06. Banjir, Ramadan dan Doa Revolusioner

Media sosial kepunyaan orang sekampungku, ramai dengan informasi tentang banjir. Ada yang menginterpretasinya sebagai ujian, ada yang menganggap sebagai teguran, apalagi kedatangan air yang berjebah itu, seakan memeriahkan awal ramadan yang baru melintasi hari keempat.

Melihat informasi itu, segera kutelepon salah seorang adik yang menetap di Bone. Hasilnya, betul. Banjir memang sedang membandang. Tak hanya di Kota Watampone tempat iya mukim, tapi juga di Desa Pakkasalo, salah satu desa di Kecamatan SibuluE, tempat kedua orang tua kami menetap.

Maka secepatnya kututup telepon dan kubuka percakapan baru dengan ibu. Rumah di kampung terendam air luapan sungai. Beruntung bagian rumah sebelah depan yang terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan dua ruang tamu sudah ditinggikan hampir semeter, jadi selamat dari genangan.

Tapi rumah bagian belakang kuyup. Di sana ada empat kamar tidur, dua ruang makan, dua ruang keluarga, satu kamar mandi, ruang dapur, gudang, sumur dan ruang mencuci. Maka ayah, ibu, nenek, dan adik ipar beserta dua anaknya yang lagi liburan, kumpul di bagian depan.

Salah satu status di media sosial yang membuat kaget adalah klaim bahwa banjir ini terbesar di Bone sejak 70 tahun terakhir. Memang, menurut ibu, air tinggal berjarak sejengkal sebelum menjangkau rumah bagian depan. Itu tanda bahwa banjir kali ini memang lebih tinggi dari banjir tahun-tahun sebelumnya.

Tapi di antara komentar di media sosial yang kubaca, ada beberapa orang menafsirkan kehadiran banjir ini dalam perspektif politik kontemporer. Banjir dipersepsi sebagai teguran karena ketidakberesan pemerintahan di Bone. Ketidakberesan yang dimaksud adalah tidak terpenuhinya beberapa janji politik yang diucapkan lima tahun silam.

Celakanya, pemimpin yang diasumsikan kurang berhasil itu, maju lagi sebagai kandidat dalam pilkada Juni nanti, dan hebatnya, sebagai calon tunggal. Maka hampir pasti, kemungkinan terpilihnya sangat besar. Sementara itu, para pengusung kotak kosong, kurang terkonsolidasi, hanya bersuara sporadis di media sosial, termasuk soal banjir ini.

Aku tak bepretensi untuk menilai apa benar pemimpin Bone sekarang terkategori kurang berhasil, dan apakah banjir ini terkait dengan kualitas kepemimpinan tersebut. Tapi tema soal banjir dan keburukan, memang dapat kita temukan hadir bersamaan dalam berbagai pappaseng to riolo (pesan para leluhur).

Salah satu pesan tersebut berwujud galigo dengan pola 8-7-6 suku kata, lalu menjelma menjadi sebuah lagu yang indah dengan judul: Ongkona Sidénréng. Saya kutipkan satu bait dari lagu legendaris tersebut:
     Tenna bosi ri ulunna
     (Semogalah hujan di hulu)
     Na lémpe' ri toddanna
     (Banjir menggenang di hilir)
     Na mali lebbaé
     (Hanyut segala warta)

Lebbaé, sebuah kata arkais yang aku terjemahkan dengan kata warta, meski sebetulnya tak terlalu pas. Dalam masyarakat Bugis, kata lebbaé digunakan untuk mewakili segala hal yang menjadi petanda dari sebuah situasi, bisa berupa janji, bisa berupa kabar, pun benda material yang merepresentasikan gumpalan harapan.

Dalam konteks interpretasi politis atas galigo ini, maka lebbaé mengacu kepada janji yang tak ditepati, kabar palsu atau hoaks, serta beragam spanduk yang mengumbar senyum pencitraan yang penuh kepalsuan. Pintasnya, lebbaé mengacu kepada segala kebobrokan dan kemunafikan.

Seorang kawan yang bugis tulen pernah mendaku kepadaku bahwa inilah penggalan galigo paling revolusioner yang pernah dia kenal. Sebentuk pengharapan publik akan lahirnya gerakan sosial yang spontan, lalu menyapu bersih segala kebobrokan dan patologi sosial. 

Saat situasi sosial berada pada titik nadir, adalah hal lumrah bila keyakinan messianik (mahdiisme) yang memang sejatinya terkandung dalam berbagai peradaban dan gerakan sosial besar, menyeruak di tengah kesadaran publik. Demikian pula dengan terjadinya banjir (lémpe') dalam galigo di atas, mengalami interpretasi messianistik. 

Bila orang Yahudi menuturkan perihal Messiah, Nasrani senantiasa berpegang pada al Masih, Muslim bersetia pada penantian akan al Mahdi, di Jawa kita mengenal Ratu Adil, kaum Komunis memperjuangkan masyarakat tanpa kelas, maka orang Bugis, mengenal To Manurung.

Konsepsi akan munculnya secercah harapan dari tengah kabut derita dan kerusakan, ibarat hadirnya secara misterius Mata Silompo'é ri Matajang saat rakyat dari tujuh wanua dalam situasi sianré balé. Galigo di atas merupakan sebuah metafora soal penantian (intizhar) ini.

Maka melantunkan bait pertama Ongkona Sidénréng, di tengah genangan air yang meluber ke mana-mana, dalam situasi politik yang minim dinamika yang sehat, adalah sebuah pilihan yang melankolik sekaligus profetis. Serupa doa yang dipanjatkan di sujud terakhir salat witir mereka yang dilupakan oleh kekuasaan. 

Doa yang akan memanjat kaki langit dan menggedor-gedor pintu arasy Tuhan memohon dan meminta keadilan. Doa yang menjelma air bah spontanitas yang menghanyutkan segala hipokrisi dan kedustaan yang dibungkus keberhasilan semu dan prestasi artifisial. 

Apakah pilihan kolom kosong pada kertas suara pilkada Bone Juni nanti bisa memenuhi harapan dan penantian messianik ini? Semua itu ditentukan pada sejauh mana kerja-kerja politik para penyokongnya untuk mengkapitalisasi isu yang mampu menyentuh kesadaran kultural publik pemilih secara sublim.

6 ramadan 1439 H / 21 mei 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama