Resensi: Manusia Simbol; Meneroka Belukar Totem


Jagat intelektual pernah diriuhkan oleh mengemukanya perspektif kajian budaya (cultural studies) pada 1960-an. Demam cultural studies ikut menerpa ruang-ruang diskursus di Indonesia beberapa saat kemudian, tepatnya di 1990-an. Cultural studies mengemuka sebagai respons akademik para teoretikus sosial akan terseoknya teori-teori sosiologi dalam memotret realitas sosial di era kapitalisme lanjut dan posmodernisme.

Salah satu bidang yang menjadi bagian dari cultural studies adalah pembahasan soal budaya materi. Kajian ini mendedahkan perihal budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, serta bagaimana manusia berhubungan dengan benda. Dalam kajian budaya materi, pertanyaan pokok yang ingin dijawab adalah apa makna benda-benda bagi manusia? Jawaban atas pertanyaan ini memberikan gambaran perihal bagaimana manusia mendefisinikan, memperlakukan, dan menggunakan benda-benda dalam aktivis keseharian maupun dalam ritual kultural.

Dalam Newsletter KUNCI edisi 4 (2000:4), Antariksa mendedahkan bahwa baik dalam sudut pandang tradisional maupun modern, jawaban atas pertanyaan ini akan bermuara pada dua perspektif. Perspektif pertama menempatkan benda-benda secara fungsional saja. Misalnya, gelas sebagai wadah air minum atau batu bata sebagai bahan bangunan. Sementara perspektif kedua memandang benda-benda secara sebagai sesuatu yang simbolis. Misalnya, cincin bermata yang tak terlalu fungsional tetapi merepresentasikan kekayaan, kamakmuran, dan pernyataan cinta.

Istilah totem sendiri dipopulerkan oleh teoretikus psikoanalisis kawakan, Sigmund Freud dalam Totem and Taboo (1918) yang menjadi penanda direngkuhnya sisi religiositas ke dalam struktur teori psikoanalisis. Pada awalnya, totem mengacu pada kebiasaan masyarakat primitif untuk melekatkan makna-makna tekhayuli pada benda-benda tertentu yang menjadi perekat solidaritas sosial komunitas.

J. G. Frazer dalam totemism and exogamy (1910) menulis "Totem adalah sekumpulan benda-benda material yang orang-orang perlakukan dengan hormat dan penuh kepercayaan takhayul." Ini menegaskan bahwa makna totemisme sebuah benda material pada awalnya lebih bersifat religius dan spiritual. Dalam perkembangannya, meski sisi religiositas dan spiritual dalam kebudayaan kian tersisih, model pemaknaan totemisme terhadap benda-benda tetap berlangsung, bahkan mengalami perluasan.

Malah, di era kontemporer, pemaknaan atas benda-benda kian banyak bergeser ke arah perspektif totemisme. Dalam risetnya pada tahun 1979, Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom) menyimpulkan bahwa benda-benda menjelma menjadi medium simbolisasi nilai-nilai dan makna-makna abstrak. Benda-benda yang dimaksud tidak hanya melulu yang bersifat alamiah (seperti batu, tanah, kayu, dll.), tetapi juga merambah ke benda-benda pabrikan.

Beranjak dari simpulan Douglas dan Isherwood, dapat dikatakan bahwa ada fenomena kebudayaan yang menarik dalam konteks pemaknaan atas benda-benda. Sebuah benda dimiliki, dikuasai, dan dikonsumsi, bukan lagi sekadar mengacu ke fungsi materialnya. Sebuah benda dipertukarkan, disirkulasikan, didistribusikan, sebagai medium komunikasi dan pertukaran simbolis.

Sampai pada titik ini, pemaknaan atas benda-benda dalam perspektif totemisme merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan kultural masyarakat. Bahkan, hal ini memperkaya khazanah kebudayaan kehidupan manusia menjadi lebih romantik dan puitis. Totemisme benda-benda memungkinkan manusia mengekspresikan perasaannya secara fleksibel. Seperti, ungkapan cinta tak harus secara verbal "aku mencintaimu", tetapi bisa dengan sekotak cokelat, setangkai mawar, atau sepasang cincin berlian.

Problem dari wabah totemisasi benda-benda, pertama kali bisa ditilik dalam pemikiran Karl Marx. Distingsinya antara produksi demi kebutuhan konsumsi dan pemanfaatan langsung oleh pembuatnya dengan produksi yang mengacu ke permintaan pasar, telah menjadi peta awal untuk melihat lebih jernih fenomena ini. Bagi Marx, membebani makna-makna totemis atas sebuah benda karena permintaan pasar adalah sebentuk objektifikasi kesadaran sosial, atau populer dengan istilah komodifikasi.

Komodifikasi sebagai proses simbolisasi makna sosial dalam sebuah benda atau komoditas adalah sebentuk tindakan negatif dalam perspektif Marxian. Pelaku komodifikasi dengan sengaja mereduksi fungsi alamiah sebuah benda, melekatkan makna totemisme, lalu memanipulasip pandangankonsumen (publik) tentang benda tersebut melalui induksi dalam iklan, yang kesemuanya demi keuntungan kaum pemodal.

Bujuk rayu, godaan, dan seduksi dalam iklan telah menjadi bahan bakar bagi bekerjanya mesin hasrat untuk mengonsumsi benda-benda pabrikan yang telah dibebani pemaknaan totemisme, bahkan menderita pembelokan makna. Situasi ini dibilang oleh Jean Baudrillard (dalam Gary Genoise, Baudrillard and Signs: Signification Ablaze, London: Routledge, 1994) sebagai ekonomi adiktif. Menurutnya, ekonomi adiktif adalah situs perekonomian di mana orang-orang kecanduan mengkonsumsi daripada memproduksi.

Seduksi makin efektif di zaman kiwari dengan topangan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Proses representasi dan permainan makna dalam simbolisasi benda-benda material makin acak dan masif. Proses yang oleh Baudrillad disebutnya sebagai parodi, telah mengonstruksi realitas simulakra, dan menggiring manusia dalam lautan simbol yang tak lagi berujung pangkal dalam sebuah situasi pastis.

Realitas simulakra dan situasi pastis inilah yang banyak ditilik dalam buku ini. Penulis menerabas lapis-lapis simbol yang membalut benda-benda untuk menemukan makna alamiahnya (atau juga makna konotatif). la juga mengajak para pembaca untuk tidak sekadar pasrah pada tumpukan makna yang disajikan, melainkan perlu upaya reflektif dalam menghadapi berbagai momentum simbolis. Sebuah ajakan bersikap kritis.

Penulis buku ini menempatkan diri dalam barisan mereka yang gelisah dan risau dengan proses komodifikasi yang menggurita, tulisan-tulisannya menegaskan perlawanan penulis terhadap manipulasi simbolis dalam keseharian masyarakat kontemporer dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Kita bisa menemukan kecadasan ala Baudrillard dalam ulisan-tulisannya

Tema tulisan yang kaya menunjukkan keluasan wawasan dan perspektif yang dikuasai oleh penulis. Persoalan konsumsi, komunikasi, dramaturgi politik, sampai religiositas dan K-Pop, tak lepas dari radar amatan penulis. Sayang, penulis kurang ketat melekatkan referensi dalam tulisan-tulisan yang disajikan. Hal ini karena buku Manusia Simbol merupakan kumpulan esai, yang beranjak dari refleksi kritis penulis atas fenomena yang ada.

Meski demikian, hal itu tidak mengurangi kapasitas buku ini sebagai pengantar untuk memasuki tema-tema yang disajikan. Bahkan akan lebih menarik bila penulis atau pembaca, ada yang berkenan mengembangkan berbagai tema yang diungkit menjadi buku yang utuh, demi memperkaya khazanah bacaan publik akan tema-tema sosial dan kebudayaan yang menggunakan perspektif kontemporer dan segar.

***

Tulisan ini merupakan pengantar buku: Manusia Simbol | Penulis: Saeful Ihsan | Penerbit: Ellunar Publisher | Tahun Terbit : Cet. I, Juli 2020 | Tebal: 175 halaman | ISBN: 978-623-204-532-3

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama