[29.03.2016] Pagi-pagi, anak kami, Qonitah –lengkapnya Qonitah Wafiyah Tenri Bilang
Daeng Ranne– yang biasa kami sapa Cinta, mondar-mandir mengibarkan selembar
kertas. Rupanya itu adalah undangan ulang tahun dari teman satu kelasnya. Undangan
itu untuk acara ulang tahun temannya, sebentar, jam 10.00 siang, di sekolahnya.
Cinta mengaku lupa menyampaikan informasi itu semalam kepada
kami, “Aduh, sudah tidak sempat beli kado, Mama. Jadi saya tidak bawa kado
dong.” Sambil mengenakan pakaian seragamnya dia berceloteh soal ulang tahun
temannya yang selalu dirayakan di sekolah.
Selain itu, dia juga mengisahkan pasal kehadiran maskot salah
sebuah gerai makanan cepat saji internasional pada ulang tahun beberapa
temannya. Bersamaan dengan dia memasang kaus kakinya, Cinta teriak, “Mama,
nanti ada lagi itu boneka ayam di sekolahku? Kan ada temanku yang ulang tahun.”
Aku yang mendengar itu cuma masygul, betapa persuasifnya
mereka membangun budaya konsumeris anak-anak. Dengan menawarkan paket pesta
ulang tahun yang dilaksanakan di sekolah, mereka merangsek masuk dan
mengkomodifikasi kesadaran siswa menjadi pemamah.
Dalam kamus ilmiah populer, Al
Barry mendefenisikan konsumerisme sebagai
kondisi menjadikan barang sebagai ukuran kebahagiaan hidup. Maka, keriaangan, keceriaan dan kebahagiaan seorang anak
di hari ulang tahunnya dikonversi menjadi mengkonsumsi barang (makanan) tertentu.
Celakanya pula, proses 'revolusi mental' dari kesadaran yang
masih lugu menjadi kehendak untuk mengonsumsi secara massif, itu terjadi di dalam lingkungan lembaga pendidikan
yang seharusnya menjadi benteng pertahanan tradisi luhur kehidupan sosial
masyarakat.
Aku jadi teringat sebuah kisah tentang kodok yang dinukil
oleh sastrawan Brasil, Paulo Coelho dalam novel O Vencedor está Só (The Winner Stands Alone) yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul Sang
Pemenang Berdiri Sendiri.
Paulo bilang begini
Berbagai
studi biologi menunjukkan bahwa jika seekor kodok ditaruh dalam panci berisi
air dari kolam tempat tinggalnya, kodok itu akan tetap dalam panci, tanpa
bergerak, sementara airnya pelan-pelan dipanaskan. Kodok itu tidak bereaksi
terhadap meningkatnya suhu dalam panci serta perubahan di sekelilingnya. Lalu
airnya mendidih, kodok itu pun mati, dalam keadaan gendut dan bahagia.
Tapi
seandainya kodok tersebut dimasukkan ke dalam sepanci air yang sudah mendidih,
kodok itu akan langsung melompat keluar dengan kulit terkelupas, tapi tetap
hidup!
Mengacu ke cerita Paulo, sekolah yang dihiasi dengan laku konsumerisme oleh para
penghuninya, ibarat kodok yang memanaskan pelan-pelan panci di mana dia ditaruh.
Perayaan ulang tahun siswa di sekolah tanpa kontrol dan contoh akan tindak
sederhana, adalah indikator meningkatnya suhu panci yang tak tersadari.
Begitu siswa –mungkin orang
tua siswa dan juga guru, tercerap dalam pusaran konsumerisme, maka tak lama
lagi, bila kodok itu mati dalam keadaan gendut dan bahagia, maka mereka yang konsumeris akan menjalani hidup dalam
kecanduan mengonsumsi, dan (mungkin) mati
dalam keadaan obesitas.
Kembali
ke soal acara ulang tahun di sekolahnya Cinta –yang merupakan SD Percontohan Nasional itu, adalah yang
memprihatinkan. Sebab sepertinya, pihak sekolah demikian permisif dengan
kegiatan sedemikian. Hal ini menempatkan anak kami dalam dilema, di satu sisi dia
mendapat rambu moral dari kami –orang tuanya,
di sisi lain, sekolahnya menjadi habitat yang menawarkan habitus berbeda.
Begitu
selesai memasang kaos kakinya, ketika pamit, mamanya berpesan,
“Tak
usah bawa kado ya Nak, belum ada toko yang buka, nanti kalau ketemu dengan
temannya yang ulang tahun, cukup ucapkan selamat, dan doakan yang baik.”
“Iyye’ Mama, tapi bagaimana kalau nakasi’ka’ bingkisannya?”
“Kalau
dikasi’, diterima saja, ucapkan terima kasih, tapi jangan meminta ya.”
"Iyye' Mama."
sumber ilustrasi: chengxplore.blogspot.com