Catatan malam
ini aku akan mewartakan sesuatu yang berbeda. Mengapa berbeda? Sebab ini bukan
perihal puasa, salat subuh dan isya, tadarus, ataupun mengenai salat tarawih. Bukan,
risalah ini tidak akan mengulas salah satunya. Semua ini karena tadi sore aku menonton
sebuah film pendek berjudul Kisah Addin dan Fatma yang merupakan episode akhir
dari Ramadhan Cantik Web Series.
Film yang
diproduksi oleh Film Maker Muslim ini tayang saban hari sepanjang ramadan beberapa
tahun lalu. Aku juga belum menonton semua serinya sih, langsung loncat ke seri
terakhir, untuk membunuh penasaran. Dan loncatan itu tak sia-sia, aku menemukan
sesuatu yang dalam pada dialognya yang pintas. Sungguh menohok hati mereka yang
melalaikan sunnah menikah karena mencari yang sempurna.
Kisah
bermula dari keingian Addin untuk menikah dan meminta bantuan seorang kawan
untuk dilamarkan. Maka Addin lalu menyebut nama calonnya, nama seorang
perempuan yang baru dikenalnya sekilas masa. Fatimah Pertiwi, demikian nama
perempuan itu, namun lebih sering disapa, Fatma. Saat ditanya alasannya, Addin
tersenyum simpul lalu berkisah.
Malam
sepulang kerja, Addin mampir makan di warung gado-gado langganannya. Sambil menikmati
pesanannya, Addin memandang lepas ke arah jalan. Di sana, dia melihat sebuah
gelas plastik bekas minuman kemasan tergolek di tengah jalan. Sudah banyak
orang yang lewat, baik wanita maupun pria, berusia muda ataupun tua, tak ada
satupun yang acuh pada benda itu.
Beberapa manusia
yang lewat malah menjadikannya seperti bola, ditendang ke mana suka. Ada yang
sekadar iseng, ada juga yang mungkin menjadikannya pelampiasan pening di kening
dan sumpek di benak. Addin memperhatikan itu sambil menyuap gado-gadonya
sesendok demi sesendok. Hingga dilihatnya, seseorang memungut gelas plastik itu
dan membuangnya ke tempat sampah.
Suapan
Addin terhenti, jantungnya berdegup kencang, darahnya mendesir. Siapa gerakan
yang tergerak hatinya menyingkirkan sampah itu dan membuangnya di tempat yang
layak? Pupil matanya dilebarkan untuk mencandra lebih jelas sosok yang membuat
perbedaan di antara semua pengguna jalan. Tak lama, gadis itu dikenalnya
bernama Fatma, dan Addin jatuh cinta.
Nah, di scene inilah dialog cadas itu berlaku,
saat teman yang dimintai pertolongannya untuk melamar Fatma bertanya ragu.
+ “Cuma
itu?”
- “Cuma
itu, Bang.”
+ “Yakin?”
- “Cukup
satu kebaikan untuk membuat kita jatuh cinta, Bang.”
Wow,
sebuah jawaban yang tak terduga, bukan? Aku ulangi lagi ya, jawaban Addin.
- “Cukup
satu kebaikan untuk membuat kita jatuh cinta, Bang.”
Bagaimana
dengan anda? Apa siap melamar atau menerima lamaran seseorang dengan alasan
yang sederhana dengan implikasi rumit itu? Mari lanjut dengan pertanyaan kawan
Addin selanjutnya.
+ “Bagaimana
kalau ada buruknya?”
- “Mawar
juga kan ada durinya, Bang?”
Wow...
wow... wow... Aku sampai menahan nafas mendengar jawaban itu, terdengar naif
namun memang demikianlah adanya. Tak ada mawar yang tak berduri, dan tak ada
manusia yang sempurna –kecuali nabi tentunya.
Tapi Addin bisa meyakini ini sedemikian dalam dan mampu menggerakkan dia untuk
mengajukan lamaran pada seorang gadis yang baru dilihatnya sekali berbuat
kebaikan.
Ini menggambarkan
betapa kuat dia berpegang pada keyakinan bahwa Allah tidak akan menjodohkan
seseorang dengan dia yang tidak sederajat, dan tak menikahkan kita dengan
mereka yang yang tak sekufu. Kufu atau kafa’ah bermakna sepadan atawa
kesepadanan. Namun, kesepadanan dimaksud bukanlah harta, usia ataupun ketampanan/kecantikan.
Para ulama
mengajarkan bahwa kesepadanan yang dimaksud adalah dalam hal taqwa, ilmu, dan
akhlak. Cobalah tengok al Hujurat ayat 13, “...Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu.” Ini menegaskan adanya tingkatan ketakwaan, dan perlunya mencari yang
setara dalam ukuran ini.
Hal
berikutnya adalah sekafa’ah dalam urusan ilmu. Mengapa ini penting, sebab tentu
merupakan kondisi zalim bila seorang yang berilmu diadu dengan orang bodoh. Az Zumar
ayat 9 menggambarkan dengan gamblang, “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Tentulah tak sama.
Yang terakhir,
dalam urusan akhlak, dan inilah kafa’ah yang paling terang disebutkan dalam al
Quran untuk urusan pernikahan ini. Coba lihat an Nur ayat 26, “Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik.” Demikian aturan Allah, yang ditegaskan pula dalam al Baqarah ayat ke
221.
Kembali ke
hubungan unik Addin dan Fatma, Addin langsung tertarik pada Fatma bukan karena
tak peduli dengan urusan kafa’ah ini. Justru sebaliknya, Addin menunjukkan
betapa dia memahami bahwa dirinya bukanlah orang yang sempurna, sehingga sebuah
kesyukuran besar bisa meminang seorang perempuan yang, “Cukup satu kebaikan(nya)
untuk membuat kita jatuh cinta.”
Sisi lain,
Addin menunjukkan ikatan keimanan yang kuat pada dirinya akan janji Allah bahwa
tak akan berjodoh mereka yang tidak sekafa’ah, jadi buat apa menyiksa diri
untuk mencari yang sempurna? Bukankah, “Mawar juga kan ada durinya”. Mending
terus berusaha memperbaiki diri agar Allah mengganjarnya dengan yang sepadan
sebagai jodoh. Bukan begitu, Mlo?
11 ramadan
1439 H / 26 Mei 2018
Tags:
Catatan Hati