase’ memandu Haji
Dahliah, namun hanya respon kecil yang nampak, sebuah kata yang terasa asing di
telinganya.
“Apa yang diucapkannya?”
Belum sempat Halija menjelaskan,
ustaz Kaddase’ mendekatkan telinganya ke mulut Haji Dahliah, dia mendengar
sebuah kata yang diucapkan secara konstan, nyaris tanpa suara.
“Dia mengucap, lemba....”
Tangan Halija yang bergerak untuk
membekap mulut Ustaz Kaddase’ agar tak mengucapkan kata itu, kini menggantung
di udara, dia terkulai di lantai, bersamaan dengan terkulainya kepala Haji
Dahliah, ketika ruh beranjak meninggalkannya.
* *
*
“Maaf ustaz, karena kata itu,
kau secara tak sengaja telah mewarisi ilmu parakang
dari Haji Dahliah.” Doja La
Bilalu menepuk pundak Ustaz Kaddase’ yang terduduk kaku di sudut ruangan. Kedua
tangannya menutup mata yang basah.
Catatan:
Parakang: mahluk jadi-jadian seperti leak di Bali, dipelajari
untuk mengejar kekayaan. Diwariskan melalui keturunan, atau lewat perpindahan.
Seorang parakang tak bisa meninggal sebelum mewariskan ilmu itu, maka dia hanya
bisa menyebut kata lemba, dan apabila ada yang membalasnya dengan ucapan yang
sama, ilmu itu otomatis terwariskan.
Lemba: (bahasa Bugis) pindah
sumber ilustrasi: bugisposonline
Tags:
Cerita Pendek