. . . Jilbabmu Dinda, dan Politik Busana

menyeriusi yang terabaikan . . .
“kenapasih, kesalehan seseorang diukur dari pakaiannya!? anda terlalu simbolis memandang islam!!” demikian sanggah seorang muslimah, ketika seseorang mencoba menggugat cara berjilbabnya yang terkesan berjilbab gaul, dalam sebuah diskusi. ungkapan diatas adalah ungkapan yang sering kita dengar dari para aktivis muslimah yang merasa risih dengan gugatan model busananya yang terkategori belum kaffah.

dari ungkapan muslimah tersebut dapat terlihat sebuah cara pandang yang memisahkan masalah ‘batiniah’ atau ‘substansial’ dengan ‘penampilan lahiriah’. masalah ‘substansial’ ini dianggap sebagai hakikat dan primer, sementara ‘penampilan lahiriah’ hanyalah aspek sekunder atau kulit luar dari sesuatu yang substansial dan hakiki. hal inilah yang membuat malcolm barnard berkesimpulan bahwa busana sering diasosiasikan dengan makna kepalsuan, keremehtemehan (triviality), serta yang mengelabui(1).

pelecehan terhadap hal yang kulit-kulit ini, terbangun tidak hanya dalam pemikiran para aktivis (sebagaimana contoh diatas) dan masyarakat umum, tetapi bahkan juga pada ruang-ruang akademis yang sering diklaim sebagai ruang obyektif. sebagaimana dikatakan dengan gamblang oleh henk schulte nordholt(2) “. . . di dalam monografi-monografi akademis, kebanyakan manusia dideskripsikan seakan-akan tidak berpakaian”.

padahal seharusnya, busana sebagai dimensi yang paling konkrit dari wajah seorang manusia secara sosiologis mendapatkan perhatian serius untuk dibincangkan sebagai ranah yang tidak pernah netral dari relasi kuasa dalam konteks kebudayaan. namun ini sungguh jauh dari harapan karena sampai hari ini, kris budiman menemukan bagaimana dimensi yang paling kasat mata dari penampilan manusia, yakni pakaiannya, seringkali sungguh-sungguh terabaikan(3).

tulisan ini dihadirkan untuk menawarkan sebuah bangunan cara pandang alternatif terhadap pakaian --terutama jilbab, sebagai busana khas muslimah-- dalam kaitannya dengan relasi kuasa yang mewujudkan diri dalam model dan formasi diskursus politik busana.
busana dan relasi kuasa

membincang busana dalam konteks kebudayaan adalah hal yang penting, karena tidak ada satupun wilayah-ranah yang terkategori netral. wilayah-ranah kebudayaan adalah ruang yang terbangun dari proses kerja sistem pemaknaan, artinya bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem pemaknaan. melalui sistem pemaknaanlah, menurut malcolm barnard(4), tatanan sosial dikomunikasikan, direproduksi, dialami dan dieksplorasi.

dengan menggunakan cara pandang ini, dapat dikatakan bahwa karena busana merupakan bagian integral dari kebudayaan, maka busana menjadi tempat memproduksi, mengalami, mengeksplorasi dan memproduksi tatanan sosial. sehingga, menurut kris budiman(5), tiada yang dapat mengelak dari peran dan makna busana di dalam tindakan sosial. tiada yang dapat membantah pentingnya busana di dalam konteks kehidupan sosial. bahkan masih menurutnya, busana dan pakaian memainkan peran yang tak kalah signifikan di dalam gerak sejarah, di dalam dinamika perubahan masyarakat dan kebudayaan, di dalam proses-proses sosial dan politik.

hal ini bisa terjadi karena dengan memercayai busana sebagai tempat memproduksi, mengalami, mengeksplorasi dan memproduksi tatanan sosial, tidak akan mungkin lepas dari keterkaitan dengan formasi diskursif lain yang berkait-kelindan dalam jejaring maka kebudayaan. politik busana merupakan kekuatan besar dalam membangun identitas karena busana memiliki kekuatan normative untuk menetapkan standard dan menciptakan keseragaman, demikian menurut kris budiman(6).

jilbab sebagai salah satu busana tentu juga memiliki kekuatan normative tersebut, terutama dalam konstruksi politik busana muslimah untuk menetapkan standard dan menciptakan keseragaman ekspresi sebagai pengejawantahan suatu konsep, makna, atau tema kultural islam secara lebih luas sebagai wilayah ideologis.

jejaring tanda; jilbab!!!
dalam semiotika negativa roland barthes, disebutkan bahwa proses pertandaan dalam budaya terjadi dalam dua lapis, sehingga proses pemaknaan atas sebuah tanda juga terjadi dalam dua lapis pula. lapisan semotika pertama disebut sebagai makna denotasi/signifikansi tataran pertama (first order significaton). pada lapisan i ini, jilbab sebagai sebuah tanda i difahami sebagai sehelai kain yang dipotong dan dijahit dengan cara tertentu (penanda i) yang dikaitkan dengan konsep mental tertentu dengannya, yakni ’jilbab’ (petanda i).

pada lapisan semiotika kedua yang dikenal sebagai makna konotasi/ signifikansi tataran kedua (second order significaton), setelah mengenali potongan tersebut sebagai ’jilbab’ dan menghasilan tanda i (yang diposisikan sebagai penanda ii) tanda ini kemudian dikaitkan dengan suatu konsep, makna, atau tema kultural tertentu yang lebih luas, misalnya ’hijab’, ’ketawadhuan’, ’kewaraan’, ’kualitas kemuslimahan’ dll (petanda tahap ii). melalui proses petandaan dua lapis inilah, disimpulkan bahwa jilbab bukan hanya sebagai sehelai kain yang dipotong dan dijahit dengan cara tertentu (tanda i) melainkan, jilbab lebih bermakna ’hijab’, ’ketawadhuan’, ’kewara’an’, ’kualitas kemuslimahan’ dll (tanda ii).

signifikansi pertandaan pada tataran kedua inilah yang dijelaskan oleh stuart hall bahwa ini menunjukkan “. . . kita masuk ke dalam proses interpretasi tanda-tanda sebagai wilayah ideologis yang lebih luas, mencakup kepercayaan general, kerangka berfikir, serta sistem-sistem nilai dari suatu masyarakat”(7). jadi jilbab sebagai busana bukanlah sesuatu yang tidak memiliki suatu konsep, makna atau tema kultural tertentu.

jilbabmu dinda; ekspresi keanggunanmu
dari ulasan singkat ini terlihat bahwa pilihan untuk berjilbab bukanlah sebuah tindakan yang tanpa arti apa-apa, melainkan sebuah pilihan politik dalam berbusana, karena memilih berjilbab berarti memilih untuk merepresentasikan sebuah konsep, makna, atau tema kultural tertentu yang lebih luas. kris budiman(8) memaklumkan bahwa “. . . jilbab kemudian menjelma sebagai sebuah teknologi tubuh yang secara rumit berkaitan dengan perjuangan politik dan kultural yang lebih luas”.

lebih jauh kris budiman mengatakan bahwa setelah melakukan penelitian di jawa tengah pertengahan 1980-an susan brenner justru menunjukkan kepada kita bahwa keputusan yang diambil oleh kaum perempuan tersebut untuk memakai jilbab merupakan bagian dari proses penyadaran-diri (self-awareness) dan rekonstruksi-diri sosial (social self-reconstruction) mereka(9).

perjuangan politik dan kultural yang seperti apakah yang ditunjukkan oleh jilbab? sebuah perjuangan untuk menunjukkan bahwa perempuan punya kekuatan untuk tidak terjebak pada sebuah politik busana yang ditawarkan oleh sebuah kekuatan ideologi besar yang berbeda dari konsep, makna, atau tema kultural yang difahaminya (dalam hal ini islam). dengan (sebentuk penyadaran dan konstruksi diri) seorang muslimah yang memiliki memilih berjilbab, seorang perempuan memproklamirkan dirinya sebagai’hijab’, ’ketawadhuan’, ’kewara’an’, dan ’kualitas kemuslimahan’ yang bisa dipertanggungjawabkan dalam konteks iman-islam yang difahami-dianutnya. wallahu a’lam bish shawab . . .

Makalah ini sisampaikan pada Seminar Kohati Cabang Palu pada tanggal 17 April 2005 dengan tema; "Jilbab Dalam Tanda Tanya; Fenomena Antara Agama dan Budaya" Di Aula Dikjar Sulawesi Tengah, Jln. Setia Budi, Palu.
1. Barnard. Malcolm, Fashion as Communication, London & New york, Routledge, 1996, hal 1-2.
2. Nordholt. Henk Schulte, Introduction, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Dresing State and Society in Indonesia. Leiden, KITLV Press, 1997, hal vi.
3. Budiman. Kris, Jejaring Tanda-tanda, Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan, Magelang, Indonesia Tera, 2004, hal 97.
4. Barnard. Malcolm, op.cit, hal 36.
5. Budiman. Kris, op.cit, hal 95-96.
6. Budiman. Kris, ibid, hal 100.
7. Hall. Stuart, The work of representation, dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural representations and Sygnifying Practices. London, SAGE Publications, 1997, hal. 38-39.
8. Budiman. Kris, op.cit, hal. 116
9. Budiman. Kris, ibid, hal. 114-115


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama