Menjadi Warga Ramah Lingkungan

[30.10.2007] Syahdan pada jaman dahulu kala di pusat pada kerajaan antah berantah, terdapat dua buah kota yang bertetangga yang hanya dibatasi oleh aliran sungai. Kota yang terdapat di sebelah utara sungai bernama Kota “Lam Trang” sementara yang di sebelah selatan bernama “Lam Glap”. Penduduk kedua kota tersebut memiliki kebiasaan sehari-hari yang sangat berbeda, terutama yang terkait dengan kebersihan lingkungan.

Penduduk kota Lam Glap memiliki kebiasaan membuang sampah, mandi dan buang hajat langsung ke sungai, sementara penduduk kota Lam Trang memiliki sistem pengelolaan sampah dengan sistem pengolahan yang lebih modern, tersedia MCK dengan tingkat higienitas yang tinggi. Bila Lam Glap terkesan cuek dengan hal-hal yang terkait dengan kebersihan lingkungan, Lam Trang lebih tertib dan teratur dalam hal ini.
Orang-orang Lam Glap sering meledek kebiasaan penduduk Lam Trang yang membuang hajat di WC, “Lihat orang Lam Trang, untuk buang hajat saja mereka harus membangun tempat seperti itu, ngapain kotoran disimpan baik-baik begitu”, dan olok-olokan sejenis. Sementara itu, orang Lam Trang juga sering berkomentar tentang penduduk kota tetangganya, “Kebiasaan primitif kok di piara.....”

Dalam perkembangan sebuah kota, lumrah bila ada kelompok masyarakat yang berkarakter seperti penduduk Lam Trang ataupun Lam Glap. Namun perlu disadari bahwa perbedaan karakter penduduknya akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dan kualitas kesehatan penduduknya. Untuk menjaga kualitas lingkungan dan kualitas kesehatan sebuah kota, maka penduduk seharusnya mampu mengembangkan sebuah karakter masyarakat urban yang ramah lingkungan.

Perkembangan dan pertumbuhan sebuah kota merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto (Kota Berkelanjutan, 1999) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 untuk pertama kali dalam sejarah separuh dari populasi penduduk dunia hidup di daerah perkotaan. Pada tahun 2015 mendatang diperkirakan terdapat 27 kota yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, 22 kota di antaranya berada di negara berkembang. Perkembangan ini tentu diikuti oleh pergeseran karakter masyarakat serta kualitas lingkungannya.

Realitas menunjukkan bahwa kota-kota yang dibangun tidak dengan kaidah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakn kota-kota yang mengarah pada –meminjam istilah John Ormsbee Simonds-- ”bunuh diri ekologis” (ecological suicide). Kondisi ini ditandai dengan terjadinya degradasi/penurunan kualitas lingkungan yang kemudian berefek pada penurunan kualitas kesehatan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi “bunuh diri ekologis” ini terkait dengan kebijakan pemerintah kota yang tidak berwawasan lingkungan, namun tentu juga tidak dapat dilepaskan bahwa kebiasaan penduduk seperti buang sampah sembarangan --terutama sampah plastik yang tak dapat diuraikan atau detergen yang mengalir bersama air sungai, buang hajat sembarangan, serta gagah-gagahan dengan konsumsi barang mewah yang sebetulnya tidak dibutuhkannya telah turut memperparah situasi.

Untuk meningkatkan kualitas ekologis sebuah kota maka dibutuhkan sebuah upaya sistematis untuk membangun kesadaran lingkungan (environmental awareness). Upaya ini dapat dilakukan dengan membangun kerangka pikir melalui pelaksanaan pendidikan dan latihan penyadaran terhadap anggota masyarakat, sehingga mereka bisa berperan serta secara proaktif dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan.

Hidup di tengah lingkungan yang sangat memperhatikan kualitas alam sekitar diperkuat dengan kesadaran lingkungan yang tinggi akan membuat masyarakat berusaha melakukan upaya-upaya menyelamatkan lingkungan. Namun tantangan terbesar yang menjadi kendala dari upaya ini adalah global paradox yang inheren di dalam perkembangan sebuah kota menjadi lebih metropolis.

John Naisbitt, dalam bukunya yang berjudul Global Paradox (1988) menunjukkan dengan gamblang paradoks yang muncul dari fenomena globalisasi. Ketika perkembangan sebuah kota menyebabkan penduduk kota tersebut kian universal dan terkoneksi secara online dengan seluruh dunia, pada saat yang sama karakter masyarakat urban malah bergerak ke arah sebaliknya. Masyarakat urban makin mengedepankan semangat kesukuan (menguatnya etno nasionalisme) serta bertindak dalam ukuran-ukuran lokalitas yang terkadang kontra produktif bagi perkembangan dan mencegah terjadinya degradasi kualitas lingkungan perkotaan.

Contoh paling nyata dari gloal paradox yang dimaksud terlihat dalam cara berfikir dan bertindak dari masyarakat kota Lam Glap. Mungkin dalam situasi pedesaan yang kondisi lingkungannya masih alami dan masih kuat untuk menampung beban pencemaran dari masyarakat, kebiasaan penduduk Lam Trang belum terlalu bermasalah, namun dalam kondisi lingkungan perkotaan yang demikian terbatas, kebiasaan penduduk Lam Glap akan terkait dengan banjir, penyakit, sampah, dan pencemaran air.

Belum lagi dengan polusi udara, pemanasan global, keadilan lingkungan (environmental justice), kesahatan masyarakat (public health), kesehatan lingkungan (environmental health) perencanaan dan kebijakan transportasi, ekonomi dan pembangunan masyarakat (economic and community development) yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya.

Upaya sistematis yang harus dilakukan setelah membangun kesadaran lingkungan (environmental awareness) adalah membangun kebiasaan-kebiasaan positif penduduk kota yang memang merupakan representasi dari kesadaran lingkungan yang mereka miliki. Ini bisa diwujudkan dalam berbagai tindakan-tindakan kecil yang sesungguhnya sangat efektif untuk mencegah degradasi kualitas lingkungan kota.

Tindakan ini bisa terwujud dalam bentuk perubahan pola konsumsi dan pola belanja dari masyarakat. Masyarakat urban mengalami shock future akibat perkembangan pembangunan fisik perkotaan yang demikian pesat tidak diikuti dengan pergeseran kultural yang memadai. Sehingga masyarakat urban menjadi konsumtif dan cenderung tidak terkendali terutam barang-barang instant seperti fast food dan soft drink. Mereka cenderung belanja hanya karena dipengaruhi oleh dorongan gaya hidup, tanpa memperhatikan efek negatif bagi kesehatan dari bahan makanan, serta efek pencemaran lingkungan dari makanan/minuman yang dikonsumsi (kemasannya tidak terurai dalam tanah).

Selain itu, masyarakat juga bisa melakukan penghematan di rumah, kantor dan perjalanan. Hal ini bisa diwujudkan dalam bentuk penghematan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil serta mengurangi penggunaan pendingin ruangan. Dalam perjalanan, dapat berwujud pengurangan penggunaan kendaraan pribadi. Tentu ini semua membutuhkan dukungan dari semua pihak yang terkait, mulai dari kesadaran masyarakat itu sendiri, kebijakan pemerintah kota maupun dukungan pihak pengusaha untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan.

Untuk mewujudkan hal ini semua, dibutuhkan kehadiran kepemimpinan lingkungan (environmental leadership). Kepemimpinan lingkungan --menurut Tony Djogo, tidak hanya berarti munculnya tipe pemimpin yang memiliki kesadaran lingkungan. Lebih dari itu, disamping keadaran, kepemimpinan lingkungan juga menuntut adanya niat dan upaya kolektif dalam upaya merubah cara pandang orang atau institusi terhadap lingkungan dan melakukan yang baik sehingga lebih ramah dan bertangung jawab terhadap lingkungannya. Kepemimpinan seperti inilah yang akan memandu tumbuhnya kesadaran lingkungan pada masyarakat urban.



Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Info Sulsel Vol. 4 No. 1, Maret 2007.

1 Komentar

  1. Anonim10:35 AM

    Asl.. wah sapa raja keren banget tuh menjadi eco human.... coba setiap kita pake sepeda, setiap rumah nanam pohon....walah Global warming g bakalan datang cepet... eh kk bukan kita yang datang juga di acaranya Launching buku, di Rujab walikota waktu malam kams

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama