[05.06.2016] Beberapa waktu belakangan, kebencian terhadap hal-hal yang berbau Komunis, begitu menggelegar. Bahkan, seakan genderang perang ditabuh gemuruh, pemikiran diberangus, bahan bacaan dirampas, buku pun hangus. Kebencian ini merembet sampai pada sikap tak ada ampun bagi penganut Komunisme, Sosialisme, Marxisme, bahkan Karl Marx sendiri.
Lebih
miris lagi, kebencian itu juga disulut dan dikobarkan oleh sebagian umat Islam.
Bahkan, cap kafir dan anti Tuhan, tak segan terhambur dan menyembur dari mulut
para pengkhotbah yang tanpa tedeng aling-aling menyitir berbaris-baris ayat dan
bershaf-shaf hadis. Semua peluru dilesakkan untuk menewaskan semua yang
berwarna ‘merah’ dalam sekali tembak.
Benarkah
umat Islam satu warna dan sepemikiran bahwa Komunis itu kafir, Sosialis itu
sesat, atau Karl Marx itu menyesatkan? Tentu saja tidak, sebab Islam adalah
sebuah agama yang indah karena mozaik pemikiran dan meriah karena keragaman
mazhab. Ada sebagian umat Islam yang berpandangan bahwa Marx tidaklah
semenyesatkan yang dikhawatirkan, dan Sosialisme tidaklah sesesat yang
dibayangkan.
Salah
seorang tokoh umat Islam yang berpandangan demikian, adalah H.O.S.
Tjokroaminoto. Sosok aktivis pergerakan Islam Indonesia yang didaku menjadi
guru para pendiri bangsa ini, tak segan mengklaim bahwa hanya Islam-lah yang
pantas mengklaim sebagai ajaran Sosialisme yang sejati, bukan yang lain.
“Bagi
kita orang Islam, tidak ada Sosialisme atau rupa-rupa isme yang lain-lainnya
yang lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia, selain sosialisme yang
berdasarkan Islam.” Demikian tulis Tjokroaminoto dalam buku fenomenalnya, Islam
dan Sosialisme yang terbit pertamakali pada tahun 1924.
Amelz
dalam H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya (1952) mengutip pernyataan
Tjokroaminoto soal sosialisme, “Sosialisme menghendaki cara hidup satu untuk
semua dan semua untuk satu, yaitu cara hidup yang hendak memertunjukkan kepada
kita bahwa kita adalah yang memikil tanggungjawab atas perbuatan kita satu sama
lain.”
Perihal
Islam, Tjokroaminoto (dalam Amelz) juga mengemukakan, “Adapun yang menjadi
dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad, yaitu kemajuan perikeutamaan dan
kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam
melakukan kehendak Sosialisme yang sejati itu.”
Pernyataan
Tjokroaminoto soal Sosialisme bukanlah pernyataan serampangan dari seseorang
yang mudah memberi dukungan karena ketidaktahuan atau kekurangpahaman akan
sebuah persoalan. Simpati, bahkan kesepakatan Tjokroaminoto akan ide-ide
Sosialisme, tumbuh dan mekar karena keberaniannya untuk mengkaji pemikiran Karl
Marx dan Engels, serta ketekunan mengaji firman Allah dalam al-Quran.
Tak
tanggung-tanggung, ulama dan mantan Ketua MUI sekaliber Hamka –salah seorang
murid Tjokroaminoto, juga mempelajari sosialisme melalui kursus kader Sarekat
Islam –organisasi yang pernah dipimpin
Tjokroaminoto. Dalam kursus yang diikuti Hamka, selain Tjokroaminoto yang
mengampu ‘Islam dan Sosialisme’, juga ada materi ‘Ilmu Sosiologi’ yang diampu
Soerjopranoto, serta ‘Dasar-Dasar Pokok Hukum Islam’ dari H. Fachruddin.
Mengenai
kursus itu, Hamka –dalam Amelz,
berkomentar jernih dan tanpa tendensi negatif, “Ketiga guru saya adalah
orang-orang pergerakan yang telah memandang Islam dengan cara baru. Waktu
itulah saya mulai mengenal Komunisme, Sosialisme, Nihilisme. Waktu itulah saya
mulai mendengar nama Marx, Engels, Prudhon Bakounin, dan lain-lain.”
Malah
sebaliknya, mengenai kebiasaan para pengajar di kursus kader organisasi Islam –pelopor pergerakan kebangsaan, nasionalisme
dan kemerdekaan Indonesia– itu, Hamka mengakui dengan jujur, “Bilamana tiba
giliran beliau Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah
timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusiten.”
Tjokroaminoto,
pria yang pertamakali mengumandangkan Zelfbestuur dan memekikkan keinginan
bangsanya berpemerintahan sendiri, dia yang tak diragukan pemahaman
keIslamannya, memperlakukan pemikiran Marx dan Engels sebagai pengetahuan
berharga. Bahkan Tjokroaminoto berusaha menemukan pertalian Islam dan
Sosialisme, lalu menggunakan keduanya untuk membangkitkan persatuan nasional.
Jadi
bila tiba-tiba kita dihadapkan pada serentetan sumpah-serapah dan caci-makian
pada mereka yang didaku komunis dari mereka yang mengaku aktivis gerakan Islam.
Lalu kita dibuat terperangah oleh penyitaan dan pembakaran buku yang dilakukan
dengan alasan nasionalisme. Maka kita perlu bertanya dengan serius, seberapa
dalam kita mengkaji masalalu republik ini, dan seberapa baik kita memahami
sejarah perjuangan para pendahulu.
Mari
bercermin pada Tjokroaminoto, yang menurut Hamka, alih-alih mengutuk, malah
berterimakasih pada Marx dan Engels. “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx
dan Engels, bahkan berterimakasih kepada keduanya sebab teori Histori
Materialisme Marx dan Engels telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan
sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad. Sehingga kita sebagai orang Islam merasa
beruntung, sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi.”
Kita
pun perlu meneladani Hamka, yang mengetahui bahwa Tjokroaminoto mengagumi Marx
dan Engels, namun dia masih menempatkan Tjokroaminoto sebagai salah satu orang
yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. “HOS Tjokroaminoto telah membuka mata
saya untuk Islam yang hidup… Mata saya dibukakan Pak Tjokro! Saya merasa bahwa
HOS Tjokroaminoto telah turut membikin saya.”
Tulisan
ini dimuat di EduNews.ID