Amplop Putih Dari Perempuan Di Teras Masjid


Kenapa perempuan itu senyum-senyum padaku? Tanya itu berdenyar di benakku, saat mataku tak sengaja bersitatap dengannya. Apa aku salah arah dan masuk toilet perempuan? Kualihkan pandanganku ke pelang yang terpasang di samping pintu toilet, tak ada yang salah, aku berada pada jalur yang tepat. Lalu mengapa dia senyum, bahkan lumayan manis, padaku?

Apa ia mengenalku? Bisa saja. Bukan sombong, tapi sudah begitu banyak forum pelatihan, seminar, dan sejenisnya tempat aku berbagi informasi, data dan pengalaman. Tentu saja, aku tak bisa mengenal dan mengingat satu per satu wajah peserta yang kuhadapi. Tetapi boleh jadi, ada satu dua orang peserta yang masih mengingatku, wajah seseorang yang pernah berceloteh panjang lebar di depannya.

Apa ia mengenalku? Barangkali. Bisa saja mereka orang-orang yang pernah berinteraksi denganku pada urusan pekerjaan. Atau bisa pula kami berjumpa pada suatu persamuhan organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, atau kemasyarakatan di mana aku pernah dan masih mencatatkan diri sebagai sekadar anggota atau jadi pengurus. Maklum, aku termasuk orang yang tak bisa berdiam diri dan berpangku tangan.

Hingga kakiku melangkah memasuki tempat berwudu, ingatanku belum berhasil menautkan wajah perempuan itu pada seseorang yang kukenal. Mungkin saja, cuma aku yang terlalu merasa terkenal, dan merasa disenyumi. Padahal, bisa saja, senyum itu memang sudah menjadi karakter mukanya, bibir yang tak pernah lekang dari lengkung tipis di kedua ujungnya.

Setelah berwudu, kumantapkan langkah menuju pintu masjid, perempuan berjilbab besar warna hitam itu masih ada di sana, di samping pintu masuk bagi jemaah laki-laki. Ketika melihatku yang cukup intens menatapnya, ia kembali tersenyum. Saat kudekati, dia menyodorkan secebis amplop putih. Aku mulai berprasangka, jangan-jangan ia hendak menyampaikan sesuatu padaku, tapi dia menjaga muruah, jadi menyampaikannya melalui surat.

Kuterima amplop yang disodorkannya, kubalas senyumnya dengan senyum termanisku, lalu amplopnya kusisipkan masuk ke dalam saku celana. Aku menapak pintu masuk masjid, tak lupa kubaca doa. Kututup pasal perihal perempuan itu, senyumnya, pun amplopnya. Kuniatkan akan membacanya nanti setelah salat. Sekarang saatnya bersiap, ikamah segera berkumandang.

Sesuai salat, kutuntaskan zikir pasca salat dengan perlahan. Kudirikan salat sunah setelahnya. Kulanjutkan dengan bacaan doa-doa pintas yang lazim kubaca. Barulah kemudian aku merogoh saku mengeluarkan amplop putih dari perempuan tadi. Perlahan kukeluarkan isinya. Hai, apa gerangan yang ia patri di sana? Apa kiranya yang tertera di situ? Kertasnya berwarnya hijau muda.

Setelah lipatannya kubuka, rupanya oh rupanya, ini hasil fotokopian. Permintaan sumbangan untuk panti sosial yang dikelola oleh sebuah yayasan. Bukan warkat pribadi sebagaimana kubayangkan pada awalnya. Pantas saja senyumnya demikian lebar mengembang saat menyerahkan amplop itu tadi, padaku. Kembali kutatap ia, dari balik kaca jendela, ia masih di sana dengan senyumnya.

Kecamuk ragu menggeliat di hatiku. Ikhlasku tergadai. Aku yang awalnya berniat mengisi amplopnya dengan beberapa rupiah, urung melakukannya. Salah satu fakta yang menjadi benteng penghalang adalah, mereka berdua tak ikut salat berjamaah. Mengapa harus berdiri di dekat pintu masuk jamaah pria sepanjang waktu? Tak bisakah ikut berjamaah walau sejenak, toh bisa masuk masjid saat ikamah, lalu keluar pasca salam.

Bahkan setelah waktu berlalu tiga puluh menit sejak jamaah salat duhur itu bubar, mereka masih saja di situ. Mengapa mereka tak masuk salat, padahal jamaah yang memasuki masjid sudah sangat berkurang? Aku berprasangka baik, mungkin saja mereka lagi haid, sehingga enggan masuk ke masjid. Semoga demikian.

Perlahan aku beranjak keluar masjid setelah menunaikan salat sunah dua rakaat. Kurogoh saku celana mencari lembar rupiah yang bisa kuisikan ke dalam amplop. Tapi memang takdir, setelah semua kantong di baju dan celana yang kupakai, tak ada satupun yang berisi. Akhirnya, kantongku kuisi dengan amplop putih yang kupegang, lalu melenggang meninggalkan masjid.

Aku merasa begitu pelit siang ini. Setelah agak jauh, kembali kupandang kedua perempuan itu, mereka masih setia di tempatnya semula, di samping pintu masuk jamaah laki-laki, di masjid Imamul Hakimin, Kompleks Pengadilan Negeri Makassar.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama