[08.09.2009] Suatu sore, sambil menikmati Serial Pedang Kayu Harum tulisan Kho Ping Hoo, La Capila menuangkan teh ke cangkir gurunya, I Mapesona yang mulai kosong. Mata I Mapesona menerawang jauh setelah sebelumnya sempat melirik ke arah buku yang di baca oleh muridnya,
“Kau boleh membaca beraneka buku, tapi jangan ditelan mentah-mentah, apalagi Keng Hong itu menerapkan moralitas yang berbeda dengan yang guru pahami”
“Maksud guru?” La Capila bertaya penuh selidik.
“Ya, karena ikut dengan petuah gurunya Sin-jiu Kiam-ong, yang membolehkan hubungan dengan perempuan yang penting dilandasi dengan cinta saja, maka Keng Hong melakukan itu juga”, terang I Mapesona.
Lama La Capila terdiam. I Mapesona melanjutkan penjelasannya,
“Seharusnya, hubungan tidak hanya dilandasi oleh cinta, tetapi lebih dari itu semua, dibutuhkan pernikahan, agar hubungan itu menjadi sakral dan lebih bermakna”.
Meletakkan bukunya, La Capila kemudian mengalihkan pandangan ke gurunya yang justru tengah menerawang jauh ke arah hutan Bawakaraeng.
“Sudilah kiranya guru menjelaskan kepada muridmu ini tentang hakekat dari cinta dan pernikahan yang telah guru sebut-sebut tadi”, suara La Capila penuh harap. I Mapesona menghirup nafas dalam-dalam,
“emmmmhhh……… nampaknya engkau memang membutuhkan itu muridku, biar kau bisa membandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh Keng Hong sebagaimana ditulis oleh Kho Ping Hoo yang sementara kau baca itu”.
La Capila beringsut mendekat ke arah gurunya. I Mapesona berguman,
“Kalau kau memang berkeinginan memahami hakekat Cinta dan Pernikahan, besok pagi, masuklah ke hutan di depan sana, jangan lupa membawa kapak yang tajam dan tebanglah pohon yang kau anggap paling baik dan bawalah pulang ke hadapanku”.
Tertunduk takzim, La Capila mejawab,
“Baiklah guru, saya akan melaksanakan titah guru”.
Keesokan harinya, berangkatlah La Capila menuju lebatnya hutan Bawakaraeng, dengan berbekal sebilah kapak yang telah di asahnya semalaman sampai benar-benar tajam, untuk memenuhi permintaan sang guru. Hari sudah menjelang senja, namun La Capila belum menebang satu pohonpun sampai dia memutuskan pulang menemui gurunya yang sudah menantinya di depan rumah.
“Mana pohon pilihanmu La Capila?” Tanya sang guru.
“Maaf beribu maaf guru, saya belum menebang satu pohonpun”.
“Mengapa? Apakah tidak ada satu pohonpun yang berhasil menarik perhatianmu di hutan itu?”
“Bukan begitu guru, justru sebaliknya, begitu saya menemukan pohon yang baik, saya selalu merasa masih ada yang lebih baik dibagian hutan yang lain, dan memang demikian adanya, sampai saya kesulitan menetukan pilihan dan merasa semua pantas untuk saya tebang dan persembahkan untuk guru”
Mendengar jawaban muridnya yang demikian lugu, I Mapesona tersenyum lalu berujar singkat,
“Itulah cinta”.
“Maksud guru? Aku belum megerti, lalu pernikahan?” La Capila terus memburu penjelasan I Mapesona gurunya.
Kembali tersenyum, I Mapesona berkata,
“Agar kau mengerti, saya memberimu kesempatan sekali lagi, masuklah kehutan itu lagi esok hari”.
Begitu pagi menjelang kesesokan harinya, La Capila beranjak menuju hutan, dan berbeda dari hari sebelumnya, kali ini La Capila pulang dengan memanggul sebatang pohon. Padahal hari pun belumlah sepenggalah naiknya.
“Wah wah wah…. Inikah pohon yang terbaik menurutmu di hutan itu?” cecar I Mapesona melihat hasil kerja muridnya. Sambil mengatur nafas, La Capila menjawab,
“Maaf guru, pohon ini memang mungkin bukan yang terbaik, tapi saya rasa ini sudah cukup baik…..”
“Lalu kenapa kau menebangnya?” Sergah I Mapesona.
“Karena saya tidak mau kejadian kemarin terulang lagi guru”.
“Itulah pernikahan”.
La Capila terperangah mendengar kalimat singkat gurunya,
“Saya belum mengerti guru, sudilah kiranya engkau memberikan penjelasan kepada muridmu ini”.
“Pernikahan adalah ketika kau berani memilih satu perempuan yang kau cintai untuk kau nikahi, meskipun engkau sadar bahwa dia mungkin bukanlah yang terbaik, tapi kau berani untuk menerima kelebihan dan kekurangannya. Seperti yang kau lakukan hari ini, kau berani menebang pohon yang kau anggap sudah dukup baik meskipun kau sadar bukan yang terbaik”.
I Mapesona terdiam sejenak, La Capila kembali memburunya dengan pertanyaan,
“Lalu cinta?”
“Ketika kau mencari pohon yang terbaik di hutan itu, kau selalu berfikir masih ada yang lebih baik di dalam hutan sana, kau terus mencari sampai senja menjelang dan kau belum menebang sebatang pohonpun”. Berhenti sejenak, lalu lanjutnya,
“Kau selalu berfikir bahwa tentu masih ada perempuan yang lebih baik, teruslah mencari, dan kau tidak sadar bahwa ketuaan menjemputmu dan kematian menjelang. Lalu kaupun tidak menikah-menikah”.
“Wakakakakakakak.. seperti guru dong, jomblo sejati.. wakakakakakak!! Tiba-tiba La Capila terbahak.
“Hush… jangan buka rahasia dong. Sepertinya kau harus lebih pintar dari aku dalam hal ini muridku”…..