Fenomena
razia rumah makan yang buka di siang hari dan penginapan murah meriah, pernah
menjadi aktivitas populer di bulan ramadan selama beberapa tahun terakhir. Alasannya
sederhana, mereka yang berpuasa berharap agar ibadah yang mereka jalankan
dihargai.
Sepintas,
asa ini ada benarnya. Mereka yang berpuasa sedang berjuang menahan lapar dan
haus, dan salah satu cara yang dirasa efektif untuk membantu meningkatkan
kemampuan menahan adalah mengurangi godaan. Menutup rumah makan di siang hari
adalah salah satu model aplikasinya.
Namun sejatinya,
ternyata berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu,
berpuasa menuntut pengendalian diri, memupuk rasa tawadu, dan membina rasa
rendah hari.
Seorang
yang berpuasa selayaknya menjauhkan diri dari ketakaburan, rasa sombong dan
tinggi hati. Maka makin seseorang mampu menjaga amarahnya, menundukkan egonya,
bahkan merahasiakan bahwa dia sedang berpuasa, adalah manifestasi puasa yang
sepatutnya.
Ini berarti
bahwa fenomena merazia warung makan yang buka di siang hari penginapan murah
meriah selama bulan ramadan dengan dalih menghormati mereka yang berpuasa adalah
bentuk aktivitas yang sesungguhnya kontraproduktif bagi tercapainya tujuan puasa itu
dituntunkan sebagai ibadah.
Bila memamerkan
bahwa dirinya sedang berpuasa dan meminta dihormati, bukankah di sana ada
benih-benih kesombongan? Bukankah itu juga sebentuk riya, memamerkan ibadah
yang dilakukan? Atau mungkin tanda ketidakmampuan sehingga meminta orang lain
membantunya menjaga ibadahnya?
Padahal
sebagaimana mafhum, puasa adalah ibadah yang paling rahasia sifatnya. Bahkan sering
dikatakan bahwa saking rahasianya, puasa sepatutnya hanya diketahui oleh mereka
yang berpuasa dengan Tuhannya, Allah. Pihak lain tak perlu mengetahuinya.
Dalam konteks
ini, maka yang sepatutnya memiliki rasa penghormatan lebih, kemampuan tenggang
rasa yang luas, dan kapasitas menghargai orang lain, adalah mereka yang
berpuasa. Sebab yang sedemikian itu merupakan indikator berkualitas dan
tidaknya puasa kita.
Beruntung,
pada ramadan kali ini, fenomena razia –terutama
yang dilakukan oleh ormas tertentu– mulai berkurang. Bila pun ada, maka itu
dilakukan oleh petugas resmi dari Dinas Sosial atau Satuan Polisi Pamong Praja yang
bekerja berdasarkan surat perintah resmi.
Sayangnya,
saat kaum yang berpuasa mulai memilih untuk beribadah dalam sunyi dan sepi yang
mereka rajut dari upaya menahan diri dari tindakan razia dan semacamnya,
sebagian yang tak berpuasa –termasuk sebagian
yang juga berpuasa– malah menjadi kehilangan kendali.
Jumlah pasangan
di luar nikah yang ketahuan berbuat mesum, berdasarkan temuan petugas, meningkat.
Parahnya, mereka menjadikan bulan puasa sebagai alasan untuk bertemu lalu
bersepakat memupuk dosa. Dengan dalih salat tarawih atau salat subuh berjamaah,
mereka lalu saling memadu nista.
Perbuatan
mereka juga mendapatkan kemudahan dari murahnya sewa penginapan dan mudahnya
mereka menyewa, tanpa ada aturan pengikat bagi dua sejoli yang tanpa ikatan
nikah untuk saling bertemu lalu sekamar dan setempat tidur, dan seselimut
berdua. Lalu petugas Dinas Sosial dan Satpol PP pun sibuk mendata.
Lalu apa
yang harus dilakukan mereka yang berpuasa? Ya, harus tetap kekeh menahan diri
dan membina emosi agar tetap terkendali. Lalu memandang itu sebagai ujian,
sebagai godaan, sebagai cobaan untuk mengukur, menakar dan menimbang kualitas
puasa.
Mari hormati
mereka yang tak berpuasa, tentu dengan tak usah pamer dan membuat pengumuman
bahwa kita sedang berpuasa, namun berusaha menjaga perasaan mereka yang tak atau belum mampu puasa. Hehehehe......
14 Ramadan 1439 H /
29 Mei 2018 H
Tags:
Refleksi