[29.08.2009] Syahdan tersebutlah seorang bijak bernama I Mapesona yang hidup di sebuah desa di kaki Gunung Bawakaraeng bersama seorang muridnya yang masih muda belia bernama La Capila. Sebagai murid, La Capila sesuai dengan namanya senantiasa mempertanyakan setiap ajaran moral yang diwejangkan oleh Sang Guru, I Mapesona kepadanya.
Seperti sore itu, sambil menikmati kopi kental hasil racikan muridnya di teras rumah panggung yang mereka tinggali bersama, I Mapesona menasehati La Capila agar senantiasa menghindari untuk melukai hati orang lain,
“Anakku, kalau kau ingin agar semua manusia sayang kepadamu, maka berusahalah untuk tidak melukai hati mereka. Jangan sekali-kali kau lakukan itu, sebab hati yang luka sangat sulit dicarikan obatnya”.
“Memang kenapa duhai Sang Guru? Bukankah kita bisa minta maaf setelahnya? Apalagi kalau itu terjadi karena ketidaksengajaan” Sanggah Si Murid.
“Pokoknya jangan melakukannya, cerewet amat sih kamu!?” I Mapesona sedikit gusar.
“Yee…. Guru juga memerintah tanpa penjelasan, jelasin dong”, jawab La Capila dengan santainya.
I Mapesona tersenyum bahagia mendengar rasa ingin tahu yang besar dari murid kesayangannya,
“Oke, kalau memang kamu ingin tahu alasannya, kamu harus berjanji untuk melaksanakan perintah guru dan jangan ada lagi pertanyaan tentang ini setelahnya, Sepakat!?” I Mapesona memelintir-melintir misainya yang melengkung.
“Wah apa pula ini? Kok sampai seperti itu guru?” protes La Capila.
“Kamu benar-benar mau faham atau tidak nih?” I Mapesona kembali menggoda muridnya. Sambil garuk-garuk kepala yang memang gatal karena seumur hidup belum pernah ketemu shampo tersebut, La Capila mengangguk,
“Baiklah kalau itu memang mau guru, tapi guru harus berjanji bahwa setelah ini saya akan mendapatkan penjelasan tentang perintah guru, Sepakat!?”
“Sepakat!!” Mereka kemudian berjabat tangan.
“Kau lihat pagar papan di halaman itu? I Mapesona bertanya, muridnya hanya mengangguk sambil mengilik-ilik telinga.
“Mulai hari ini sampai satu minggu kedepan, setiap kau berbuat yang menyakiti perasaan orang lain, pasanglah sebatang paku pada bilah pagar yang paling ujung itu”, La Capila memasang muka melongo, gurunya melanjutkan,
“Sebaliknya, satu minggu setelahnya, lakukanlah sebaliknya”.
“Apa maksudmu duhai guru?”
“Kalau kau meminta maaf atau berbuat baik pada orang tersebut, cabutlah sebatang paku yang telah kau pasang seminggu sebelumnya”.
Begitulah, La Capila menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya I Mapesona tanpa banyak bertanya. Seminggu pertama memasang-masang paku, minggu berikut mencabutinya satu-satu. Sampai awal minggu ketiga, I Mapesona memanggilnya di suatu sore yang cerah,
“Sudahkah kau kerjakan apa yang gurumu ini pinta kepadamu duhai muridku yang banyak tanya?”
“Tentulah sudah wahai guru”, jawab La Capila sekenanya.
“Lalu apa yang kau dapatkan?”
“Bilah pagar tersebut berlobang-lobang guru”.
I Mapesona terdiam sambil mengelus-elus janggutnya yang hampir seluruhnya telah memutih.
“Sekarang, cobalah kau poles bilah pagar itu dengan cairan kapur, apakah akan kembali seperti semula?”, I Mapesona kembali bersuara.
“Wah, bagaimana pula guru ini, lubang-lubang bekas pakunya tentu akan tetap kelihatan”, sergah La Capila.
I Mapesona tersenyum, manis sekali, lalu ditepuk-tepuknya pundak La Capila dengan lembut,
“Begitu pulalah hati yang terluka anakku. Ketika kau melukai hati saudaramu, itu ibarat kau memasang paku pada bilah pagar di halaman itu. Saat kau meminta maaf, maka kau mencabuti paku-paku itu kembali. Bila kau berbuat baik kepada mereka, itu seperti mengapuri pagar itu agar kembali seperti semula. Tapi yakinlah, pagarnya tak pernah kembali seperti semula kan?”
Mendengar penjelasan gurunya, La Capila mengangkat wajahya yang berseri secerah sore itu.
Dengan sorot mata yang lirih dipandanginya wajah I Mapesona,
“Benar, saya sudah faham maksud guru. Memang maaf itu sangat penting, tapi lebih penting lagi menghindari untuk tidak melukai perasaan orang lain. Bukan begitu?”
I Mapesona kembali menepuk pundak La Capila lalu menjawab singkat,
“Ya!”