11. Cukup Satu Kebaikan

Catatan malam ini aku akan mewartakan sesuatu yang berbeda. Mengapa berbeda? Sebab ini bukan perihal puasa, salat subuh dan isya, tadarus, ataupun mengenai salat tarawih. Bukan, risalah ini tidak akan mengulas salah satunya. Semua ini karena tadi sore aku menonton sebuah film pendek berjudul Kisah Addin dan Fatma yang merupakan episode akhir dari Ramadhan Cantik Web Series.

Film yang diproduksi oleh Film Maker Muslim ini tayang saban hari sepanjang ramadan beberapa tahun lalu. Aku juga belum menonton semua serinya sih, langsung loncat ke seri terakhir, untuk membunuh penasaran. Dan loncatan itu tak sia-sia, aku menemukan sesuatu yang dalam pada dialognya yang pintas. Sungguh menohok hati mereka yang melalaikan sunnah menikah karena mencari yang sempurna.

Kisah bermula dari keingian Addin untuk menikah dan meminta bantuan seorang kawan untuk dilamarkan. Maka Addin lalu menyebut nama calonnya, nama seorang perempuan yang baru dikenalnya sekilas masa. Fatimah Pertiwi, demikian nama perempuan itu, namun lebih sering disapa, Fatma. Saat ditanya alasannya, Addin tersenyum simpul lalu berkisah.

Malam sepulang kerja, Addin mampir makan di warung gado-gado langganannya. Sambil menikmati pesanannya, Addin memandang lepas ke arah jalan. Di sana, dia melihat sebuah gelas plastik bekas minuman kemasan tergolek di tengah jalan. Sudah banyak orang yang lewat, baik wanita maupun pria, berusia muda ataupun tua, tak ada satupun yang acuh pada benda itu.

Beberapa manusia yang lewat malah menjadikannya seperti bola, ditendang ke mana suka. Ada yang sekadar iseng, ada juga yang mungkin menjadikannya pelampiasan pening di kening dan sumpek di benak. Addin memperhatikan itu sambil menyuap gado-gadonya sesendok demi sesendok. Hingga dilihatnya, seseorang memungut gelas plastik itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Suapan Addin terhenti, jantungnya berdegup kencang, darahnya mendesir. Siapa gerakan yang tergerak hatinya menyingkirkan sampah itu dan membuangnya di tempat yang layak? Pupil matanya dilebarkan untuk mencandra lebih jelas sosok yang membuat perbedaan di antara semua pengguna jalan. Tak lama, gadis itu dikenalnya bernama Fatma, dan Addin jatuh cinta.

Nah, di scene inilah dialog cadas itu berlaku, saat teman yang dimintai pertolongannya untuk melamar Fatma bertanya ragu.
+ “Cuma itu?”
- “Cuma itu, Bang.”
+ “Yakin?”
- “Cukup satu kebaikan untuk membuat kita jatuh cinta, Bang.”

Wow, sebuah jawaban yang tak terduga, bukan? Aku ulangi lagi ya, jawaban Addin.
- “Cukup satu kebaikan untuk membuat kita jatuh cinta, Bang.”
Bagaimana dengan anda? Apa siap melamar atau menerima lamaran seseorang dengan alasan yang sederhana dengan implikasi rumit itu? Mari lanjut dengan pertanyaan kawan Addin selanjutnya.
+ “Bagaimana kalau ada buruknya?”
- “Mawar juga kan ada durinya, Bang?”

Wow... wow... wow... Aku sampai menahan nafas mendengar jawaban itu, terdengar naif namun memang demikianlah adanya. Tak ada mawar yang tak berduri, dan tak ada manusia yang sempurna –kecuali nabi tentunya. Tapi Addin bisa meyakini ini sedemikian dalam dan mampu menggerakkan dia untuk mengajukan lamaran pada seorang gadis yang baru dilihatnya sekali berbuat kebaikan.

Ini menggambarkan betapa kuat dia berpegang pada keyakinan bahwa Allah tidak akan menjodohkan seseorang dengan dia yang tidak sederajat, dan tak menikahkan kita dengan mereka yang yang tak sekufu. Kufu atau kafa’ah bermakna sepadan atawa kesepadanan. Namun, kesepadanan dimaksud bukanlah harta, usia ataupun ketampanan/kecantikan.

Para ulama mengajarkan bahwa kesepadanan yang dimaksud adalah dalam hal taqwa, ilmu, dan akhlak. Cobalah tengok al Hujurat ayat 13, “...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” Ini menegaskan adanya tingkatan ketakwaan, dan perlunya mencari yang setara dalam ukuran ini.

Hal berikutnya adalah sekafa’ah dalam urusan ilmu. Mengapa ini penting, sebab tentu merupakan kondisi zalim bila seorang yang berilmu diadu dengan orang bodoh. Az Zumar ayat 9 menggambarkan dengan gamblang, “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Tentulah tak sama.

Yang terakhir, dalam urusan akhlak, dan inilah kafa’ah yang paling terang disebutkan dalam al Quran untuk urusan pernikahan ini. Coba lihat an Nur ayat 26, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik.” Demikian aturan Allah, yang ditegaskan pula dalam al Baqarah ayat ke 221.

Kembali ke hubungan unik Addin dan Fatma, Addin langsung tertarik pada Fatma bukan karena tak peduli dengan urusan kafa’ah ini. Justru sebaliknya, Addin menunjukkan betapa dia memahami bahwa dirinya bukanlah orang yang sempurna, sehingga sebuah kesyukuran besar bisa meminang seorang perempuan yang, “Cukup satu kebaikan(nya) untuk membuat kita jatuh cinta.”

Sisi lain, Addin menunjukkan ikatan keimanan yang kuat pada dirinya akan janji Allah bahwa tak akan berjodoh mereka yang tidak sekafa’ah, jadi buat apa menyiksa diri untuk mencari yang sempurna? Bukankah, “Mawar juga kan ada durinya”. Mending terus berusaha memperbaiki diri agar Allah mengganjarnya dengan yang sepadan sebagai jodoh. Bukan begitu, Mlo?   


11 ramadan 1439 H / 26 Mei 2018 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama