Malam ini
kembali aku tak salat tarawih di masjid, aku cuma menyelesaikan isya berjamaah lalu
pulang, menulis ini, dan tidur. Lelah masih mendera, istri mengingatkan agar
memilih istirahat dulu, agar tak berujung tepar. Maka kupenuhilah
permintaannya, saya akan tidur setelah tulisan ini selesai, dan secangkir kopi
yang telah kuseduh, tandas. Rencananya, salat tarawih akan aku kerjakan
berjamaah dengan istri, dinihari sebentar.
Aku
teringat dengan seorang kawan yang mengatakan bahwa sejatinya salat tarawih itu
tidak memberatkan, sebab secara bahasa, tarawih berarti istirahat. Kata tarawih
yang menjadi nama salat sunah pada malam hari pada bulan Ramadan memang berasal
dari kata tarawih yang merupakan bentuk jama' dari bentuk tunggalnya, tarwihah,
yang berarti istirahat.
Karena penasaran
dengan hal ini, maka aku mencoba mencari-cari informasi. Rupanya, kata
istirahat tersebut pada awalnya mengacu pada sunah rasulullah. Beliau bila
salat malam di bulan ramadan dilaksanakan dengan cara empat rakaat (dua kali salam) lalu duduk (jalsah) istirahat selama beberapa waktu,
lalu melanjutkan empat rakaat (dua kali
salam). Duduk di antara empat rakaat inilah yang dikenal dengan istilah
tarwihah yang belakangan bermetamorfosis menjadi nama salat, tarawih.
Aku baru
mengerti, pantas saja aku merasa begitu lelah bila usai salat tarawih, rupanya
karena minim istirahat. Padahal rasulullah telah mencontohkan bahwa ada
istirahat di tengah-tengah salah tarawih. Selain itu, pelaksanaan salat tarawih
yang terkesan kejar tayang, bacaan ayat yang pendek, tuma’ninah yang tak utuh, membuat
tubuh harus bergerak cepat di saat ia seharusnya jeda.
Padahal di
situlah substansinya, di istirahat. Mengapa ada istirahat di tengah-tangah
jumlah rakaat salat? Agar kita melaksanakan salat tarawih dengan tenang dan
khusyuk, membaca ayat dengan pelan dan bisa diresapi maknanya, serta tuma’ninahnya
sempurna, sehingga tubuh tidak seperti terlipat-lipat dan membuat pegal-pegal.
Sebab bila dikerjakan terburu-buru dan tanpa istirahat, dia kehilangan makna
sehingga cuma layak dinamai salat, tanpa tarawih.
Mengenai salat
tarawih ini, aku punya pengalaman yang membuat masygul. Aku semasa remaja, pernah
diajak salat tarawih di masjid yang cukup jauh dari rumah, alasannya sederhana,
di sana rakaatnya cuma delapan, dibanding salat tarawih di masjid dekat rumah, yang
mencapai dua puluh rakaat dengan tambahan zikir setiap selesai salam.
Rupanya
kawan yang tadi punya maksud terselubung. Sebab begitu bubar dari masjid yang
tarawihnya pintas, dia mengajakku kembali ke masjid yang tarawinya panjang. Dia
lalu mengajakku nongkrong di depan masjid, lalu menitip surat mungil kepada
seorang anak kecil untuk diberikan kepada seorang jamaah perempuan. Tak lama,
keluarlah seorang gadis menemuinya. Gadis yang lagi dalam proses pendekatan
untuk jadi pacarnya.
Ketika kuprotes
ulahnya, dengan enteng dia mengemukakan argumen yang terdengar logis, namun sesungguhnya
penuh akal bulus. Menurutnya dia itu luar biasa, tarawihnya tuntas, masih bisa
pula pendekatan pada gadis incaran. Karena dilakukan pada bulan ramadan, bila
jadian, akan berberkah, dan tentu saja mereka akan pacaran dengan islami, sebab
perempuannya selalu mengenakan mukena dan tak ada pegangan tangan, karena
puasa.
Ada lagi seorang
ibu paruh baya, rajin pergi tarawih di masjid yang tarawihnya minim
rakaat. Alasan dia lain lagi, agar bisa lebih cepat pulang dan bisa menonton
sinetron. Ketika kusoal, dia mengatakan bahwa dia justru dapat banyak pahala, selain
pahala salat tarawih berjamaah, dia juga mendapatkan pahala menonton, sebab
yang dia tonton adalah sinetron islami. Begitu katanya.
Nah,
bagaimana dengan kalian? Aku mau istirahat dulu ya, biar bisa segar untuk salat
tarawih dinihari nanti. Mari kita berdoa agar kita bisa mendapatkan keduanya, salatnya dan tarawihnya. sebab bila cuma salat dengan terburu-buru, tentu tarawihnya tidak dapat, bila terlelap dan lupa salat, tentu cuma dapat tarawih. hehehe.....
7 ramadan
1439 H / 22 mei 2018
Tags:
Keagamaan