Pernah
merasa bahwa baju yang kau kenakan mengeluarkan aroma tak enak, serupa bau
gulai ikan menjelang basi –selanjutnya disingkat
BGIMB? Begitulah bau bajuku malam ini aku rasa. Celakanya, perasaan bau itu
baru muncul sesaat setelah aku mengangkat takbir untuk memulai salat tahiat al
masjid. Rasa khusyuk yang coba kubangun saat menyeru nama Allah dengan suara
tegas tertahan, buyar akibat aroma yang menusuk hidung.
Sepanjang salat,
mataku jelalatan melirik ke kanan dan kiri melihat reaksi jamaah yang berdiri
di sisiku, aku takut mereka mengeluarkan ekspresi tak sedap. Bukannya meresapi
penggalan-penggalan ayat al Quran yang kulafalkan dalam salat, aku malah sibuk
mengenang sebuah hadis nabi yang melarang seseorang untuk mendekati masjid bila
pada dirinya ada bau tak enak.
Kalau tak
salah, begini bunyi hadisnya, “Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni
bawang putih –suatu kali beliau
mengatakan ‘Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats
(sejenis daun bawang), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab
malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”
Sebagian besar
ulama menyepahami bahwa –berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini– bau yang menyengat dan menimbulkan
suasana tidak nyaman merupakan salah satu uzur yang memungkinkan seseorang
untuk mungkir dari salat berjamaah. Bahkan ada yang meyakini bahwa wajib hukumnya
menghindari salat berjamah di saat seperti itu.
Begitu salatku
tuntas dengan salam, segera aku membaui bagian lengan baju, terutama di bagian
ketiak. Tak ada aroma aneh dari wilayah ketiak, berarti ini memang BGIMB yang
telah menempel di serat kain baju yang aku kenakan. Tak salah, sebab ketika
kuseka rambutku, lalu kucoba mencium jemariku, baunya sama, bukan sekadar apek,
lebih dari itu.
Astagfirullah,
aku berseru tertahan. Ingatanku melayang ke peristiwa subuh tadi. Saat aku
berjalan ke masjid, aku mencium BGIMB yang kucurigai menguar dari tubuh seorang
jamaah yang berjalan sekira dua puluh meter di depanku. Sepanjang jalan aku
berusaha menjaga jarak, sebab secara pribadi, aku memang kurang suka dengan bau
gulai ikan.
Bahkan waktu
sepanjang di dalam masjid, bau itu masih juga tercium olehku, dan mataku tak
lelah memandang ke arah jamaah yang kucurigai sebagai sumber aroma. Namun lucunya,
sepertinya cuma aku seorang yang resah denganBGIMB itu. Atau jangan-jangan mereka
tak mencium apa-apa? Lalu ada apa dengan hidungku? Karena penasaran, di
perjalanan pulang, aku memangkas jarak dari orang itu.
Sambil berusaha
untuk menarik nafas seperlunya, aku mendekat sekira lima hingga tujuh meter di
belakangnya. Lalu kesimpulanku, bau itu bersumber dari dia, jamaah itu. Aku menyurutkan
langkah ke jarak aman, kuambil nafas panjang dan bergumam dalam hati, “Harusnya
jangan ke masjid kalau bau begitu. Apa dia tak sadar bila bau itu mengganggu
orang lain?”
Apakah dia
tak tahu kalau bau bawang yang disebut dalam hadis Muslim, oleh al Maziriy
menjelaskannya dengan mengqiyaskan bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan
sebagainya dengan bau bawang. Katanya, “Para ulama fikih menyamakannya dengan
bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”
Hingga kami
berselisih jalan, aku masih saja menyesalkan keberanian jamaah tadi untuk ke
masjid dalam kondisi badan BGIMB. Bahkan tak sempat pula aku memohon maaf
karena telah memberinya cap negatif. Padahal, jamaah lain di masjid tadi, tak
ada yang menunjukkan gelagat ketergangguan akibat bau itu. Aku khawatir telah
memfitnah jamaah itu, meski cuma dalam hati.
Maka
ketika malam ini aku merasa terganggu oleh BGIMB yang berasal dari baju dan
rambutku sendiri, aku merasa mendapat tamparan keras. Ini peringatan... Ini teguran...
Ini hukuman... aku membatin. Faktanya, tak ada orang yang merasa terganggu
dengan hadirku, berarti cuma aku yang merasai bau itu. Aku telah salah menuduh
orang lain.
Begitu doa
witir berakhir dan jamaah bubar, segera aku beranjak untuk menjadi yang
terdepan berada di luar, tepat di seberang jalan depan pintu masjid. Tujuanku sederhana,
menunggu jamaah yang telah kucurigai secara semena-mena sebagai penyebar BGIMB.
Aku harus mengakui pikiran-pikiran negatifkuk tentangnya, lalu aku harus
mendapatkan relanya melalui permintaan maaf.
Namun sayang,
hingga jamaah terakhir berlalu, orang yang kunanti tak jua nampak di pelupuk. Selain
pada orang itu, aku juga merasa kalau ini pukulan balik yang telak dari bau
ikan, aku telah menuduhnya menjadi penyebab aku tak khusyuk salat subuh, tadi. Dengan
gontai aku melangkah menuju rumah, mulutku tak henti melantun zikir.
Asyhadu an laa ilaaha illaLlaah
Wa nastagfirullaah
Nas aluka ridhooka wal jannah
Wa nauudzu bika min sakhotika wan naar
Allahumma innaka afuwwun kariim
Tuhibbul afwa fa’fuannaa ya rahiim
13 ramadan
1439 H / 28 Mei 2018
Tags:
Refleksi