Renungan Di Depan Pasar Pattirobajo


Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar
. –Buya Hamka

Pagi, butiran embun di ujung dedaunan mulai sembunyi dari sapaan mentari pagi yang mengerling hangat. Awal hari yang riuh, Pasar Pattirobajo ramai pengunjung. Ini jadwal terakhir sebelum hari raya Idul Adha bagi warga pasar yang terletak di pusat kota Kecamatan SibuluE, wilayah yang berparak sekira 15 kilometer dari Kota Watampone.


Di SibuluE, ada tiga pasar: Pasar Boarengnge (Desa Boarengnge), Pasar Pattirobajo (Desa Pattirobajo) dan Pasar Benteng (Desa Pakkasalo). Pasar Boarengnge tak pernah kukunjungi secara khusus, hanya melintas di depannya beberapa kali. Tapi Pasar Pattirobajo dan Pasar Benteng, saban hari aku datangi. Kedua pasar ini lumayan berdekatan, jaraknya hanya 3 kilometer, mungkin. Keduanya juga berbagi hari pasar dalam sepekan. Pasar Pattirobajo digelar tiap Selasa, Rabu, Jumat, dan Ahad. Sementara Pasar Benteng terbuka pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu


Hampir semua yang menjual dan membuka lapak di kedua pasar itu, orang yang sama. Harga jualan relatif sama, dengan sumber jualan yang juga serupa. Tapi jelang lebaran, pengunjung pasar hari ini (19 Juli 2021), lumayan membludak. Padahal mereka sudah mendatangi Pasar Benteng kemarin (18 Juli 2021), dan masih bisa mampir ke Pasar Benteng esok hari (20 Juli 2021). Entah apa yang mereka beli.


Namun bukan soal pasar dan segala soalan terkait jual beli yang akan kuudar dalam tulisan ini, melainkan perihal kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat yang menyeruak menggelitik pikirku pagi ini, pagi saat aku bertugas mengantar bini dan kedua adik perempuanku berbelanja di Pasar Pattirobajo. Di sini, aku mengalami kejadian yang mengusik kesadaran hukumku, pun mengulik rasa keadilanku.


Sebelum kuwartakan lebih jauh peristiwa berkesan itu, perlu kupaparkan soal apa yang kumaksud dengan kesadaran hukum serta rasa keadilan publik yang kumaksud. Ini bukan bertujuan memberi penyuluhan hukum, toh saya bukan ahlinya. Ini tak lain dan tak bukan, semata untuk membangun kesamaan persepsi perihal apa yang kumaksud dalam tulisan ini.


Secara sederhana, kesadaran hukum dipahami sebagai bangunan kesadaran yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap berbagai aturan hukum yang berlaku. Kesadaran hukumlah yang menggerakkan seorang pribadi atau masyarakat untuk taat pada aturan yang berlaku dalam upayanya mewujudkan keamanan, ketertiban, dan keadilan.


Sementara rasa keadilan adalah sebentuk perasaan yang muncul sebagai buah dari implementasi aturan hukum yang selaras dan seimbang oleh semua pihak. Rasa keadilan publik akan terusik apabila dalam menjalankan aturan, ada sesuatu yang membuat publik merasa bahwa sebuah tindakan bukan pada tempatnya.


Pagi ini, saat tiba di depan Pasar Pattirobajo, kesulitan muncul saat akan memarkir kendaraan. Sungguh, parkiran sesak, dan sepanjang jalan di depan pasar juga padat. Setelah menyusuri jalan yang membentang ke Utara, ada celah untuk parkir di depan pintu pasar sebelah kanan. Aku memarkir kendaraan di sisi barat jalan menghadap ke utara, tepat di antara mobil pick up putih dan SUV merah marun.


Tak lama, seorang berseragam polisi menghampiri dan menyapa, 

“Bapak yang menyupiri mobil ini?” Tanya petugas sambil menurunkan maskernya ke dagu.

“Iya, kenapa, Pak?” Tanya balik sambil memasang masker.

“Jangan parkir di sini, Pak. Akan bikin macet, silakan parkir searah di sisi timur jalan.” Terangnya.

“Oh, iya. Terima kasih.” Jawabku pintas.


Tanpa basa-basi aku menjalankan kendaraan, dan memindahkan posisi parkir ke sisi timur jalan, setelah sebelumnya memutar arah mobil menjadi menghadap selatan. Risikonya, aku mendapatkan lokasi parkir yang lumayan jauh dari pintu pasar. Maka kulayangkan pesan teks ke adik agar menelepon saja bila sudah hendak pulang, agar aku tinggal menjemputnya di pintu pasar.


Lumayan lama aku menanti di kendaraan. Dalam menunggu, kusaksikan mobil yang berada di depan dan di belakangku tadi, masih tetap berada di posisinya, parkir di sisi barat jalan. Sementara polisinya sudah raib entah ke mana. Tak lama, lokasi parkir yang kutinggalkan, sudah terisi oleh kendaraan lain, cukup lama, baru petugas polisinya datang dan meminta kendaraan itu dipindahkan oleh si empunya.


Dari kejadian di depan pasar itu, aku lalu memahami bahwa tidak semua warga memiliki kesadaran hukum yang sama. Buktinya, tak semua mereka yang parkir di sisi barat jalan, lalu memindahkan kendaraanya begitu mendapat teguran dari petugas kepolisian. Padahal memang, bila di sisi barat jalan ditempati menjadi parkiran sementara, kemacetan menjadi lumayan panjang. Selayaknya, teguran sopan dari polisi dan pengamatannatas realitas lalu lintas bisa menjadi pemicu agar kita segera memindahkan kendaraan.


Kesadaran hukum juga ditentukan oleh beberapa hal, seperti konsistensi aparat menegakkan aturan, serta tingkat pemahaman masyarakat atas aturan sebagai buah dari sosialisasi aturan yang intens. Seperti yang kualami, aku memarkir di sisi barat jalan, karena tak mengetahui ada larangan tentang itu. Tapi aku langsung pindah begitu mendapatkan informasi dari petugas.


Tapi selain itu, kesadaran hukum juga sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan yang terpenuhi. Dalam kasus yang kualami, ingin rasanya kembali memarkir kendaraan di sisi barat jalan sebagai bentuk protes terhadap aparat kepolisian yang bertugas. Mengapa? Sebab aku merasa ada perlakuan tak adil di sini, ada sebentuk pembiaran terhadap para pelanggar aturan. Buktinya, tak ada upaya penegakan aturan secara tegas terhadap mereka yang membandel dan enggan pindah, belum lagi petugas polisi yang hanya sesekali menunjukkan batang hidungnya.


Beruntung, aku teringat pada sebuah konsep sakti dalam konteks pemberantasan korupsi: INTEGRITAS. Aku menekan mengelus-elus egoku yang protes keras atas rasa keadilan publikku yang terciderai. Aku menegaskan bahwa kesadaran hukum tidak selayaknya digantungkan pada realitas penegakan hukum yang timpang atau karena takut mendapatkan sanksi dan teguran polisi, tapi pada komitmen untuk konsisten pada aturan.

Integritas pribadiku mengingatkan bahwa berlaku adil adalah sesuatu yang baik serta butuh keberanian dan hanya bisa dilakukan oleh pribadi yang merdeka. Maka demi menjaga kewarasan dan mempertahankan kemerdekaan diri dari stimulus negatif yang bersifat eksternal, aku memilih bertahan memenuhi anjuran polisi untuk parkir di sisi timur jalan, sambil berharap agar aparat lebih tegas meneggakkan aturan.


Oh ya, aku juga menanti pak polisi melintas di dekatku, agar aku bisa mengajukan protes sebagai perwujudan penegakan hak warga negara yang merasa diperlakukan tidak adil. Sayang, hingga panggilan pulang tiba, aku tak sempat berjumpa lagi dengan pak polisinya. Maka rasa gondok di hati, aku tumpahkan dalam susunan kalimat pada tulisan ini.


Pernah tayang di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama