Resensi: Penantian Kudus Santi Muslinda


Salah satu cara praktis mengenal seseorang adalah dengan membaca buku hariannya. Seseorang, terkadang lebih terbuka dalam mengungkap rasa hati dan pikiran-pikiran liarnya kepada diarinya. Menulis di diari, terkadang seperti bercakap dengan diri sendiri. Padanya, seseorang bisa bertutur dengan jujur, tanpa khawatir akan dimintai pertanggungjawaban mengapa dia bersikap seperti itu. Maka membaca diari bisa memicu sensasi menaiki roller coaster, memicu adrenalin.

Diari bisa menjadi semacam prasasti untuk memahat riak-riak di dasar kalbu, dan mematri sulaman rasa yang membuncah di lubuk hati. Begitulah yang dilakukan Santi Muslinda melalui kumpulan tulisannya 'Sedang Menantimu (Sebuah Usaha Dalam Memperjuangkan Rasa)'. Entah, apakah ini semacam modifikasi catatan harian, atau fiksi yang disajikan ala diari, tapi apa yang disajikan oleh Santi terasa begitu nyata, dikuatkan dengan sudut pandang seorang perempuan, kian menambah rambang apakah ini nyata atau semata rekaan.

Terlepas dari jenis tulisannya, sejak dari bagian pertama yang diberi label Episode Awal, Santi berhasil mengaduk-aduk jiwa nan gelisah sidang pembaca dengan kalimat ringkas, "Jika menanti ialah cara terbaik dalam membalas rasa, maka, izinkan aku untuk melakukannya" (hal. 9). Ia menawarkan perspektif baru dalam menghadapi ungkapan rasa, lepas dari jebakan pilihan binarian antara menerima atau menolak. Santi memilih untuk menanti, sambil membiarkan arus waktu menjadi pentahkik di ujung harap.

Maka mengalirlah rangkaian kata dan kalimat yang membuat kita menerka dan menebak gerangan apa yang berkecamuk dalam benak perempuan kelahiran Takalar, 12 Maret 1999 silam. Bacalah, "Barangkali muara rindu menepi untuk memberiku sebuah pesan ada seseorang yang telah berjuang di kehidupan demi menemuiku nantinya" (Tepian Rindu, hal. 10). Cara Santi membuka tabir penantiannya, dan lalu mengirim pesan pada dia yang dinanti begitu lembut dan manis, seperti topping es krim yang lumer di mulut. 

Daras pula upayanya membeberkan perjumpaannya dengan seseorang yang menjadi pengganti dia yang dinanti tetapi tak kunjung bertandang. "Sesuai hujan reda, ada setetes air yang hinggap di dedaunan. Selepas gelombang laut pasang, ada sekumpulan pasir yang menepi di daratan" (Bertemu Denganmu, hal. 17). Dengan yakin, Santi percaya bahwa pertanda alam itu menegaskan bahwa "Kepergian seseorang, salah satu bukti bahwa akan ada sosok pengganti..."

Mungkin, apa yang diperbuat oleh Santi adalah upayanya menyambut petuah penulis novel populer Harry Potter yang tenar itu. Dalam sebuah kesempatan, J.K. Rowling berucap lirih, "Mulailah menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri." Kumpulan tulisan yang dibagi menjadi dua bagian (Episode Awal dan Episode Akhir), secara gamblang menuntun pembaca untuk mereka rupa suasana kebatinan yang melatari lahirnya 74 (tujuh puluh empat) tulisan yang tersaji.

Tentu kita tak perlu membandingkan goresan-goresan Santi dengan beberapa catatan perempuan hebat dalam sejarah. Tengoklah diari yang ditulis Anne Frank, penyintas genosida Nazi. Atau jurnal pribadi ahli kimia, fisikawan nuklir, dan penerima Nobel Fisika rahun 1903, Marie Curie. Atau catatan Frida Kahlo, pelukis aliran surealis dari Meksiko yang dengan telaten menuliskan proses kreatif di sela catatan tentang kehidupan pribadinya. Atau jurnal astronot yang juga ahli biokimia, Peggy Whitson. 

Catatan-catatan Santi dalam Sedang Menantimu menemukan posisinya sendiri di tengah hadirnya diari-diari para tokoh besar yang lalu diterbitkan untuk publik tersebut. Juga adalah kecerobohan bila mencoba menyandingkan Sedang Menantimu dengan Catatan Harian Seorang Demonstran (Sore Hok Gie), Pergolakan Pemikiran Islam (Ahmad Wahib), atau The Motorcycle Diaries (Ernesto Che Guevara). Diari Santi lebih menjadi ruang untuk berdamai dengan diri sendiri daripada mengkritik realitas sosial.

Santi betul-betul menggunakan Sedang Menanti untuk melakukan percakapan-percakapan personal, yang tak pernah terdengar dan kesampaian pada dia yang diajaknya bercakap. "Pada akhirnya, izinkan aku selalu menyebut namamu di sepanjang pengharapan ku pada Sang Maha Pencipta, walau diam menjadi pilihan di hadapanmu" (Menyebut Namamu, hal. 24). Separuh isi buku ini menegaskan bahwa Santi adalah seorang penikmat cidaha (cinta dalam hari) yang lumayan Platonis.

Tapi Santi bukanlah penanti yang pasif, dengan keteguhan kelopak Melati yang mekar menanti sinaran cahaya mentari di pagi hari, ia, meski dengan hati yang geletar, berkata, "Jika kakak benar-benar telah bulat dalam keputusan, apa salahnya datang, meminta seorang putrinya baik-baik di hadapan orang tuanya" (Kabar Gembira Darimu, hal. 69). Lelaki mana yang tak tergerak dengan stimulus rasa sedemikian? Hanya ia yang berhati batu dan jiwanya beku yang kan tetap bergeming. 

Apa yang disajikan Santi dalam 40 (empat puluh) tulisan pada penggal Episode Awal di Sedang Menantimu, adalah sulur-sulur yang mengajak pembaca untuk meneroka relung terdalam dari upaya merengkuh yang dirindu, termasuk diriku. Dia menunjukkan bagaimana berdamai dengan pengajaran yang tak berujung, serta menumbuhkan keyakinan bahwa waktu adalah obat paling mujarab bagi segenap luka dan derita. "Laki-laki yang diciptakan sebagai senja / Pelipur dalam hangatnya petang" (Kamu, hal. 86).  

Meski dirinya mempercayai bahwa penantiannya telah tiba di rembang petang, daripada meratapi kelam yang akan bertandang, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menikmati indahnya senja. Aku membaca buku ini dengan begitu subyektif serta sublimasi yang kental. Dialog Santi dengan diri sendiri berhasil mewujudkan obsesiku yang tak pernah kandas hingga kini, menjadi diari. Membaca Sedang Menanti seperti melihat Santi berkata polos pada diri sendiri perihal harap yang minta dilupakan, serta ihwal penantian yang melapuk dalam waktu.

Tengoklah pada bagian kedua buku yang bertajuk Episode Akhir, dengan lirih Santi merapal syair ahwal merengkuh kehilangan, "Jika melupakanmu ialah perihal yang terbaik, maka aku akan memikirkannya kembali beribu-ribu kali" (hal. 93). Ayat pintas ini menegaskan betapa kukuh Santi memegang teguh keyakinannya akan indahnya senja, meski kelam malam senantiasa mengintai untuk menelan petang. Santi memercayai bahwa keyakinan tak pernah berkhianat, "Aku meyakini bahwa rasa ini akan bersemi nantinya, meyakini dengan kepercayaan yang benar akan tertanam dalam diri" (Antara Meyakini Dan Mempercayai, hal. 92).

Lalu bagaimana Santi merawat harap yang aram temaram, dan meruwat rindu yang membelenggu? Untaian 32 (tiga puluh dua) tulisan pada Episode Akhir menerakan siasat Santi melewati masa-masa di mana jarak terentang antara yang merindu dan yang dirindu, antara yang menanti dengan yang dinanti, antara yang mengharap dengan yang diharap. Masa yang ditapaki dengan jejak-jejak doa dan karya, seumpama julai yang menghubungkan kedua sisi. Aku memilih menjadi diari dan membiarkan Santi bercakap dengan altar egonya.

Judul: Sedang Menantimu (Sebuah Usaha Dalam Memperjuangkan Rasa) | Penulis: Santi Muslinda | Penerbit: Guepedia | Cetakan: Pertama, Januari 2022 | Jumlah Halaman: 140 | ISBN : 978-623-398-260-3

Tayang juga di: BengkelNarasi.Com








Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama