Makassar, Kota Tua yang Memunggungi Pejalan Kaki


415 tahun yang lampau, tepatnya 9 November 1607, warga Makassar menggelar salat Jumat pertama di Masjid Kerajaan Tallo. Peristiwa inilah yang menjadi penanda hari kelahiran Stadsgemeente Makassar yang diperingati setiap tahun sejak awal tahun 2000.

Hari itu, 9 November 2022 usai subuh, kucoba menyusur jalan Mallengkeri Raya, mencari penganan tradisional. Anakku yang sekolah di SD Negeri, mengaku diminta untuk membawa kue tradisional ke sekolah, dalam rangka ulang tahun Makassar, katanya.

Dengan was-was, kususur pinggiran jalan yang tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Tak ada trotoar di sana, bahkan demikian pula dengan bahu jalan. Badan jalan yang mulus dengan beton hot mix, langsung berakhir ke tepi got nan curam. Sementara pemotor dan pemobil, seakan enggan berbagi dengan pejalan.

Di benakku, terbayang suasana jalan-jalan kota yang minim trotoar, dengan gaya pengendara yang selalu merasa terburu-buru. Sebuah situasi yang menyudutkan para pejalan pada pilihan sulit: berjalan atau selamat. Sebab memilih berjalan, ibarat menyerahkan takdir pada kebaikan hati pemotor dan pemobil.

Di titik ini, kesadaranku tersentak membenarkan isi kabar yang membuat gegar jagad infomasi dengan berita tentang betapa mager-nya orang Indonesia, terutama untuk sekadar berjalan kaki. Sekelompok peneliti dari Stanford University menempatkan Indonesia sebagai negara yang warganya paling malas berjalan kaki.

Tak tanggung-tanggung tim Stanford merilis bahwa rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah per hari. Jumlah langkah yang masih di bawah langkah per hari warga Arab Saudi (3.807), Malaysia (3.963), dan Filipina (4.008).

Terpaut jauh dari warga Hong Kong rata-rata berjalan kaki 6.880 langkah atau 6 km per hari. Diikuti oleh China dengan rata-rata masyarakat melangkahkan kaki sebanyak 6.189 langkah per hari. Kemudian ada Ukraina (6.107), Jepang (6.010), dan juga Rusia (5.969).

Posisi warga Indonesia di tengah warga dunia dalam urusan berjalan kaki, juga merepresentasikan kebiasaan warga Makassar. Tengok saja, berapa banyak warga yang bisa kita lihat berjalan kaki? Sudah begitu minim, bila tak menjadi pemobil, ya minimal pemotor.

Di kota yang mendengung-dengungkan diri sebagai kota dengan visi pembangunan berbasis lorong, malah memanjakan pemotor dan pemobil, habitus berpindah yang tidak ramah lorong. Bukankah secara alamiah, aktivitas warga di lorong harusnya lebih ramah ke pejalan kaki?

Tapi apa lacur? Jalan-jalan kota hampir tak punya kepedulian pada pejalan kaki. Buktinya, pembuatan jalan hampir selalu abai menyiapkan trotoar, atau minimal bahu jalan. Pejalan kaki seperti menjadi warga tiri di kota Makassar.

Tak hanya itu, lihat saja sekolah-sekolah kita, tak lagi ada anjuran berjalan kaki, yang ada adalah anjuran agar datang lebih awal ke sekolah. Tentu saja, imbauan ini menjelma serupa mantra, anak sekolah maupun orang tua dan walinya menjadikan kendaraan bermotor sebagai satu-satunya pilihan untuk memenuhi tuntutan itu.

Cobalah berjalan kaki menyusur marga di kota Makassar, maka dijamin jantung anda akan sehat, bukan karena banyaknya langkah dan rendahnya polusi. Jantung terpicu kencang oleh rasa khawatir akan tertabrak oleh motor atau mobil. Selain itu, anda akan dipandang sebelah mata, dianggap tak mampu beli motor atau mobil.

Tak adanya trotoar dan pandangan miring warga terhadap pejalan kaki, membuat segenap warga, termasuk pelajar dan mahasiswa merasa minder berjalan kaki. Padahal, bukankah Tuhan menciptakan kaki, hanya untuk satu tujuan: berjalan!

Di usianya yang 415 tahun, Makassar sebagai kota kelihatan kian anti terhadap warganya yang berjalan kaki. Faktanya, tak ada kebijakan pembangunan kota yang peduli dengan hak dasar para pejalan kaki, berupa ruang berjalan yang aman dan nyaman, baik secara fisik maupun psikologis.

Para pemangku kepentingan di kota Makassar seperti menganggap bahwa berjalan kaki adalah kebiasaan yang kontra produktif dalam menjangkau era Metaverse. Ide besar soal Makaverse, sebagai citra Makassar yang smart dan adaptif terhadap teknologi tinggi, emoh terhadap persoalan ini.

Padahal akademisi Prancis, Frederic Gros, telah mengajak kita memandang kebiasaan jalan kaki dari sudut pandang yang tak biasa. Kemajuan sebuah kota harus ditopang oleh tumbuh suburnya ide-ide kreatif dan inovasi-inovasi bernas. Semua itu bisa dipicu, salah satunya, dengan menyemarakkan jalan kaki.

Dalam bukunya yang bertajuk Philosophy of WalkingGros mendaku bahwa berjalan kaki bukan semata meletakkan kaki secara bergantian, melainkan mampu menemukan ribuan ide kisah  petualangan di setiap langkah.

Bahkan, untuk menguatkan pendapatnya, Gros mengurai bahwa Sokrates merupakan sosok yang gemar berjalan di sekitar Agora pada pagi hari. Muridnya, Plato berjalan kaki mondar mandir saat mengajarkan filsafat kepada muridnya. Lalu cucu muridnya, Aristoteles berjalan kaki bersama para muridnya sambil menerangkan berbagai macam hal ihwal.

Kebiasaan berjalan kakilah yang lalu melahirkan salah satu aliran besar filsafat, filsafat paripatetik. Aliran ini, dalam tradisi pemikiran Islam disebut masyaiyah. Kata masya dan yamsyi bermakna berjalan kaki. Dan sesungguhnya, paripatetik bermakna berjalan.

Lalu bagaimana dengan Makassar? Akankah lahir generasi besar dengan ide-ide besar tanpa membiasakan jalan kaki, dan abai terhadap fasilitas bagi pejalan kaki? Tentu bila berkaca pada kisah-kisah pemikir besar yang didedah oleh Gros, jawaban atas tanya ini sudah bisa diketahui oleh masing-masing kita.

Seorang filosof abad ke-19 asal Jerman yang disebut Gros sangat menyukai jalan kaki adalah Friedrich Nietzche (1844-1900). Tokoh yang diklaim sebagai bapak nihilisme ini, rata-rata berjalan satu jam di pagi hari dan tiga jam di sore hari. Nietzche juga memfatwakan, “Duduklah sesedikit mungkin, jangan percayai ide apapun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas.”

Membiarkan pembangunan jalan yang minim trotoar dan bahu jalan, ditebangnya pepohonan penaung di sepanjang pinggiran jalan, serta bebasnya mobil/motor parkir di badan jalan, adalah bukti nyata adanya keberpihakan yang timpang antara kepentingan pemobil/pemotor dengan pejalan.

Pemilik kendaraan bermotor seperti mendapatkan hak istimewa berupa perluasan dan makin mulusnya jalan raya, meski harus mengorbankan ruang bagi pejalan. Patut diduga ada pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari banyaknya kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor secara pribadi.

Melaksanakan car free day di setiap akhir pekan, tak lebih dari sekadar kebijakan lip service, kenyataannya, kegiatan itu juga didominasi oleh para pemotor dan pemobil. Tengok saja, di sekitar kawasan car free day, jalan dipenuhi kendaraan parkir. Lalu pejalan kaki dapat apa? Tentu saja dapat beban menanggung efek dari meruahnya kendaraan bermotor.

Warga pejalan kaki begitu disepelekan, padahal jalan kaki adalah juga merupakan olahraga dari cabang atletik, bahkan salah satu kompetisi bergengsi di tingkat internasional. Tetapi di kota ini, kota yang menggadang-gadang diri sejajar dengan berbagai kota besar dunia, jalan kaki malah dipandang sebelah mata.

Cobalah menyusur jalan-jalan di kota Makassar, betapa minimnya warga yang melintas dengan berjalan kaki. Lalu bila kita melongok berita yang berseliweran, tak sulit kita temukan betapa geng motor merajalela di kota ini. Bahkan bila malam hari, anda akan melihat anak muda bebas bermotor dengan gaya free style di jalan raya.

Memang belum ada penelitian serius bahwa semua tindakan beringas di jalan raya itu adalah akibat tak tersedianya fasilitas bagi pejalan dan tak karibnya warga kota dengan aktivitas berjalan. Tetapi melihat fenomena itu, kita bisa merenungkan pesan Bapak Amerika, Thomas Jefferson, “Tujuan berjalan kaki adalah menenangkan pikiran.”

Bila di usianya yang ke 415, kota Makassar masih saja abai dan tak acuh dengan hak-hak pejalan kaki, maka jangan heran bila di tengah-tengah kota yang kian menua ini, lahir generasi rebahan nan lemah otak (lemot) karena terlalu malas gerak (mager) dan hanya tahu menikmati gaji buta (gabut).

Tayang juga di: MakassarBicara.Id

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama