[26.11.2017]
Aliran air di kran berhenti adalah hal yang lumrah dialami oleh pelanggan air
bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), termasuk PDAM Kota Makassar. Berdasarkan
pengalaman pribadi di rumah, kurang dari lima belas sampai dua puluh menit,
airnya akan kembali mengalir normal. Kejadiannya pun tak setiap hari, dalam
sebulan kadang ada sehari peristiwa sedemikian. Jadi hal ini aku rasa sebagai
hal yang wajar saja.
Namun di beberapa kawasan Kota Makassar, warga
harus berlomba dengan tetangga demi mendapatkan tetesan air, entah dengan cara
menampung air di kala tengah malam saat pemakaian rendah, atau dengan memasang
pompa air. Nah, bila sudah seperti ini, bagiku bisa menjadi luar biasa, meski
bagi mereka yang sudah mengalaminya bertahun-tahun adalah hal yang lumrah
sebagai takdir yang pantas dijalani.
Kemarin pagi (jumat, 24/11/2017), air ini menjadi
masalah besar. Suplai dari PDAM Kota Makassar berhenti tiba-tiba sejak Kamis
(23/11/2017) siang, sekira pukul 10 lewat. Sebenarnya, tetes terakhir di hari
itu adalah momen dramatis bagiku, sebab kejadiannya bersamaan dengan
berakhirnya aku mandi. Tak seperti biasanya, hari itu aku mandi agak siang, dan
memakai gayung, karena shower seperti kehilangan daya akibat tekanan air yang
sudah melemah.
Tapi karena teringat dengan kejadian sebelumnya,
otakku memprogram respon yang bersifat biasa saja, cuek. Toh, akan mengalir
lagi setelah paling lama dua puluh menit, seperti sebelum-sebelumnya. Lagi
pula, bila pemadaman akan berlangsung lama, tentu akan ada pengumuman dari
pihak PDAM. Kali ini, aku tak punya informasi terkait itu, entah karena memang
tak ada permakluman, atau aku yang lalai tak mendengar atau tak membacanya di
media.
Tersebab merasa biasa saja, tak ada upaya menampung
air pada beberapa ember yang memang disiapkan untuk itu. Bahkan karena masih
kelelahan akibat perjalanan jauh malam sebelumnya, aku kembali melelapkan mata
setelah bercengkrama dengan kedua anakku: Fatimah Daeng Ti’no (5 tahun) dan
Aditya Daeng Sibali (3 tahun). Aku baru terbangun lagi ketika azan duhur
berkumandang dari menara masjid, dan kudapati tak ada setetespun air yang
menitis dari kran saat hendak berwudu.
Air minum dalam galon menjadi pahlawan yang
menutupi kebutuhan air untuk mandi, cuci, dan aktivitas dalam tandas lainnya.
Kebutuhan untuk minum, diantisipasi dengan air kemasan dalam gelas plastik. Aku
masih tenang dan damai, ibarat kata di zaman revolusi, Kompeni masih jauh.
Kondisi ini berlangsung hingga istriku pulang dari kantor, saat magrib
menjelang. Kami butuh air untuk berwudu, mandi sore kami coret dari agenda
harian, dan air tak kunjung menetes.
Rasa khawatir mulai membayangi selepas magrib,
waktu berbuka terlalui, dan pipa PDAM masih saja puasa, tak ada secebis air pun
yang menitik. Kuraih gawai, kubuka aplikasi peramban dengan kata kunci air PDAM Makassar tak
mengalir 23 November 2017. Tak berselang lama, kutemukanlah laman media daring
yang memuat penjelasan Humas PDAM Kota Makassar, Idris Tahir perihal penyebab
terputusnya aliran air.
Dalam kabar yang ditayangkan di laman rakyatku.com,
pada pukul 10.42 wita, Idris Tahir
menjelaskan bahwa terjadi kebocoran pipa distribusi diameter 200 mm di Jalan
Talasalapang, tepatnya di samping SPBU yang disuplai dari instalasi Somba Opu
dan perbaikan akan dimatikan untuk sementara. “Suplai air akan kembali normal
setelah pekerjaan selesai, yang diperkirakan pada pukul 18.00 Wita.” Janji
Idris.
Membaca keterangan itu, kekhawatiranku kembali
reda, pukul 18.00 telah terlewati, bukankah keterlambatan adalah hal biasa
untuk urusan perbaikan kerusakan sedemikian? Tentu tak akan lama lagi air
kembali mengalir, paling terlambat satu atau dua jam dari waktu prediksi.
Apalagi terkadang PDAM mengumumkan akan ada pemadaman selama tiga hari, tapi
baru dua hari sudah kembali mengalir. Jadi ini hal lumrah.
Maka sepanjang malam jumat, kami sekeluarga
bertahan dengan air di galon, dengan sesekali terbangun untuk mengecek apakah
airnya sudah mengalir atau belum. Alhamdulillah, kami berwudu untuk salah
subuh, masih dengan air di galon, kran masih irit memuntahkan isinya. Lalu pagi
kami sambut dengan gelisah, perihal mandi, sikat gigi, dan cebok dalam suasana
semua air sudah tandas, termasuk yang di galon.
Begitu kulongok jalanan di depan rumah yang masih
remang-remang, sudah ramai dengan tetangga yang berkeliaran menenteng ember dan
kaleng kosong. Istri dan anak-anak pun sudah menuntut disediakan air untuk ke
tandas. Maka setelah mendapat izin dari bujang sekolah di depan rumah, air
sumurnya pun berpindah ke kamar mandi kami. Tak kurang dari enam kali aku
bolak-balik rumah ke sekolah itu, untuk antri dengan beberapa tetangga yang
juga mengambil air dari sana.
Selama perjalanan pergi – pulang sambil menenteng
ember itulah, pikiranku melayang pada apa yang selayaknya dilakukan oleh PDAM
untuk tidak membuat pelanggannya demikian kalang kabut di pagi buta. Tentu,
sebagai perusahaan jasa, tuntutan untuk kian meningkatkan kualitas layanan
adalah hal yang tidak bisa diabaikan dengan alasan apapun.
Pertama, saat terjadi pemutusan sementara aliran
air yang durasinya sampai 24 jam, selain mengumumkannya kepada khalayak melalui
media massa, bukankah sebuah tindakan bijak bila PDAM mengirimkan armada mobil
tangki yang mengangkut air bersih pada titik-titik tertentu di kawasan yang
mengalami pemutusan aliran tadi, dan titik-titik itu dikoordinasikan dengan
RT/RW setempat, sehingga warga tetap terpenuhi kebutuhannya akan air bersih.
Memang mungkin warga akan tetap repot
menenteng-nenteng ember dari posisi mobil tangki dengan rumahnya, tapi minimal,
warga tetap mendapatkan air bersih dengan kualitas yang terjamin. Lalu yang
lebih penting lagi, tentu pelanggan akan merasa diperhatikan oleh perusahaan.
Bukankah ini modal sosial dalam membangun relasi antara perusahaan dan
pelanggan yang lebih manusiawi?
Kedua, untuk jangka panjang, alangkah baiknya kalau
PDAM membangun database nomor telepon seluler seluruh pelanggannya lalu menggandeng
provider tertentu untuk mengirimkan setiap informasi penting kepada nasabah,
real time. Bila memang itu masih dianggap kemahalan, untuk sementara bisalah
nebeng pada sistem komunikasi dan informasi yang dimiliki oleh Kota Makassar.
Kedua hal ini diharapkan bisa meredakan pandangan
sinis dari pelanggan bahwa PDAM adalah perusahaan yang hanya mau menang
sendiri. Bila pelanggan terlambat sehari saja dalam melakukan pembayaran, sudah
diberikan denda sejumlah tertentu, bahkan disertai ancaman pemutusan aliran
air. Namun mana mau PDAM membayar ganti rugi pelanggan yang mengalami kerugian
akibat terhentinya aliran air tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sesuatu yang tak
adil, bukan?
Selain itu, pengumuman pemutusan aliran air melalui
media massa juga memiliki kelemahan tersendiri. Belum tentu seorang pelanggan
mengetahui adanya pengumuman tersebut, sebab tak semua orang memiliki akses
terhadap media. Berbeda bila pengumuman itu disebarkan melalui Short Message
Service kepada seluruh nomor pelanggan yang tercatat dalam database perusahaan,
bukankah hampir setiap pelanggan PDAM menenteng telepon seluler?
Sungguh disayangkan pula, sebuah perusahaan daerah
di kota yang gencar mensosialisasikan diri sebagai Smart City, namun surat
tagihan pelanggan PDAM masih dilakukan dengan manual, dan pengumuman kondisi
tak terduga hanya dilakukan melalui media massa. Sebuah ironi bagi kota yang
mempunyai sistem komunikasi dan informasi berbiaya milyaran setiap tahun.
Tags:
Refleksi