Pemimpin Sulsel Masa Depan; Dari Aristokrasi ke Meritokrasi

[22.07.2007] Kesejahteraan dan keadilan merupakan kata kunci dari sebuah bangunan masyarakat sipil (civil society) yang gilang-gemilang. Dalam membangun masyarakat seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya pemenuhan hak sipil dan politik, tetapi juga pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Memang kedengarannya merupakan hal mudah untuk mewujudkannya, apalagi bila diukur dari keberhasilan perjuangan masyarakat sipil (civil society) dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru tahun 1998.

Dalam kenyataannya tidaklah demikian, meski proses demokratisasi telah bergulir cepat, tapi di sisi lain proses melemahnya birokrasi negara menjadi lahan empuk masuknya globalisasi. Ini berimplikasi pada pemotongan pengeluaran pemerintah untuk pelayanan sosial, seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk safety-net bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, dan air bersih.

Untuk mengatasi masalah ini, tidak bisa dibebankan kepada birokrasi pemerintah saja, atau pada elemen masyarakat sipil (civil society) saja. Sudah saatnya ada kerjasama nyata diantara keduanya dalam mewujudkan kesejahteraan dan kegemilangan bersama. Untuk itu, posisi masyarakat sipil (civil society) perlu digeser untuk lebih berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah juga menjadi pemerintahan yang civilian government.

Membangun Civilian Government
Ernest Gellner (1995) pernah mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang harusnya menjadi catatan penting agar birokrasi bisa menjadi civilian government, atau birokrasi yang memperjuangkan kepentingan masyarakat sipil (civil society). Pertama, birokrasi mampu menciptakan tatanan sosial tanpa melalui pemaksaan. Maksudnya bahwa proses demokratisasi mengalami penguatan yang dilakukan oleh masyarakat yang berkesadaran non-hegemonik.

Kedua, birokrasi pemerintahan mampu memenuhi perannya sebagai penjaga perdamaian di atas berbagai kepentingan besar. Birokrasi tidak boleh terlibat dalam conflic of interest agar mampu menjadi pelayan bagi kepentingan publik. Ketiga, adanya regulasi pemerintah yang menjamin kebebasan dan hak-hak kewargaan, sehingga mampu menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Keempat, pemerintah tidak melakukan proses dominasi dan atomisasi masyarakat.

Untuk membangun civilian government dibutuhkan sebuah sistem politik yang demokratis, disamping itu, ini juga tidak bisa lepas dari seorang pemimpin yang memiliki visi yang sejalan dengan cita-cita luhur ini. Sebab bila tidak, maka impian hadirnya civilian government akan sulit diwujudkan. Karenanya, perbincangan tentang civilian government tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang kepemimpinan.

Pemimpin yang diharapkan bisa mewujudkan civilian government dalam pemerintahannya adalah seorang pemimpin yang memiliki visi plural dalam mendefenisikan kebenaran dan menentukan ukuran kebenaran. Artinya, pemimpin tersebut harus betul-betul mampu memahami realitas masyarakatnya yang plural secara kultural, baik pluralitas agama, kepercayaan dan keyakinan maupun pluralitas etnisitas dan kesukuan.

Selain itu, pemimpin tersebut juga harus mampu melakukan proses desentralisasi dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Ini berarti, yang diperlukan bukanlah pemimpin yang kuat, hegemonik, dan kharismatik belaka, tetapi pemimpin yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi seorang manajer dan pelayan publik yang baik.

Manajer dan pelayan publik yang baik harus bisa membangun orientasi kembar dalam menjalankan fungsi birokrasinya. Pemimpin seperti ini selain dituntut untuk meningkatkan kesejahteraan warga dan menjaga kondisi keuangan negara, di sisi lain juga diminta agar proaktif mendorong terciptanya arus demokratisasi di tingkat masyarakat sipil.

Seorang pemimpin yang ingin mewujudkan civilian government dalam pemerintahannya, menurut Moeljarto Tjokrowinoto (2001:11) setidaknya memiliki tiga kompetensi dasar. Kompetensi tersebut adalah pertama, memiliki jiwa dan semangat enterpreneural. Ini dibutuhkan agar birokrasi mampu membidik dan menentukan keunggulan kompetitifnya dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berpengaruh padan peningkatan pendapatan asli daerah.

Kedua, pemimpin tersebut harus siap untuk memberikan pelayanan publik yang adil dan inklusif sebaik-baiknya. Artinya, sosok pemimpin yang dibutuhkan dalam civilian government adalah sosok pemimpin yang profesional dalam menjalankan manajemen birokrasi yang berorientasi pelayanan. Ketiga, pemimpin civilian government harus memiliki visi yang kuat untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting.

Kepemimpinan Meritokrasi
Disamping tersedianya pemimpin dengan karakter sebagaimana disebutkan oleh Moeljarto Tjokrowinoto, penegakan civilian government juga membutuhkan sebuah bentuk kepemimpinan yang pas untuk itu. Francis Fukuyama (1992) pernah memproklamirkan bahwa dari semua bentuk pemerintahan yang ada, baik monarki dan aristokrasi, negara teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis dan komunias abad ini, satu-satunya bentuk pemerintahan yang mampu bertahan utuh hingga akhir abad ke-20 adalah demokrasi liberal. Keyakinan Fukuyama ini menjadi makin kuat ketika beberapa waktu terakhir, proses demokratisasi memasuki era baru.

Demokrasi yang dibutuhkan oleh civilian government adalah demokrasi sosial yang lebih berorientasi pada kesejahteraan bagi warga-bangsanya. Untuk menerapkan pilihan model demokrasi tersebut, tentu akan menjadi sulit apabila dilakukan dibawah naungan monarki dan aristokrasi. Kepemimpinan yang harus ditegakkan dalam sistem demokrasi sosial bukanlah sebuah kepemimpinan yang otoriter yang secara nyata bertolakbelakang dengan hakekat demokrasi, kepemimpinan yang patut dibangun adalah sebuah kepemimpinan yang otoritatif dan kompatibel.

Kepemimpinan yang tetap ototritatif dan juga memiliki kompatibilitas dengan civilian government tentu bukanlah kepemimpinan model aristokrasi yang mengandalkan jalur pewarisan kepemimpinan secara turun-temurun, pun bukan model kepemimpinan plutokrasi yang diperoleh seseorang karena kekayaan bawaan. Kepemimpinan yang paling kompatibel dengan civilian government adalah kepemimpinan meritokrasi, kepemimpinan yang berdasarkan pada kompetensi dan pencapaian-pencapaian prestatif, tanpa memperhatikan aspek keturunan dan kekayaan bawaan yang dimiliki oleh seseorang.

Ditengah suasana politik yang masih sesak dengan perilaku politik dan kepemimpinan yang beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pilihannya tentu tak lain adalah meritokrasi. Pengalaman Inggris telah membuktikan hal ini, sampai abad ke-18, Inggris masih terkenal sebagai sarang nepotisme yang dipelihara oleh fodalisme dalam naungan sistem monarki. Namun bangunan semangat berkompetisi (competitive spirit) yang terlahir karena tekanan eksternal sejak perang dunia pertama, mampu menggerus dan menggusur nepotisme dari panggung sejarahnya.

Dalam konteks Sulsel, dibutuhkan pemimpin yang berprestasi dan siap berkompetisi secara sehat serta memperlihatkan karya nyata bagi kehidupan sosial yang lebih baik, disamping itu juga tetap memiliki rasa tanggungjawab sosial yang tinggi untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai kebenaran dan keadilan serta perlindungan terhadap hak dan kepentingan orang banyak. Spirit ini harus memanifestasi dalam bentuk kepemimpinan berbasis meritokrasi yang –menurut Yudi Latief-- diterjemahkan kedalam empat level kepemimpinan politik yaitu, basis moralitas; tindakan politik; keteladanan; dan komunikasi politik.

Pada level pertama, basis moralitas. Pada basis moralitas inilah, komitmen seorang pemimpin pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat diuji. Realitas perpolitikan hari ini memperlihatkan bahwa hanya sedikit politisi dan aparat pemerintah yang bisa lolos dari level ini. Hampir semua politisi bekerja untuk diri sendiri dan kelompoknya. Para legislator lebih nampak sebagai wakil partai (bahkan wakil kolega) dari pada sebagai wakil rakyat.

Kedua, tindakan politik. Pada level kedua ini, seorang pemimpin diharapkan mampu untuk menerjemahkan bangunan nilai-nilai moralitasnya kedalam perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Ini tentu makin sulit, bagaimana mungkin mereka yang tidak memiliki komitmen moral dan kepekaan sosial akan peduli dengan bangunan perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Mereka hanya peduli pada kepentingan diri sendiri, sehingga perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya tentu merupakan pengejawantahan dari hal itu semua.

Ketiga, keteladanan. Kepercayaan komunitas politik dan konstituen akan tumbuh apabila mereka mampu melihat perilaku moral yang konkrit dan efektif dari para pemimpinnya sebagai suatu penerjemahan dari sebuah sikap moral yang memihak kepentingan mereka. Mereka juga akan melihat dan mencontoh prilaku moralitas dari pemimpinnya, karena keteladanan seorang pemimpin akan menularkan kesan otentik dari sebuah prilaku.

Terakhir, komunikasi politik. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengkomunikasikan nilai-nilai moralitas menjadi bahasa politik yang bisa difahami dan dimengerti oleh masyarakat sehingga nilai-nilai moralitas tersebut menjadi efektif dan fungsional. Pemahaman yang baik akan anutan nilai moralitas pada masyarakat akan berimplikasi pada penguatan solidaritas sosial dan peningkatan kualitas moralitas masyarakat.

Dalam konteks pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Sulsel 2007 secara langsung, kepemimpinan berbasis meritokrat ini akan mampu mencegah potensi destruktif yang dapat dilihat membayangi prosesi sakral ini. Menurut Adi Suryadi Culla (2007), sebagai akibat eksploitasi isu-isu politis, pembentukan blok-blok koalisi, wacana politik identitas, dan politik representasi kandidat, terjadi polarisasi sosial memprihatinkan yang secara sadar atau tidak mengkonstruksi kesadaran publik secara tidak sehat.

Polarisasi tersebut –masih menurut Adi Suryadi Culla-- adalah polarisasi etnik, polarisasi geopolitik, polarisasi ideologi, polarisasi birokrasi, polarisasi elit parpol. Namun bila dorongan untuk memilih pemimpin dengan berbasis pada penilaian terhadap pencapaian-pencapaian prestatif yang diperlihatkan oleh seorang calon pemimpin, maka apa yang diungkap oleh Adi tidak terlalu mengkhawatirkan.

Artikulasi nilai-nilai moralitas berupa komitmen pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat sebagaimana yang harus diterjemahkan kedalam empat level tersebut diatas, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menjadi pemimpin bukan karena warisan nenek moyang sebagaimana dalam sistem aristokrasi. Pun bukan mereka yang memimpin karena plutokrasi yang memiliki kekayaan bawaan sebagaimana kaum plutokrasi. Mereka yang berhak memimpin adalah mereka yang memiliki kompetensi serta pencapaian-pencapaian prestatif.


Tulisan ini menjadi juara II pada lomba penulisan yang dilaksanakan oleh Badan Komunikasi, Informasi dan Penyediaan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Nasional pada Tahun 2007. Tulisan ini mengulas tentang tawaran model kepemimpinan yang layak dipertimbangkan untuk membangun kepemimpinan di Sulsel masa depan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama