[20.07.2012] Suatu siang menjelang dhuhur, saya menyempatkan
diri mampir di tempat usaha jasa pengetikan milik seorang kawan di dalam Kompleks
Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kompleks tersebut terletak di bilangan
Tamalanrea, seputaran Kampus Universitas Hasanuddin. Niatnya sih, selain
istirahat, sekalian menunggu waktu sholat dhuhur yang sebentar lagi menjelang.
Waktu menunjukkan pukul 12.07 wita ketika
lamat-lamat terdengar suara adzan dari arah masjid Kompleks Pusat Dakwah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Suara adzan yang terdengar tidak mengagetkanku, aku
sudah sering mendengar adzan itu, bahkan saya hafal wajah muadzinnya. Maklum,
aku lumayan sering sholat di masjid tersebut.
Yang membuat aku kaget adalah respon dari para pelanggan
kawan saya yang rata-rata mahasiswi. “Siapa
tuh yang adzan? Kok jelek sekali?”, “Pusat
dakwah kok adzannya buruk begitu?”, atau yang lebih halus, “Itu muadzin pengganti ya?” dan beragam
respon lainnya.
Dari sekian banyak respon yang saya dengar, tak
ada satupun bernada positif. Semua berfikiran sama: adzannya buruk, dan tidak
sepantasnya masjid milik lembaga dakwah besar seperti Muhammadiyah punya tukang
adzan yang bersuara buruk. Aku hanya mengurut dada lalu beranjak mengambil
wudhu untuk ikut jama’ah.
Setahu saya, sebenarnya banyak generasi muda
potensial yang bisa adzan di masjid tersebut. Penyedia muadzin potensial bagi
masjid tersebut adalah Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Ikatan
Pelajar Muhammadiyah yang banyak beraktivitas di tempat tersebut. Belum lagi di
seputar kompleks banyak terdapat kos-kosan mahasiswa yang dihuni mereka yang
aktif di lembaga dakwah kampus.
Tapi menurut informasi sang kawan, persoalannya
bukan pada apakah ada yang bisa adzan atau tidak. Masalahnya adalah, si tukang
adzan yang menurut komentar berbagai pihak bersuara buruk itu enggan untuk di
gantikan. Bahkan pernah kejadian, ketika ada seorang mahasiswa mendahului bapak
tersebut adzan, terpaksa mendapat teguran dari sang bapak.
Mengenai kejadian tersebut, aku juga belum
pernah mengkonfirmasi langsung ke bapak tersebut, tetapi menurut keterangan
kawan, cerita tersebut sahih, dan itu dibenarkan oleh beberapa orang yang aku
kenal dan beraktivitas di Kompleks Pusat Dakwah tersebut. Cerita ini sudah
cukup lama aku dengar, namun meskipun begitu, setiap aku melintas di kawasan
Tamalanrea, aku berusaha mampir bila waktu sholat tiba.
Sambil berjalan menuju masjid, aku sempat melontarkan
komentar kepada sang kawan yang berjalan bersamaku, “Kasihan juga ya, ternyata
muadzinnya belum diganti”. Tapi komentar temanku makin membuat kaget, “Sekarang
malah lebih parah, bapak itu merangkap sebagai tukang iqamat, sekaligus jadi
imam sholat sejak pak imam meninggal”. Mendengar itu, saya cuma bisa
geleng-geleng kepala tidak mengerti.
Saya jadi teringat dengan cerita Jalaluddin Rumi
tentang seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Muadzin ini
sangat rajin adzan, meski suaranya sangat jelek. Sudah banyak orang yang
menasehatinya, “Tak usah kau mengumandangkan adzan begitu keras, kita ini menetap
di kampung mayoritas penduduknya tidak beragama Islam. Bisa saja, suaramu akan
menyebabkan kerusuhan dan perselisihan antara kita dengan mereka”.
Tetapi ternyata muadzin itu tidfak bergeming, Ia
merasa bahagia bisa melantunkan adzan (yang
tidak bagus tersebut) di kampung orang kafir. Ia menganggap itu sebagai
suatu kehormatan bisa mengumandangkan adzan di kampung yang penduduknya tidak
pernah shalat. Sementara orang Islam yang lain mengkhatirkan dampak adzannya yang
buruk itu.
Suatu pagi, seorang kafir tiba-tiba datang
menemui mereka. Lelaki itu datang membawa pakaian, lilin, dan beragam penganan.
Orang kafir itu menghampiri jama’ah kaum muslimin dengan sikap yang begitu bersahabat.
Ternyata, maksud kedatangannya adalah hendak menemui si muadzin. Berkali-kali
lelaki itu bertanya, “Katakan kepadaku di mana Muadzin itu? Kenalkan padaku
siapa dia, suara dan teriakannya begitu membahagiakanku”.
Mendengar penuturan lelaki kafir tersebut, jama’ah
kamu muslimin dilanda keheranan, bukankah adzan si muadzin tersebut begitu
buruknya? Mereka begitu penasaran sehingga salah seorang diantara mereka
mengajukan tanya, “Kebahagiaan seperti apa yang kau dapatkan dari suara jelek
itu?”. Lalu si kafir itupun menuturkan kisahnya.
Suara muadzin itu menjangkau sampai ke gereja,
di mana saya tinggal bersama keluarga. Saya mempunyai seorang anak gadis yang cantik
dan berperilaku baik. Ia tertarik sekali untuk menikah dengan seorang muslim
dan menjadi muslimah sejati. Ia tertarik masuk Islam sehingga tekun mempelajari
agama kalian itu. Melihat hal tersebut, saya sebagai pemuka agama Nasrani
merasa tersiksa dan gelisah, saya khawatir dia masuk Islam.
Saya sadar, tak ada upaya yang bisa saya lakukan
untuk mencegah anak saya memilih keyakinannya sendiri. Situasi iini kemudian
berbalik ketika suatu subuh anak gadis saya mendengar adzan jelek itu. Ia lalu bertanya,
“Suara apakah gerangan yang sangat tidak enak didengar ini? Sungguh mengganggu
pendengaranku. Belum pernah aku mendengar suara sejelek ini sebelumnya di
gereja”.
Pertanyaan anak saya itu dijawab oleh saudara
perempuannya, “Oh, itu namanya suara adzan, panggilan bagi orang Islam untuk
melaksanakan ibadah. Adzan merupakan salah satu ucapan utama seorang muslim
yang baik.” Mendengar penjelasan saudaranya, anak saya itu tidak percaya dan menanyakan
kepadaku, “Bapak, betulkah suara jelek itu suara panggilan orang Islam untuk
beribadah?”
Setelah saya meyakinkannya bahwa suara itu betul
suara adzan, wajah putri saya itu berubah menjadi pucat. Dalam hatinya serta
merta menjadi benci kepada Islam. Begitu saya melihat perubahan tersebut, saya merasa
begitu bahagia, terlepas dari segala cemas dan derita. Semalam, saya tidur begitu
nyenyak. Semua itu karena pertolongan dari suara adzan yang sangat jelek.
Saya datang ke sini untuk mengucapkan terima
kasih dan ingin memberikan hadiah ini kepada muadzin tersebut. Pertemukanlah
saya dengannya, agar bisa kusampaikan terima kasihku langsung kepadanya. Ketika
orang kafir itu dipertemukan dengan si muadzin, ia berkata, “Duhai penolong dan
penyelamatku, terimalah hadiah ini, berkat kebaikan kau lakukan melalui suara
adzanmu, kini saya bebas dari kekhawatiran terhadap sikap anak gadisku. Seandainya
saya mempunyai kekayaan yang melimpah, akan kupenuhi mulutmu yang berjasa itu
dengan bongkahan dengan emas”.
Sepulang dari sholah dhuhur berjama’ah, aku bercakap
lagi dengan kawanku. “Kenapa bukan ente yang adzan di masjid situ, suara kamu
kan lumayan bagus?” Mendengar itu, kawanku berkomentar sini, “Saya tak mau
ambil resiko di tegur oleh muadzin itu hanya karena dianggap mengambil lahan
amalnya”. Aku tertegun masygul mendengarnya.
Seorang teman perempuan telah cukup umur, tapi belum mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan jodoh. Berkali-kali kubertanya, laki-laki seperti apa yang kau inginkan dinda..
BalasHapusDia menjawab dengan tenang, "hanya muadzin"
Berkali-kali kubertanya, jawabannya sama. Lalu kutanya apa alasannya. Ternyata sangat melegakan. Dia bilang, karena muadzin lah, semua insan menghentikan kegiatannya, untuk melaksanakan ibadah. Subahanallah..
muadzin yang bersuara tak begitu merdu banyak juga saya jumpai. tapi sejauh ini sih no problem saja, yang penting hakikat dan makna adzannya.
BalasHapusMbak Ika, Masya Allah, semoga Allah memudahkan jodohnya....
BalasHapusBang Zach, saya secara pribadi juga tidak terganggu dengan suara adzan yang tidak terlalu bagus, tapi tulisan ini kisah nyata loh :)
ending cerita itu menjadi ironi..tadinya saya berpikir, pendeta itu senang dengan suara adzan, ternyata dia senang krn suara itu mengurungkan niat putrinya masuk islam?
BalasHapusHm..suara muadzin yang jelek disekitar rumahku banyak. ADa yg adzan males2an. Tapi aku slalu berpikir positif "kalo bukan dia yg adzan, sapa lagi? sapa yg berkenan adzan, aplg pas waktu subuh? disaat banyak orng masih ngantuk!"
Mbak Popi, sepertinya memang masalah ini perlu mendapatkan perhatian bersama umat Islam, adzan itu seperti persoalan sepele, tapi efeknya cukup kontraproduktif bagi keberislaman loh :)
BalasHapusah, kalo saya labrak aja..
BalasHapustapi tentu dengan menggaet muazin lain bersuara lebih baik dari pada dia dan saya..
biar bapak kek, tua muda, labrak aja..
kalo beliau sudah bertitle ustadz tentu gak akan seegois itu..
nice post :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya yaah ,
Hahaha ...
BalasHapusrindu dengan suasana pusdam muhammadiyah :d .. dengan adzan subuh dari muadzin bersuara nyaring. *kangen
kalau manusia tahu keutamaan seorang muadzin, tentu mereka akan berebut mendapatkannya....
BalasHapus