[16.08.2015]
“Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan
perkataan zelfbestuur atau
pemerintahan sendiri...” Suara berat bariton menggema dengan kalimat yang
berapi-api, membakar semangat hadirin yang memenuhi Gedung Pertemuan Concordia
(sekarang Gedung Merdeka), Kota Bandung.
Pemilik
suara itu adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Central Sarekat Islam
(CSI). Tokoh pergerakan yang oleh Belanda digelari De Ongekroonde Koning van Java (Raja Jawa yang Tak Dinobatkan).
Dialah Jang Oetama, sang Raja Tanpa Mahkota.
Pagi
itu, 17 Juni 1916, Tjokroaminoto sedang menyampaikan pidato pada pembukaan National Indisce Congres (Natico) atau
Kongres Nasional Pertama CSI, yang dalam catatan Rambe (2008:82) dihadiri oleh
utusan dari 80 Lokal Sarekat Islam (SI) yang mewakili 360.000 anggota Sarekat
Islam di seluruh Indonesia.
Natico
Pertama CSI yang berlangsung 17–24 Juni 2015 ini merupakan sebuah peristiwa
yang patut diapresiasi, sebab inilah kegiatan besar pertama di era pendudukan
Belanda yang dengan berani menyebutkan kata natie
(kebangsaan) dan zelfbestuur
(pemerintahan sendiri). Menghimpun kaum pergerakan bumi putra dari seluruh
nusantara: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi.
Dalam
bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia (1980:6), AK. Pringgodigdo mencatat bahwa pada tahun 1916, saat
Natico Pertama CSI digelar, anggota SI sudah mencapai 800.000 orang. Sementara
Korver (1985:195) menyebut angka 700.000 orang dengan jumlah Lokal SI sebanyak
180.
Dengan
dukungan rakyat yang besar, pada hari kedua Natico, Tjokroaminoto berani
berteriak lantang, “...bilamana kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya,
artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan
sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan
bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama...”
Pada
Natico Kedua CSI, 20-27 Oktober 1917 di Jakarta, selain menegaskan Islam
sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan zelfbestuur, Kongres juga menegaskan, perjuangan SI melawan segala
tindasan kapitalis. “Sarekat Islam sebagai pelindung anak kromo.... Jika onderneming masih tetap bertindak
seperti yang sudah-sudah, maka kita hendak mempertahankan hak kita sampai
kepada titik darah yang penghabisan.” Tegas Tjokroaminoto dalam pidatonya.
Mengomentari
ini, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno:
Biografi Politik (2009:23) menulis, “Pada musim gugur 1917 dalam Kongres
Sarekat Islam yang ke-2, bersamaan dengan tuntutan dibentuknya suatu dominion
untuk Indonesia, telah tercantumkan juga semboyan untuk dicapainya kemerdekaan.
Pada
tahun 1918, pemerintah kolonial membentuk Volksraad
(Dewan Daerah), sebuah pseudo-parlemen yang diisi oleh 19 anggota yang diangkat
oleh pemerintah, dan 19 orang yang dipilih oleh rakyat. Tjokroaminoto merupakan
salah satu anggota Volksraad karena
diangkat.
Menanggapi
kondisi ini, internal SI mengalami perbedaan pendapat, faksi yang lebih
sosialis menolak keberadaan volksraad
dan meminta Tjokroaminoto untuk tidak menerima pengangkatan tersebut, sementara
faksi yang lain merasa penting untuk berada di dalam sebagai upaya
memaksimalisasi fungsi volksraad.
Menurut
Soe Hok Gie dalam Dibawah Lentera Merah
(1999:24), Semaun sebagai Ketua Lokal SI Semarang yang terang-terangan
menentang volksraad mengatakan,
“Hanya Tjokroaminoto seorang saja yang wakil kromo”. Bahkan menurutnya,
terdapat lima orang kapitalis yang jelas merupakan musuh kaum kromo.
Dalam
upayanya meradikalisasi fungsi volksraad,
Tjokroaminoto bersama anggota volksraad
dari unsur SI, Budi Utomo, ISDV, Insulinden dan Pasundan membentuk badan
federasi dengan nama Radicale
Concentratie pada 16 Nopember 1918. Namun kehadiran badan federasi ini tak
juga membuahkan hasil. Melihat hal ini, rakyat dan terutama anggota-anggota SI
mulai menunjukkan kemarahan.
Pada
Natico Keenam CSI di Surabaya, 6 – 10 Oktober 1921, friksi antara kubu Sosialis
dan kubu yang lebih moderat kiat menguat. Ketidakhadiran Tjokroaminoto dalam
Kongres karena ditahan Belanda, membuat SI terbelah karena kebijakan disiplin
organisasi. Faksi sosialis yang dimotori Semaun ‘dipaksa’ memilih tetap di SI
atau keluar.
Perpecahan,
ditambah dengan masih ditahannya Tjokroaminoto, membuat gerakan SI melemah.
Tjokroaminoto ditahan dari Agustus 1921 – April 1922. Sekeluarnya dari penjara,
dalam Kongres Al Islamdi Cirebon, 31 Oktober – 2 Nopember 1922, Tjokroaminoto
memperkenalkan ide Sosialisme Islam dan program tandhim (perjuangan).
Sosialisme
Islam, Sosialisme yang ber-Ketuhanan ala Tjokroaminoto kemudian menjadi
ideologi SI pada Natico Ketujuh di Madiun, 17 – 23 Februari 1923. Menurut Ohan
Sudjana (1999:31), pada Kongres tersebut, Tjokrominoto menegaskan bahwa SI
sedang mendapat sakit, dan obatnya yang paling manjur hanyalah Sosialisme.
Sosialisme
Tjokroaminoto adalah sosialisme yang berlandaskan pada ajaran Islam. Dalam Islam dan Sosialisme (1924:22),
Tjokroaminoto menegaskan, “Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau
rupa-rupa ‘isme’ lain-lainnnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus,
selain dari sosialisme yang berdasar Islam.”
Pilihan
ideologis Tjokroaminoto ini dipuji oleh dua orang penulis Soviet, Kapitsa M.S.
dan Maletin N.P. (2009:20), bahwa hal
ini menunjukkan, “Tjokroaminoto merupakan wakil dari kaum inteligensi yang mencerminkan
kesadaran nasional Indonesia dan yang telah menciptakan ideologi dari aliran
yang lebih radikal dalam gerakan nasional.”
Bagi
Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. (2009:21), Tjokroaminoto berhasil membaca
perkembangan dasar-dasar obyektif yang ada menuju perjuangan pembebasan
nasional Indonesia secara menyeluruh, yaitu: adanya suatu bahasa perhubungan
antar suku –bahasa Melayu, serta
kesamaan agama dari penduduk yang 90% adalah muslim.
Analisa
ini diperkuat oleh Nasihin dalam Sarekat
Islam Mencari Ideologi 1424-1945 (2012:152) yang menjelaskan bahwa bagi
Tjokroaminoto, sosialisme bukan sebuah hal yang harus ditentang, selama
sosialisme tersebut adalah sosialisme yang berlandaskan pada agama yang
mayoritas dipeluk oleh penduduk bumi putera.
Sosialisme
menurut Tjokroaminoto mempunyai tiga anasir: kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality)
dan persaudaraan (broedeschap-fraternity).
Sebelum dunia Barat mengibarkan hal ini, “Semenjak lahirnya, dengan
senyata-nyatanya Islam telah mengajarkan dan melakukan tiga perkara yang
menjadi anasir (element) sosialisme
yang sejati itu”. Tulis Tjokroaminoto dalam Program
Azas (1934:59).
Nasihin
(2012:217) menjelaskan bahwa Program Azas adalah sebuah aturan dan tuntunan
yang ditulis oleh Tjokroaminoto bagi Sarekat Islam dalam mengusung perjuangannya
menuju Indonesia Merdeka. Merdeka yang dimaksud di sini adalah kemerdekaan
sejati yang mencakup kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan yang diwujudkan
berdasarkan Sosialisme Islam.
Kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan dalam perspektif sosialisme Islam merupakan
manifestasi dari ajaran tauhid. Kondisi tidak merdeka, penuh dengan
ketimpangan, serta hilangnya kesetiakawanan sosial adalah situasi kufur,
dzulman dan syirik yang harus harus lesap mesti dilenyapkan.
Tentang
kemerdekaan, Tjokroaminoto (1924:32) menulis, “Tiap-tiap orang Islam tidak
harus takut kepada siapa atau apapun juga, melainkan diwajibkan kepada Allah
saja”. Ini berarti, tak boleh ada ketundukan dan penghambaan oleh manusia atas
manusia lain, sebab ketundukan hanya kepada Allah. Ini juga menegaskan tak
bolehnya penindasan dan penjajahan.
Dalam
Sosialisme Islam, kesetaraan manusia sangat dijaga, yang menjadi pembeda di
hadapan Allah hanyalah kualitas takwa. Keadilan gender antara laki-laki dan
perempuan juga menjadi hal yang harus ditegakkan. Begitupun kesetaraan antara
suami dan istri dalam rumah tangga, kedua belah pihak harus menjaga rasa
keadilan.
Sementara
soal persaudaraan, Tjokroaminoto (1936) menjelaskan, “Persaudaraan di antara
orang-orang Islam satu sama lain adalah sangat bagus. Rasa cinta di antara
mereka seperti rasa cinta di antara saudara tang sebenar-benarnya”. Umat Islam
dipersaudarakan oleh ikatan iman, dan mereka ibarat satu tubuh.
Implementasi
ketiga anasir ini di tengah masyarakat, disebut
oleh Tjokroaminoto sebagai kemerdekaan
sejati. Bila Marxisme memperkenalkan masyarakat tanpa kelas, maka bagi Tjokroaminoto
menyebut kemerdekaan sejati sebagai tujuan dari penegakan sosialisme Islam.
Saat
Soekarno membaca proklamasi 70 tahun yang lalu, Tjokroaminoto –aktivis pergerakan yang lahir 16 Agustus
1882, tepat ketika Krakatau meletus, di sebuah daerah bernama Bakur, Madiun,
Jawa Timur ini, telah marhum sebelas tahun, Tjokroaminoto meninggal 17
desember 1934. Meskipun demikian, kemerdekaan sejati masih saja menjadi arah
perjuangan.
Mungkin
seruan untuk membasmi kapitalisme sampai ke akar-akarnya sebagai musuh utama
Sosialisme Islam, atau semboyan Bersatulah
wahai kaum melarat yang menggema dalam Natico Keempat CSI di Surabaya pada
tahun 1919 patut dikobarkan kembali untuk merebut kemerdekaan sejati dari kaum
neo-imprealis dan neo-kolonialisme.