Syariat Islam dan Gerakan Tamaddun

IKHTIAR penegakan syariat Islam di Sulawesi Selatan (Sulsel) bukanlah berita baru. Telah beberapa tahun terakhir perjuangan untuk itu dilakukan secara sistematis melalui Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Upaya ini bukanlah sebuah sebuah upaya yang muncul tiba-tiba, melainkan pilihan strategis yang muncul setelah melihat realitas umat Islam terutama di Sulsel.

Umat Islam, termasuk yang ada di Sulsel, menghadapi dua realitas yang membuat mereka harus kembali mendorong syariat Islam sebagai solusi atas problematika umat kontemporer. Pertama, kegagalan modernitas barat. Kegagalan ini terlihat dengan munculnya berbagai macam ambigu yang melanda masyarakat barat. Secara material mereka terlihat bergelimang kesenangan dan harta namun pada saat yang sama hati dan jiwa mereka hampa.

Persoalan kedua, kegagalan tesis sekularisasi. Gerak laju modernitas barat dengan mencoba memisahkan kehidupan agama dari realitas sosial malah membuat peradaban barat menjadi peradaban yang cacat. Sekularisasi telah mengakibatkan masyarakat barat modern menjadi masyarakat yang berdimensi tunggal, hanya berdimensi materi, tidak memiliki jiwa dan hati nurani.

Melihat kondisi sosial yang diakibatkan oleh kegagalan modernitas tersebut, maka tawaran syariat Islam sebagai solusi merupakan hal yang patut diseriusi. Memang tentu saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam upaya menegakkan syariat Islam di Sulsel, yaitu bahwa penegakan syariat Islam akan lebih bersifat kultural daripada berbau struktural.

Hal ini untuk menjaga jangan sampai syariat Islam hanya menjadi komoditas politik kelompok tertentu. Di samping itu, model penerapan syariat Islam juga dituntut untuk memperhatikan aspek realitas masyarakat Sulsel yang majemuk, sehingga seharusnya syariat Islam lebih dititikberatkan pada aspek substansi tujuannya dari pada formalisasi materialnya. Ini untuk mencegah agar syariat Islam tidak menjadi momok baru bagi masyarakat, termasuk masyarakat Islam sendiri.

Syariat Islam ada hakekatnya harus berfungsi untuk menjaga agar supaya hak asasi seorang manusia bisa ditegakkan, tanpa itu maka penegakan Islam kehilangan urgensinya. Dalam konteks penegakan syariat Islam di Sulsel, hal ini patut untuk mendapatkan penekanan bahwa syariat Islam yang coba ditegakkan adalah syariat Islam yang menjaga hak-hak azasi manusia.

Waspadai Sekularisme
Adalah hal yang penting untuk diperhatikan dalam konteks diskursus penegakan syariat Islam ini. Ketika penegakannya didorong dengan menggunakan kekuatan struktur kekuasaan yang birokratis dan direpresentasikan melalui perda-perda syariah, maka terlihat bahwa syariat Islam menjadi sebuah diskursus yang sangat politis (political discourse). Alih-alih dibiarkan tetap menjadi diskursus publik (public discourse). Bila ini terjadi maka syariat Islam menjadi komoditas politik, dan sama saja dengan diskursus lain yang selama ini mengisi panggung politik.

Memang, penegakan syariat agama manapun, termasuk Islam adalah hak setiap umat beragama dan itu mendapatkan jaminan konstitusional yang kuat di Indonesia ini, tapi ini tidak berarti bahwa negara menjadi alat agama dalam menegakkan otoritasnya.

Dalam konteks Indonesia, negara selayaknya hanya berperan untuk menjamin dan memberikan ruang bagi tumbuh suburnya pengamalan nilai-nilai agama bagi umatnya masing-masing, dan bukannya menjadi aparatus ideologis dari kepentingan agama tertentu meski hanya pada umatnya secara ekslusif sekalipun. Apabila penegakan syariat Islam benar-benar terwujud dengan menggunakan pendekatan yang sangat struktural, yang direpresentasikan dengan lahirnya perda-perda syariah, maka akan terlihat terjadinya proses penyempitan makna syariah.

Karena titik tekan pada muatan perda-perda tersebut bukannnya mengacu pada tujuan penegakan syariah (baik tujuan elementer, suplementer, dan komplementer) melainkan lebih menitikberatkan pada aspek materialisasi dan bentuk pelaksanaan syariah, terutama yang bersifat hukum pidana.

Perlu digarisbawahi dalam konteks penegakan syariat Islam, bahwa gerakan penegakan syariat Islam ini muncul sebagi reaksi bagi kegagalan modernitas Barat dan kegagalan sekularisme. Namun dalam kenyataannya, ketika syariat Islam terinkorporasi menjadi isu dan diskursus politis (political discourse) maka sesungguhnya isu ini menjadi diskursus yang sangat sekuler bahkan lebih berbahaya dan menjebak dibanding tesis sekularisme dari kaum modernis Barat.

Lain halnya dalam pemikiran para pendukung penegakan syariat Islam. Di samping mereka melakukan pemetaan terhadap dunia sakral dan dunia profan yang memang juga diakui dalam Islam, mereka malah melakukan tindakan yang lebih riskan dari sekularisme Barat.

Pendukung penegakan syariat Islam bukannya mendorong dunia sakral dan sikap laku keagamaan menjadi dunia yang bersifat privat bagi masing-masing individu, melainkan dimunculkan ke ruang publik (public space) dan dijadikan alat untuk mengukuhkan dunia profan.

Hal ini terlihat dengan nyata pada apa yang dipraktekkan pada gerakan politik yang berbasis identitas keagamaan (terutama partai politik Islam) serta kelompok yang menginginkan tegaknya syariat Islam secara institusional melalui kekuatan struktur birokrasi melalui perda. Mereka menggunakan jargon-jargon keagamaan sebagai diskursus politik (political discourse) untuk menarik dukungan. Gerakan seperti ini bisa membahayakan masa depan penegakan syariat Islam yang lebih mengedepankan pencapaian tujuan dari syariah.

Gerakan Tamaddun
Dengan melihat realitas masyarakat Sulsel yang plural dari segi anutan agama, memiliki bangunan toleransi yang kuat, bangunan keislaman yang cenderung moderat dan inklusif, maka model gerakan yang pas adalah model Gerakan Tamaddun.

Gerakan tamaddun pada dasarnya bukanlah sebuah hal yang baru bagi umat Islam. Kata tamaddun sendiri mempunyai akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah. Semuanya berasal dari kata ma-da-na, yang semua mempunyai arti "kota" atau "peradaban". Memang kata tamaddun masih jarang digunakan secara umum bila dibandingkan madany. Penambahan ta' di awal dan tasydiid pada dal memberi penguatan (mubaalaghah) pada kata makna madany bahwa peradaban yang dimaksud adalah peradaban tinggi.

Peradaban tinggi dengan berbasis pada syariat Islam yang dituju oleh gerakan tamaddun diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai, baik kebudayaan maupun keagamaan.

Secara sederhana, gerakan tamaddun bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, pada tataran suprastruktur. Gerakan tamaddun menghadirkan bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Tingkatan kedua pada tataran kultur. Ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang berdaya secara ekonomi, politik maupun kebudayaan. Mereka memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif dan memanfaatkan dengan maksimal kapasitas dan kompetensi yang mereka miliki. Tataran ini menuntut masyarakat untuk memiliki ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society).

Tingkatan ketiga, pada tataran struktur struktur, gerakan tamaddun berfungsi untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan. Dengan gerakan tamaddun, syariat Islam didorong untuk menjadi ruh dan spirit masyarakat, baik pada tataran suprastruktur, kultur, maupun struktur.

Adapun langkah-langkah strategis dalam gerakan tamaddun adalah pertama, mendorong lahirnya pemahaman yang utuh akan konsep masyarakat tamaddun sebagai masyarakat berbasis syariah, yang digambarkan oleh Naquib Al Attas (1977:15) sebagai "keadaan kehidupan insan yang bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tatasusila, dan kebudayaan yang luhur bagi seluruh masyarakatnya".

Kedua, gerakan tamaddun membutuhkan lahirnya gramatika politik baru yang berlandaskan pada etika, akhlak, dan penguasaan adabul ikhtilat (adab berbeda pendapat). Ketiga, mendorong penerapan model sistem ekonomi, pendidikan, dan sistem sosial alternatif yang berbasiskan syariah.

Keempat, membangun masyarakat yang mengutamakan ilmu (knowledge based society). Kelima, meningkatkan peranan institusi sipil dan terakhir, gerakan tamaddun mendorong penguatan penegakan syariah yang berbasis pada agama dan tradisi.

Dengan melihat geliat ikhtiar penegakan syariat Islam di Sulsel maka gerakan tamaddun pantas untuk dilirik sebagai alternatif strategi gerakan untuk membangun masyarakat berbasis syariah dengan mengedepankan penghargaan pada khasanah pluralitas masyarakat dan penghargaan yang tinggi pada penegakan hak-hak azasi manusia.

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur Makassar edisi Kamis, 14 September 2006.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama