Dari Demokrasi ke Terokrasi

Pemilu Legislatif sudah berlalu, bangsa Indonesia kini sedang menatap persiapan pelaksanaan Pemilu Presiden. Pemilu legislatif telah menyisakan beragam cerita, mulai dari perubahan peta politik secara drastis dengan kemenangan Partai Demokrat secara mencolok sampai kepada beragam kejadian seputar calon legislatif yang mengalami gangguan jiwa karena tidak terpilih.

Dari sekian banyak peristiwa yang mengiringinya, maka peristiwa yang paling patut mendapatkan perenungan adalah merebaknya berbagai macam kejadian menyedihkan yang dialami masyarakat sebagai efek dari proses demokrasi yang berlangsung. Di tengah kesibukan para elit politik melakukan kalkulasi politik dalam membangun koalisi, masyarakat bawah sibuk meratapi penderitaan karena proses demokrasi yang anomali.

Peristiwa adanya masyarakat yang diusir oleh tetangganya sendiri hanya karena berbeda pilihan politik, ada juga yang sampai menimbun sumur tetangga dengan batang pisang, jalan desa yang diblokir sampai pembongkaran paksa rumah menjadi keseharian masyarakat kita paska pemilu legislatif. Ditengah peristiwa tersebut, adakah partai politik dan politisi yang peduli? Tidak ada!

Praktek politik di Indonesia bukannya berjalan di bawah panduan cita utama “keadilan” sebagaimana di diktumkan Plato dalam Republic, melainkan telah mengamini anjuran Niccolo Machiavelli dalam The Prince untuk menghalalkan segala cara guna tercapainya tujuan politik. Realitas ini dapat kita saksikan dengan gamblang dimana para politisi kita bergerak tanpa memperdulikan lagi etika global dan moralitas kemanusiaan (bahasa Islam; akhlakul karimah).

Paradigam Politik Teror
Sebuah proses politik yang berkedok demokrasi, namun pada kenyataannya tidak lebih dari sebuah proses terokrasi (terrocracy), sebuah sistem pemerintahan dan penguasaan yang berlandaskan pada terror dan penderitaan masyarakat. Inilah demokrasi yang anomali itu, demokrasi yang mencita-luhurkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun untuk mencapainya justru telah mencabik-cabik masyarakat.

Terokrasi telah bekerja dengan sebuah logika atau hukum yang dikenal dengan istilah logika citraan. Logika citraan terokrasi di produksi oleh mesin-mesin teror (terror machine) yang bekerja dengan cara dua cara. Cara petama dalah percepatan, dimana mesin teror menciptakan suatu kondisi yang karena kecepatannya membuat manusia tidak mampu melakukan refleksi, bahkan kapasitas refleksi manusia terkubur dalam belitan kecepatan produksi teror tersebut.

Masyarakat kita dibuat tidak mampu menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi. Masyarakat tidak sempat melakukan refleksi dan perenungan karena mereka dijejali dengan beragam perisitwa politik yang datang silih berganti, tanpa jeda. Masyarakat bahkan seakan-akan tan sempat lagi untuk bernafas sekalipun akibat belitan aliran informasi (atau teror) politik yang terjadi detik-demi detik.

Cara Kedua adalah pelupaan. Cara ini merupakan kelanjutan dari cara yang pertama. Karena produksi teror itu sedemikian cepatnya sehingga teror itu menjadi lumrah, bahkan cendung dipandang biasa-biasa saja atau bukan lagi sebagai sebuah teror. Masyarakat menjadi pasrah bahkan masa bodoh dan apatis dengan apa yang terjadi. Bahkan yang lebih menyedihkan, kepada masyarakat diberikan kesadaran palsu bahwa apa yang mereka alami merupakan ongkos yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi.

Politik hari ini bukan hanya menjelma menjadi sekedar “mesin kekuasaan”, tapi politik juga sudah bermetamorfosis menjadi menjadi “mesin teror” (terror machine). Sebuah bangunan politik yang tidak hanya dibangun oleh para politisi sebagai pelaku terror, tapi juga oleh para intelektual yang mengembangkan semacam terrosophy.

Anthony Giddens, filosof sosial Inggris kontemporer yang dikenal sebagai bapak Sosialisme Demokrat melalui bukunya The Third Way, menjelaskan bahwa pada hari ini hampir semua analisa politik terjebak pada trilogi ortodox consensus berupa logika positivisme, metode fungsionalisme dan pola masyarakat industri. Ketiga konsensus ini menjadi standar pijakan analisa politik konvensional. Analisa politik dengan ortodox consensus sungguh jauh dari ranah kesadaran kritis.

Intelektual terrosophy hanya berbicara seputar elite partai politik, para calon legislatif permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan sebagainya. Pembicaraan itu hanya berputar-putar sekitar prosedur demokrasi yang sedang berlangsung, tak ada pembicaraan yang menukik pada substansi demokrasi. Merekalah intelektual demokrasi prosedural.

Para elite intelektual telah membenamkan masyarakat dalam ’kebudayaan bisu’ (submerged in the culture of silence). Kebudayaan bisu sebagaimana dijelaskan Freire merupakan suatu kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga diam nyaris dianggap sebagai sesuatu yang begitu sakral, sikap yang sopan, serta harus ditaati dan dipertahankan.

Namun dari sekian banyak medan koersif yang dimanfaatkan sebagai kanal teror, maka media massa menjadi ruang paling “kejam”. Setiap menit, bahkan detik, masyarakat di teror dengan sebentuk hyperreality, misalnya iklan layanan masyarakat yang menjelaskan pentingnya pemilu bagi demokratisasi, tanpa sedikitpun memberi ruang kepada masyarakat untuk mengkritisi apakah asumsi-asumsi yang mendasarinya sudah terpenuhi atau belum semua terjadi begitu cepat, sehingga membuat masyarakat lupa akan kapasitas refleksi kritis yang mereka miliki.

Proses politik teror yang berlangsung telah membuat masyarakat kita kehilangan modal sosial mereka. Sendi-sendi kemasyarakat menjadi goyah, hal ini ditandai dengan makin longgarnya ikatan-katan kekerabatan sosial, keluarga dan atau tetangga tak lagi menjadi perekat kebersamaan. Semua direnggangkan karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu legislatif.

Belum lagi modal sosial dalam wujud tradisi-tradisi kecil dalam kebudayaan, seperti budaya tolong-menolong yang tanpa pamrih, rasa persaudaraan yang tinggi telah digusur menjadi transaksi politik yang tak jauh dari transaksi ekonomis (money politic), kekerasan mental (ancaman) dan bahkan kekerasan fisik (pengusiran).

Masyarakat Yang Sehat

Masyarakat yang terbangun sebagai efek dari terokrasi adalah masyarakat yang bisu, masyarakat yang sakit dan para pelaku terokrasi ini oleh Frantz Fanon diidentifikasi menderita kondisi prikologis “oedipal”. Kondisi psikologi oedipal kemudian membangun colonial mind pada para elit dan kelas menengah. Mentalitas kolonial ini bekerja dan menunjukkan dengan gamblang bagaimana para elite dan kelas menengah melakukan perlawanan kepada para penjajah, namun dibalik itu mereka juga memendam hasrat untuk segera menggantikan posisi yang selama ini ditempati para penjajah.

Mereka pada saat yang sama sangat membenci sekaligus mengidolakan para penjajah. Kondisi psikologi ini berdampak pada hasil dari upaya dekolonisasi yang dilakukan, mereka hanya berhasil mengganti posisi para penjajah namun tidak benar-benar membebaskan rakyatnya. Memang terror dari penjajah telah berlalu, tapi terror dari elit politik negeri sendiri masih berlangsung melalui pemerintahan teror, terokrasi.

Untuk merubah keadaan bisu yang membeku ini, hanya bisa di pecahkan dengan perayaan kesadaran (meminjam istilah Ivan Illich) yang ditawarkan dan dialirkan dari bangunan kesadaran kultural. Kesadaran kultural yang terbangun (menurut Fromm) akan melahirkan manusia yang dapat mengaitkan diri secara spontanitas kepada dunia cinta dan karya dalam ekspresi emosional, sensasional dan kapasitas intelektual yang asli sehingga dapat bersama manusia, alam dan diri mereka tanpa kehilangan kemerdekaan dan integritas pribadinya. Kesadaran seperti inilah yang mampu menyelamatkan manusia yang telah kehilangan kepribadian asli dan spontanitas mereka.

Selain itu, juga dibutuhkan kemampuan melakukan kritik ideologi untuk melahirkan ideologi kritis, sehingga setiap orang akan mampu melihat dan mencermati kuasa, motif, dan kepentingan yang bekerja dibalik sebuah wacana atau pengetahuan yang di dedahkan. Adapun pondasi utama dari kritik ideologi adalah self reflection yang memberi kemampuan setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tersadari, tindakan-tindakan kultural yang spontan dan alami.

Ideologi kritis ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan kulturalnya (termasuk keterlibatannya dalam pemilu) sebagai upaya untuk menjadi makin manusiawi dan tidak terjebak pada kultur dominan hegemonik yang melahirkan kebudayaan bisu, politik kekerasan dan kesadaran palsu. Ideologi kritis inilah yang akan menjadi basis dari sebuah bangunan masyarakat yang sehat dan bisa melawan terokrasi. Semoga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama