14. Hormati yang (Tak) Berpuasa

Fenomena razia rumah makan yang buka di siang hari dan penginapan murah meriah, pernah menjadi aktivitas populer di bulan ramadan selama beberapa tahun terakhir. Alasannya sederhana, mereka yang berpuasa berharap agar ibadah yang mereka jalankan dihargai.

Sepintas, asa ini ada benarnya. Mereka yang berpuasa sedang berjuang menahan lapar dan haus, dan salah satu cara yang dirasa efektif untuk membantu meningkatkan kemampuan menahan adalah mengurangi godaan. Menutup rumah makan di siang hari adalah salah satu model aplikasinya.

Namun sejatinya, ternyata berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, berpuasa menuntut pengendalian diri, memupuk rasa tawadu, dan membina rasa rendah hari.

Seorang yang berpuasa selayaknya menjauhkan diri dari ketakaburan, rasa sombong dan tinggi hati. Maka makin seseorang mampu menjaga amarahnya, menundukkan egonya, bahkan merahasiakan bahwa dia sedang berpuasa, adalah manifestasi puasa yang sepatutnya.

Ini berarti bahwa fenomena merazia warung makan yang buka di siang hari penginapan murah meriah selama bulan ramadan dengan dalih menghormati mereka yang berpuasa adalah bentuk aktivitas yang sesungguhnya kontraproduktif bagi tercapainya tujuan puasa itu dituntunkan sebagai ibadah.

Bila memamerkan bahwa dirinya sedang berpuasa dan meminta dihormati, bukankah di sana ada benih-benih kesombongan? Bukankah itu juga sebentuk riya, memamerkan ibadah yang dilakukan? Atau mungkin tanda ketidakmampuan sehingga meminta orang lain membantunya menjaga ibadahnya?

Padahal sebagaimana mafhum, puasa adalah ibadah yang paling rahasia sifatnya. Bahkan sering dikatakan bahwa saking rahasianya, puasa sepatutnya hanya diketahui oleh mereka yang berpuasa dengan Tuhannya, Allah. Pihak lain tak perlu mengetahuinya.

Dalam konteks ini, maka yang sepatutnya memiliki rasa penghormatan lebih, kemampuan tenggang rasa yang luas, dan kapasitas menghargai orang lain, adalah mereka yang berpuasa. Sebab yang sedemikian itu merupakan indikator berkualitas dan tidaknya puasa kita.

Beruntung, pada ramadan kali ini, fenomena razia –terutama yang dilakukan oleh ormas tertentu– mulai berkurang. Bila pun ada, maka itu dilakukan oleh petugas resmi dari Dinas Sosial atau Satuan Polisi Pamong Praja yang bekerja berdasarkan surat perintah resmi.

Sayangnya, saat kaum yang berpuasa mulai memilih untuk beribadah dalam sunyi dan sepi yang mereka rajut dari upaya menahan diri dari tindakan razia dan semacamnya, sebagian yang tak berpuasa –termasuk sebagian yang juga berpuasa– malah menjadi kehilangan kendali.

Jumlah pasangan di luar nikah yang ketahuan berbuat mesum, berdasarkan temuan petugas, meningkat. Parahnya, mereka menjadikan bulan puasa sebagai alasan untuk bertemu lalu bersepakat memupuk dosa. Dengan dalih salat tarawih atau salat subuh berjamaah, mereka lalu saling memadu nista.

Perbuatan mereka juga mendapatkan kemudahan dari murahnya sewa penginapan dan mudahnya mereka menyewa, tanpa ada aturan pengikat bagi dua sejoli yang tanpa ikatan nikah untuk saling bertemu lalu sekamar dan setempat tidur, dan seselimut berdua. Lalu petugas Dinas Sosial dan Satpol PP pun sibuk mendata.

Lalu apa yang harus dilakukan mereka yang berpuasa? Ya, harus tetap kekeh menahan diri dan membina emosi agar tetap terkendali. Lalu memandang itu sebagai ujian, sebagai godaan, sebagai cobaan untuk mengukur, menakar dan menimbang kualitas puasa.

Mari hormati mereka yang tak berpuasa, tentu dengan tak usah pamer dan membuat pengumuman bahwa kita sedang berpuasa, namun berusaha menjaga perasaan mereka yang tak atau belum mampu puasa. Hehehehe......


14 Ramadan 1439 H / 29 Mei 2018 H

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama