Makassar Yang Demokratis-Egaliter

Sebuah kota yang metropolis tentu menjadi impian yang ingin diwujudkan oleh setiap warga dan pemerintah kota terhadap kota kediamannya. Demikian pula dengan kota Makassar, tentu warga kota dan pemerintah kotanya memimpikan Makassar menjadi kota metropolitan. Kualitas kota metropolitan menunjukkan sebuah pencapaian proses pembangunan yang berkesinabungan dan sistemik yang dilakukan bersama oleh semua pihak, baik warga maupun pemerintah kota.


Secara sederhana metropolitan difahami sebagai sebuah kualitas kota yang ditandai oleh tingginya partisipasi dan emansipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dari warga dan pemerintah kota, pencapaian pemikiran yang signifkan dilihat dari kualitas pendidikan, tercapainya kemandirian ekonomi yang nampak dari tersedianya perangkat perekonomian, baik secara material maupun dalam bentuk aturan hukum serta tercapainya kemajuan teknologi.

Disamping ukuran-ukuran materil dari kualitas kota yang metropolis, dapat juga dilihat ukuran non-materialnya. Sebuah kota yang metropolis akan mengarahkan masyarakat pada, sebagaimana bahasa Naquib al-Attas (1977:15), “suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan”. Jadi metropolis dan tidaknya sebuah kota diukur dari ketinggian tata susila dan kebudayaannya.

Kolonisasi Civil Society

Dengan melihat pesatnya proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar, maka secara sederhana akan nampak adanya sebuah geliat pertumbuhan perkotaan yang signifikan untuk memenuhi prasyarat perkotaan yang metropolis. Kota Makassar telah mampu hadir sebagai salah satu kota besar di Indonesia ini.

Pembangunan fisik telah mengubah wajah Makassar, perlahan tapi pasti Makassar dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang menunjukkan pencapaian tinggi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pusat perbelanjaan modern (supermarket, mall dan hypermarket) menjamur bak cendawan di musim hujan.

Memang pembangunan yang terjadi, bila dilihat secara selintas, tentu sangat menggembirakan. Namun bila diperhatikan dengan cermat, maka akan terlihat adanya suatu pola penyeragaman warna kota yang berkarakter kaku, kota semakin bernuansa industrial. Munculya pusat perbelanjaan modern, restoran cepat saji, dan cafétaria berbanding terbalik dengan ketersediaan ruang publik (public space).

Makassar sebagai kota yang bersemangat industrial telah menggerus ruang publik (public space). Ruang-ruang yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya (gratis), seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya, telah dirampas oleh dan dikuasai oleh logika ekonomi. Dimana-mana terlihat plang-plang iklan, spanduk dan poster, yang tak lain dan tak bukan, hanya berisi ajakan bagi masyarakat untuk belanja.

Implikasi dari semangat metopolitanisasi Makassar yang ternyata identik dengan pembangunan kota yang bernuansa industrial ini telah mengakibatan terjadinya, Pertama, apa yang disinyalir oleh Habermas sebagai proses kolonisasi masyarakat sipil (civil society). Kolonisasi masyarakat sipil (civil society) difahami sebagai sebuah proses sosial dimana masyarakat sipil (civil society) dikalahkan dan diperalat oleh masyarakat negara/politik (political society) dan masyarakat pasar/ekonomi (economic society).

Masyarakat negara/politik (political society), sebuah wilayah dalam dimensi kehidupan sosial yang diintegrasikan oleh kekuasaan (power), sementara masyarakat pasar/ekonomi (economic society) adalah wilayah kehidupan sosial yang diintegrasikan oleh uang (money). Sedangkan masyarakat sipil (civil society) adalah wilayah kehidupan dimana tindakan-tindakan sosial tidak didorong oleh hasrat untuk mengakumulasi kekuasaan dan uang, tapi diintegrasikan oleh nilai dasar yang muncul dalam kehidupan sosial seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan sebagainya.

Implikasi yang Kedua, kolonisasi masyarakat sipil (civil society) oleh masyarakat masyarakat negara/politik (political society) telah mengakibatkan lahirnya kebijakan-kebijakan publik dari pemerintah kota yang lebih mengedepankan kepentingan modal dan atau pemerintahan dari pada memenuhi hak dasar warga kota. Hak dasar setiap warga untuk mendapatkan jaminan kehidupan sosial-ekonomi seringkali diberangus ketika berbenturan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kota dengan berbagai dalih.

Ini terlihat dengan peristiwa penggusuran pedagang kaki lima serta gelandangan pengemis karena kehadiran mereka dianggap mengganggu penampilan kota. Warga tidak diperlakukan sebagai tuan rumah di tanah sendiri, melainkan dianggap sebagai tamu dalam sebuah rumah dimana pemerintah kota sebagai tuan rumahnya. Sehingga sebagai tamu, warga kota harus senantiasa meyesuaikan diri dengan kemauan dan keinginan tuan rumah.

Ketiga, dengan dikolonisasinya masyarakat sipil (civil society), terutama oleh masyarakat pasar/ekonomi (economic society), maka secara material hal ini dapat dilihat dengan dikuasainya ruang publik (public space) oleh plang-plang iklan, spanduk dan poster. Pada gilirannya, dikuasainya ruang publik (public space) yang menjadi hak masyarakat sipil (civil society) telah membuat interaksi sosial masyarakat bermuara pada budaya konsumerisme.

Interaksi sosial di ruang publik (publik space) tidak lagi diintegrasikan oleh nilai dasar seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan sebagainya, melainkan oleh semangat untuk mencapai keuntungan material yang tinggi. Masyarakat sipil (civil society) bermetamorfosis menjadi masyarakat konsumeris sebagai tipologi masyarakat –menurut Baudrillard-- yang terjebak dalam konsumsi tanda-tanda belaka.

Komunikasi dan interaksi sosial dalam masyarakat konsumeris lebih mengedepankan proses pertukaran tanda-tanda sosial yang telah dikonsumsinya dari pada mengkomunikasikan nilai dasar yang sudah diproduksinya. Masyarakat akan menduduki kelas sosial tertentu bukan dari seberapa banyak dia berbuat kebaikan dan memenuhi azas keadilan bersama, melainkan ditentukan oleh merek barang yang dikonsumsinya.

Keempat, dengan hilangnya ruang publik (public space) masyarakat akan mengalami proses banalisasi dan menjadi stress. Ini diakibatkan karena masyarakat tidak lagi menemukan ruang dimana mereka untuk sesaat dapat mengendurkan urat syaraf yang diakibatkan oleh ketegangan kehidupan kota yang makin kompetitif sebagai akibat langsung dari karakter kota yang bernuansa industrial.

Hilangnya ruang publik (publik space) yang bersifat fisik seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya, memang diusahakan untuk disubstitusi oleh ruang publik (publik space) yang bersifat virtual seperti, radio, televisi, dan jaringan internet. Perkembangan kota Makassar juga menunjukkan gejala seperti ini, beriring dengan hilangnya ruang publik (public space) dan berjamurnya pusat perbelanjaan modern (supermarket, mall dan hypermarket) diikuti dengan peningkatan jumlah warung internet.

Memang disatu sisi, kehadiran warung internet (warnet) akan menutupi kebutuhan ruang interaksi antar warga kota, namun disisi yang lain kehadiran warung internet (warnet) makin memperluas jarak antara kelas sosial yang ada. Warnet sebagai format ruang publik (public space) virtual yang ditawarkan untuk mengganti keberadaan ruang publik (public space) fisik, ternyata hanya bisa diakses oleh kelas sosial tertentu.

Kelemahan lain dari ruang publik (publik space) virtual adalah karena hanya bisa diakses oleh kelas sosial tertentu, maka kehadirannya tidak bisa menjadi sarana bagi terjadinya integrasi sosial. Ruang ini tidak memberikan penghargaan dan pengakuan yang setara terhadap perbedaan dan keanekaragaman status dan kelas sosial, tidak ada lagi interaksi sederajat antara si kaya dan si miskin. Hal ini berbeda dengan ruang publik (public space) fisik yang memberikan ruang yang begitu luas untuk terciptanya interaksi sederajat tersebut, misalnya dimungkinkannya si kaya dan si miskin bermain bola bersama di lapangan umum.

Makassar Masa Depan

Untuk mewujudkan wajah Makassar yang demokratis, tentu tidak harus melakukan penghancuran terhadap pencapaian pembangunan fisik yang telah demikian pesat. Setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan, Pertama, pergeseran paradigma pembangunan. Pergeseran paradigma yang dimaksud adalah menggeser orientasi pembangunan dari orientasi keuntungan pemodal semata kearah pembangunan yang berorientasi ke pelayanan publik.

Kedua, pembangunan yang berorientasi pelayanan publik dituntut untuk memperhatikan aspek ketersediaan ruang publik (public space) bagi masyarakat seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya. Ruang publik (public space) ini menjadi tempat bagi warga masyarakat untuk melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya (gratis).

Ketiga, ruang publik (public space) yang tersedia haruslah mengedepankan nilai-nilai emansipatoris, partisipatoris dan egalitarian. Egalitarian dan tidaknya sebuah ruang publik (public space) ditentukan pada kapasitasnya untuk menjadi wadah bagi terjadinya negosiasi dan kompromi antara berbagai kekuatan sosial. Kehadiran ruang publik (public space) yang egaliter akan berfungsi untuk mencegah terjadinya ketegangan sosial yang bisa memicu konflik horisontal.

Masa depan Makassar yang demokratis dan egaliter ditentukan oleh itikad baik dari setiap komponen, apakah itu pemerintah kota yang merepresentasikan kekuatan masyarakat politik (political society), kaum pemodal sebagai representasi masyarakat ekonomi (economical society) dan warga kota sebagai representase masyarakat sipil (civil society). Ketiga kekuatan ini dituntut untuk menghindari saling berkonflik, dan di saat yang sama mereka juga diharuskan untuk saling bekerjasama dalam sebuah konsensus.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama