12. Celengan dan Masjid yang (Tak) Ramah

Ini ramadan, bulan di mana orang beriman berlomba beribadah untuk mendulang pahala. Tentu, untuk menunjang kesempurnaan ibadah, masjid adalah sarana utamanya. Maka seperti itulah faktanya hari ini, manusia berjubel di masjid-masjid, tak peduli suku, ras, golongan, jenis kelamin dan usia. Masjid menjadi tempat paling ramai dikunjungi manusia, selain pusat perbelanjaan.

Pada malam keduabelas ramadan ini, ada dua hal yang menjadi perhatianku dalam tulisan ini: kotak amal –populer disebut celengan meski tak mirip celeng– dan pengelolaan masjid. Sebelum salat tarawih tadi, seorang panitia ramadan di masjid tempatku biasa berjamaah mengumumkan jumlah kas masjid yang sudah mencapai 20an juta. Wow, sebuah jumlah yang besar, bukan? Tentu kita semua paham itu adalah uang yang diinfaqkan oleh jamaah.

Jumlah besar itu menggelitik kesadaran usilku, mengapa tidak digunakan untuk aktivitas keagamaan dan pemberdayaan ekonomi umat? Bukankah jamaah menyumbang agar mereka bisa mendapatkan amal jariah? Amal yang senantiasa tetap berlangsung sepanjang masa, meski si penyumbang telah meninggal dunia. Tentu saja, jamaah menyumbangkan uangnya ke masjid bukan untuk dijadikan tabungan, bukan?

Bila uang itu ditabung di bank, apakah amal jariah dari si penyumbang juga berjalan? Aku tak punya pemahaman keagamaan yang lebih mengenai ini. Satu yang bisa kupastikan, bila benar uang itu nangkring di rekening bank, maka bunganya akan terus berjalan dari bulan ke bulan. Tapi apakah itu yang diharapkan jamaah? Aku sungguh heran dengan pengurus masjid di berbagai tempat yang seperti tidak punya program dan tak tahu bagaimana mengalokasikan kas masjid.

Jumlah kas masjid yang mencapai 20an juta itu juga mengulur ingatanku ke sore tadi, pasca salah asar berjamaah di masjid yang sama. Berhubung masih ada target bacaan al Quran yang mesti aku selesaikan hari itu, maka kusempatkan diri untuk mendaras barang beberapa ayat, kulihat beberapa jamaah juga melakukan hal yang sama.

Suasana tenang dari tak sampai sepuluh jamaah yang lagi tadarusan, ditingkahi ketawa riang dari beberapa santri TPA yang sedang bercengkrama di lantai dua. Tapi tak berapa lama, tiba-tiba seorang pengurus masjid yang sementara menghitung isi celengan, berbisik ke pengurus lain. “Coba lihat itu di atas, kipas angin dijalankan para santri lalu mereka tidur di situ. Kalau mau tidur ya di rumah, putar kipas angin sepuasnya.” Demikian lamat-lamat kudengar bisiknya.

Aku tertohok mendengarnya, apa salahnya anak-anak tiduran di masjid, di mana kelirunya bila mereka menggunakan kipas angin untuk mengusir gerahnya? Bukankah mereka juga bagian dari umat yang berhak menikmati masjid dengan caranya sendiri? Aku kemudian berpikir lanjut, bagaimana generasi muda muslim bisa akrab dengan masjid, bila sejak dini mereka sudah direpresi secara tak ramah?

Lalu seperti prediksi saya, tak butuh waktu lama, si pengurus masjid mengutus seorang anak untuk menghalau temannya dari lantai dua, sekaligus mematikan kipas angin yang tadi bekerja. Segerombolan anak muncul dari ujung tangga, berduyun ke lantai satu. Di sana kembali mereka berguling, sesekali cekikikan, saling mencandai, bahkan beberapa berkejaran mengitari hijab pembatas tampat jamaah perempuan dan lelaki.

“Hoi, berhenti! Kalau masih ribut, saya putar telinganya!” Kembali pengurus itu berseru sambil menudingkan telunjuk dan mengancam dengan jeweran. Duh, aku meringis mendengar ujarannya yang membuat miris. Selayaknya mereka membuat program kreatif untuk mereka agar betah di masjid dan tidak membuat gaduh –bila itu masalahnya. Toh, untuk biayanya, masjid punya kas yang jutaan.

Setelah tenang beberapa jenak, sebagai kanak, sekali lagi mereka gaduh, dan sekali lagi kudengar pengurus itu membentak dan menyuruh tenang. Tak lama, suasana memang tenang, satu persatu anak-anak itu berlalu entah ke mana dan membuat gaduh entah di mana. Kembali aku membatin, bisa saja mereka kemudian mengisi sorenya dengan taruhan karet gelang atau main karambol. Apakah pengurus masjid tak merasa ikut bertanggungjawab bila generasi kita salah arah?

Saat aku kembali menekuni ayat-ayat yang tersisa, suasana mengagetkan baru tercipta. Tanpa peduli dengan kehadiran jamaah yang tadarus, pengurus masjid tadi lantas berdiri, menghampiri saklar lampu dan tanpa aba-aba dia mematikan lampu utama masjid. Dia cuma menyisakan dua lampu di pojok kanan dan kiri depan, sehingga jamaah yang mengandalkan penerangan dari lampu utama harus beringsut. Pengurus itu berlalu tanpa pesan apa-apa.

Beruntung, aku tadarusan menggunakan smartphone, jadi punya penerangan sendiri. Tapi walaupun bagaimana, aku merasa kalau dimatikan lampu dan ditinggalkan begitu adalah sebentuk pengusiran halus. Maka segera saja kututup mushaf digitalku lalu berlalu meninggalkan masjid sambil menggerutu. Kupikir, uang yang 20an juta itu tidak akan cippe’ bila hanya untuk membayar listik penerang bagi mereka yang mengaji.

Pertanyaan super usil menyeruak di kesadaranku saat menghitung langkah menuju rumah, ini masjid atau perusahaan? Kok pengelolaannya tidak berorientasi pelayanan? Lalu di mana kerelawanan? Tapi aku lalu menghentikan pikiran nakalku. Sebab ternyata aku toh hanya bisa berani protes di tulisan ini, dan belum tentu bersedia bila diajak menjadi pengurus masjid.

Maka malam ini, sebelum tulisan ini kubuat, kembali aku menyambangi masjid tersebut, menikmati salat isya berjamaah, mendengarkan ceramah, lalu salat tarawih berjamaah. Sebab sejatinya, kecintaan umat pada masjid bukan tergantung pada seperti apa pelayanan pengurus masjidnya, tapi pada masjid itu sendiri. Tempat nama Allah disebut-sebut, dan salawat nabi dilantunkan dengan khusyuk. Ramahkan masjidmu dengan ramainya hadirmu.

12 ramadan 1439 H / 27 mei 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama