Ini
ramadan, bulan di mana orang beriman berlomba beribadah untuk mendulang pahala.
Tentu, untuk menunjang kesempurnaan ibadah, masjid adalah sarana utamanya. Maka
seperti itulah faktanya hari ini, manusia berjubel di masjid-masjid, tak peduli
suku, ras, golongan, jenis kelamin dan usia. Masjid menjadi tempat paling ramai
dikunjungi manusia, selain pusat perbelanjaan.
Pada malam
keduabelas ramadan ini, ada dua hal yang menjadi perhatianku dalam tulisan ini:
kotak amal –populer disebut celengan
meski tak mirip celeng– dan pengelolaan masjid. Sebelum salat tarawih tadi,
seorang panitia ramadan di masjid tempatku biasa berjamaah mengumumkan jumlah kas
masjid yang sudah mencapai 20an juta. Wow, sebuah jumlah yang besar, bukan? Tentu
kita semua paham itu adalah uang yang diinfaqkan oleh jamaah.
Jumlah besar
itu menggelitik kesadaran usilku, mengapa tidak digunakan untuk aktivitas
keagamaan dan pemberdayaan ekonomi umat? Bukankah jamaah menyumbang agar mereka
bisa mendapatkan amal jariah? Amal yang senantiasa tetap berlangsung sepanjang
masa, meski si penyumbang telah meninggal dunia. Tentu saja, jamaah menyumbangkan
uangnya ke masjid bukan untuk dijadikan tabungan, bukan?
Bila uang
itu ditabung di bank, apakah amal jariah dari si penyumbang juga berjalan? Aku
tak punya pemahaman keagamaan yang lebih mengenai ini. Satu yang bisa
kupastikan, bila benar uang itu nangkring di rekening bank, maka bunganya akan
terus berjalan dari bulan ke bulan. Tapi apakah itu yang diharapkan jamaah? Aku
sungguh heran dengan pengurus masjid di berbagai tempat yang seperti tidak
punya program dan tak tahu bagaimana mengalokasikan kas masjid.
Jumlah kas
masjid yang mencapai 20an juta itu juga mengulur ingatanku ke sore tadi, pasca
salah asar berjamaah di masjid yang sama. Berhubung masih ada target
bacaan al Quran yang mesti aku selesaikan hari itu, maka kusempatkan diri untuk
mendaras barang beberapa ayat, kulihat beberapa jamaah juga melakukan hal yang
sama.
Suasana tenang
dari tak sampai sepuluh jamaah yang lagi tadarusan, ditingkahi ketawa riang
dari beberapa santri TPA yang sedang bercengkrama di lantai dua. Tapi tak
berapa lama, tiba-tiba seorang pengurus masjid yang sementara menghitung isi
celengan, berbisik ke pengurus lain. “Coba lihat itu di atas, kipas angin
dijalankan para santri lalu mereka tidur di situ. Kalau mau tidur ya di rumah,
putar kipas angin sepuasnya.” Demikian lamat-lamat kudengar bisiknya.
Aku tertohok
mendengarnya, apa salahnya anak-anak tiduran di masjid, di mana kelirunya bila
mereka menggunakan kipas angin untuk mengusir gerahnya? Bukankah mereka juga
bagian dari umat yang berhak menikmati masjid dengan caranya sendiri? Aku kemudian
berpikir lanjut, bagaimana generasi muda muslim bisa akrab dengan masjid, bila
sejak dini mereka sudah direpresi secara tak ramah?
Lalu seperti
prediksi saya, tak butuh waktu lama, si pengurus masjid mengutus seorang anak
untuk menghalau temannya dari lantai dua, sekaligus mematikan kipas angin yang
tadi bekerja. Segerombolan anak muncul dari ujung tangga, berduyun ke lantai
satu. Di sana kembali mereka berguling, sesekali cekikikan, saling mencandai,
bahkan beberapa berkejaran mengitari hijab pembatas tampat jamaah perempuan dan
lelaki.
“Hoi,
berhenti! Kalau masih ribut, saya putar telinganya!” Kembali pengurus itu
berseru sambil menudingkan telunjuk dan mengancam dengan jeweran. Duh, aku meringis
mendengar ujarannya yang membuat miris. Selayaknya mereka membuat program
kreatif untuk mereka agar betah di masjid dan tidak membuat gaduh –bila itu masalahnya. Toh, untuk
biayanya, masjid punya kas yang jutaan.
Setelah
tenang beberapa jenak, sebagai kanak, sekali lagi mereka gaduh, dan sekali lagi
kudengar pengurus itu membentak dan menyuruh tenang. Tak lama, suasana memang
tenang, satu persatu anak-anak itu berlalu entah ke mana dan membuat gaduh
entah di mana. Kembali aku membatin, bisa saja mereka kemudian mengisi sorenya
dengan taruhan karet gelang atau main karambol. Apakah pengurus masjid tak
merasa ikut bertanggungjawab bila generasi kita salah arah?
Saat aku
kembali menekuni ayat-ayat yang tersisa, suasana mengagetkan baru tercipta. Tanpa
peduli dengan kehadiran jamaah yang tadarus, pengurus masjid tadi lantas berdiri,
menghampiri saklar lampu dan tanpa aba-aba dia mematikan lampu utama masjid. Dia
cuma menyisakan dua lampu di pojok kanan dan kiri depan, sehingga jamaah yang mengandalkan
penerangan dari lampu utama harus beringsut. Pengurus itu berlalu tanpa pesan
apa-apa.
Beruntung,
aku tadarusan menggunakan smartphone, jadi punya penerangan sendiri. Tapi walaupun
bagaimana, aku merasa kalau dimatikan lampu dan ditinggalkan begitu adalah
sebentuk pengusiran halus. Maka segera saja kututup mushaf digitalku lalu
berlalu meninggalkan masjid sambil menggerutu. Kupikir, uang yang 20an juta itu
tidak akan cippe’ bila hanya untuk
membayar listik penerang bagi mereka yang mengaji.
Pertanyaan
super usil menyeruak di kesadaranku saat menghitung langkah menuju rumah, ini
masjid atau perusahaan? Kok pengelolaannya tidak berorientasi pelayanan? Lalu di
mana kerelawanan? Tapi aku lalu menghentikan pikiran nakalku. Sebab ternyata
aku toh hanya bisa berani protes di tulisan ini, dan belum tentu bersedia bila
diajak menjadi pengurus masjid.
Maka malam
ini, sebelum tulisan ini kubuat, kembali aku menyambangi masjid tersebut,
menikmati salat isya berjamaah, mendengarkan ceramah, lalu salat tarawih
berjamaah. Sebab sejatinya, kecintaan umat pada masjid bukan tergantung pada
seperti apa pelayanan pengurus masjidnya, tapi pada masjid itu sendiri. Tempat nama
Allah disebut-sebut, dan salawat nabi dilantunkan dengan khusyuk. Ramahkan masjidmu
dengan ramainya hadirmu.
12 ramadan 1439 H / 27 mei 2018
Tags:
Keagamaan