Terrocracy; Paradigma Politik Teror


Membincangkan tentang proses politik yang sedang bergulir di Indonesia, bagaikan mengurai benang kusut. Roda politik yang berputar saat ini begitu rumit dan njlimet untuk dipahami secara sederhana dalam sebuah analisis politik konvensional. Sehingga kalau kita mau mencoba meneropong persoalan ini secara serius, maka perlu adanya pergeseran paradigma, perluasan sudut pandang, dan variasi metodologi. Sebab bila hal ini tidak dilakukan, maka hasil analisa yang dihasilkan hanyalah akan bersifat monoton dan cendrung tidak memberi ruang bagi munculnya warna interpretasi atas fenomena politik yang bersifat alternatif.
Dengan meminjam pemetaan bangunan keilmuan yang di paparkan oleh Jurgen Habermas(1), maka peran yang bisa dimainkan oleh seseorang dalam melakukan analisa politik ada tiga macam yaitu :
1. Menjadi ilmuwan politik, peran ini dapat dilakukan dengan mencoba menganalisis secara ilmiah dan empiris terhadap berbagai fenomena politik keindonesiaan hari ini. Peran ini dimainkan dengan memanfaatkan empirical analytic science.
2. Menjadi pemikir politik, peran ini dapat dilakukan dengan mencoba memberikan tafsiran dan interpretasi filosofis terhadap berbagai fenomena politik yang mengemuka dengan mencoba melacak nilai dan makna yang bekerja dan implikasinya bagi kemanusiaan. Peran ini bekerja dengan alat philosopical hermeneutics science.
3. Menjadi kritikus politik, peran ini diaktualisasikan dalam wujud kritikan terhadap realitas perpolitikan yang terjadi, bahkan kritikan ini juga di tujukan pada basis paradigmatik dan episteme yang melandasinya. Peran ini bekerja dengan critical theory.

Ketiga model peran ini harus bisa dimainkan dengan baik untuk menghindari analisa politik yang dilakukan akan terjebak pada trilogi ortodox consensus sebagaimana di sinyalir oleh Anthony Giddens(2). Pada hari ini hampir semua analisa politik terjebak pada trilogi ortodox consensus berupa logika positivisme, metode fugsionalisme dan pola masyarakat industri. Ketiga konsensus ini menjadi standar pijakan analisa politik konvensional.

Proses politik keindonesiaan dewasa ini, setelah reformasi 1998, boleh dikata tidak terjadi perubahan paradigmatik secara mendasar, bahkan telah terjadi radikalisasi terhadap paradigma kekuasaan yang telah diterapkan oleh pemerintahan orde baru selama bertahun-tahun. Dalam era orde baru dapat kita saksikan bagaimana politik menjadi sekedar “mesin kekuasaan”, maka pada saat sekarang proses politik juga sudah menjadi mesin teror.

Teror bukan lagi sekedar sebuah tindakan kriminalitas biasa melainkan telah menjadi tindakan politik, bahkan lebih dari itu, teror telah menjadi komoditas politik (commodification). Teror menjadi ajang transaksi politik dan pertukaran simbol dalam politik, hal ini karena telah terjadi “fetisisme komoditas” sebuah kondisi dimana segala sesuatu diberi nilai tukar melalui proses komodifikasi. Dengan ini teror menjadi komoditas politik yang memiliki harga tawar yang sangat tinggi dalam sebuah proses politik di Indonesia.

Praktek politik di Indonesia bukannya berjalan di bawah panduan cita utama “keadilan” sebagaimana di diktumkan Plato(3) dalam Republic, melainkan praktek politik di Indonesia in berjalan dengan mengamini anjuran Niccolo Machiavelli(4) dalam The Prince untuk menghalalkan segala cara guna tercapainya tujuan politik. Realitas ini dapat kita saksikan dengan gamblang dimana para politisi kita bergerak tanpa memperdulikan lagi etika global dan moralitas kemanusiaan (islam; akhlakul karimah).

Para politikus dengan perusahaan politiknya berupa partai politik telah menjadi tidak ubahnya korporasi besar yang mempunyai kemampuan memproduksi teror sebagai modal politik (political capital) yang kemudian mengajukan teror sebagai komoditas yang bisa di pertukarkan dengan jabatan, kekuasaan dan kedudukan politik sebagai keuntungan politik (political profit) dalam pasar politik (political market) yang dibungkus dengan nama-nama yang sopan seperti demokrasi, pemilu dan proses politik lainnya yang sebenarnya hanya kedok.

Inilah realitas proses politik di Indonesia, sebuah proses politik yang berkedok demokrasi (demos + cratia), namun pada kenyataannya tidak lebih dari sebuah proses terrocracy (teror=penciptaan kengerian + cratia = sistem pemerintahan) sebuah sistem pemerintahan dan penguasaan yang berlandaskan pada teror.

Terrocracy bekerja dengan sebuah logika atau hukum yang dikenal dengan istilah logika citraan. Logika citraan terrocracy di produksi oleh mesin-mesin teror (terror machine) yang bekerja dengan cara pertama percepatan, dimana mesin teror menciptakan suatu kondisi yang karena kecepatannya membuat manusia tidak mampu melakukan refleksi, bahkan kapasitas refleksi manusia terkubur dalam belitan kecepatan produksi teror tersebut. Kedua pelupaan, karena produksi teror itu sedemikian cepatnya sehingga teror itu menjadi lumrah, bahkan cendung dipandang biasa-biasa saja atau bukan lagi sebagai sebuah teror.

Lihatlah kenyataan partai politik yang telah berubah menjadi mesin teror yang dengan gamblang di depan mata kita mempraktekkan gaya-gaya premanisme yang dilakukannya tanpa rasa malu. Karena fenomena ini menjadi begitu sering, maka masyarakat telah menganggap hal ini bukan sesuatu yang salah bahkan menjadi hal yang lumrah dan bukan partai politik namanya kalau tidak melakukan tindakan demikian (teror).

Teror tidak hanya menjadi alternatif pilihan terakhir kalau kepepet, bahkan teror telah menjadi strategi politik utama dan diyakini sebagai gaya berpolitik yang shahih, inilah the politics of terror. Politik teror ini tidak hanya di jalankan melalui jalan dominasi dan kekerasa fisik, melainkan hegemoni. Teror itu dijalankan dengan begitu sistematis dan tertata rapi melalui wilayah-wilayah koersif seperti institusi sosial politik, birokrasi, media massa dan pendidikan. Terrocracy di dukung sepenuhnya oleh terrosophy (terror = penciptaan kengerian + sophos = ilmu)

Namun dari sekian banyak medan koersif yang dimanfaatkan sebagai kanal teror, maka media massa menjadi ruang paling “kejam”. Setiap menit, bahkan detik, masyarakat di teror dengan sebentuk hyperreality(5), misalnya iklan layanan masyarakat yang menjelaskan pentingnya pemilu bagi demokratisasi, tanpa sedikitpun memberi ruang kepada masyarakat untuk mengkritisi apakah asumsi-asumsi yang mendasarinya sudah terpenuhi atau belum semua terjadi begitu cepat, sehingga membuat masyarakat lupa akan kapasitas refleksi kritis yang mereka miliki.

Terrocracy sebagai sebuah paradigma politik yang digunakan, menimbulkan efek yang sangat negatif karena paradigma ini begitu destruktif bila di perhadapkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Terrocracy sebagai narasi, adalah sebuah narasi(6) besar, dimana terrocracy diarahkan pada klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan sentralisasi yang cendrung tidak menghargai (meneror) narasi-narasi kecil sebagai bangunan narasi yang heterogen, berkembang dalam institusi lokal yang begitu plural dengan keunikan dan kekhasan masing masing lokalitas.

Dengan jalan simulasi, terrocracy meneror dunia politik Indonesia dengan impian pelaksanaan pemilu 2004 yang di klaim sebagai solusi bagi masalah kebangsaan. Padahal kalau mau serius mengamati persoalan sosial politik bangsa Indonesia hari ini, maka pemilu 2004 hanyalah sebuah simplifikasi (penyederhanaan) atas permasalahan. Tapi dengan kekuatan hegemoninya rakyat di teror bahwa inilah solusi yang terbaik bahkan inilah satu-satunya solusi.

Proses politik Indonesia hari ini hanyalah jalinan hyperreality yang membangun dunia penuh teror yang disamarkan menjadi sebentuk dunia simulacrum. Dunia yang menampilkan teror menjadi begitu sopan santun dan bersahaja. Politikus Indonesia hari ini hanyalah sekumpulan teroris yang melakukan transaksi atas setumpuk teror sebagai modal politik (political capital). Organisasi politik Indonesia hari ini hanyalah sebuah mesin teror (teror machine) yag memproduksi teror sebagai komoditas politik. Sungguh, belantara perpolitikan Indonesia adalah dunia penuh teror, sebuah terrocracy.

BACAAN LANJUTAN
1. Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Cet III. Agustus 2001
2. Fauzi, I.B. Jurgen Habermas, Teraju. Jakarta. Cet. I. April 2003
3. Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, Cet. I. Juli 2002
4. Piliang, Y.A. Horrocracy; Politik Menjemput Maut, Kompas, tanggal lupa
5. Piliang, Y.A. Neopluralisme; Belajar Dari Pluralitas Kecil, Kompas, tanggal lupa
6. Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Cet. I. November 2002


CATATAN TAMBAHAN
1. Tulisan ini dipresentasikan pada ‘Sekolah Politik’ KAMMI Komsat Universitas Hasanuddin, 2003
2. J. Habermas (1929) adalah filosof sosial Jerman kontemporer yang tergabung dalam Mazhab Frakfurt, kelompok ilmuan yang dikenal sebagai ilmuan New Left terkenal dengan teori Kritik Ideologi.
3. A. Giddens adalah filosof sosial Inggris kontemporer yang dikenal sebagai bapak Sosialisme Demokrat melalui bukunya The Third Way
4. Istilah ini pertama kali di perkealkan oleh Karl Marx, bapak sosialisme ilmiah yang melahirkan teori materialisme dialektika historis
5. Plato, filosof Yunani kelahiran 427 SM, menulis tentang pembentukan negara persemakmuran ideal; inilah konsep negara paling utopia paling awal.
6. N. Machiavelli (1467-1527), seorang penggerak Renaissans Italia dan menjadi pemikir besar politik melalui bukunya The Prince
7. Hegemoni adalah sebuah istilah yang di perkenalkan oleh Anthony Gramsci yang berarti sebentuk dominasi secara halus melalui penguasaan lewat kesadaran dan pengetahuan. Yang dibedakan dengan dominasi fisik melalui agresi.
8. Hyperreality atau realitas hiper adalah sebuah istilah yang di perkenalkan oleh Jean Baudrillard yang berarti model-model realitas yang tidak memiliki asal-usul atau referensi.
9. Istilah narasi diperkenalkan oleh J.F. Lyotard (1924-1998) seorang filosof posmodernisme Prancis yang diartikan sebagai cara bagaimana dunia di representasikan ke dalam berbagai konsep, ide, gagasan dan cerita lewat interpretasi terhadap dunia tersebut, yang membentuk “kesadaran kolektif” (collective consciousness) tentang sebuah dunia.
10. Simulasi adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard yang berarti proses penciptaan model-model realitas yang tidak memiliki asal-usul atau referensi.
11. Simulacrum adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard yang berarti realitas dunia yang hanya tersusun dari hyperreality.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama