[20.10.2009] Sebagai seorang bijak, I Mapesona mempunyai kebiasaan memacing ikan di sungai yang terdapat di pinggir hutan kaki gunung Bawakaraeng dekat pondok tinggalnya dengan La Capila, muridnya.
Setiap habis memancing, I Mapesona akan membagikan semua hasil pacingannya (yang selalu banyak) kepada penduduk desa dekat kaki gunung Bawakaraeng. Dia hanya menyisakan seekor ikan yang paling kecil untuk menjadi lauknya dengan La Capila.
Suatu hari, sambil menemani gurunya memancing, La Capila bertanya pelan,
“guru, tolong jelaskan kepadaku tentang hidup zuhud”.
Medengar tanya muridnya, I Mapesona hanya berbalik sebentar lalu kembali serius memperhatikan joran pancingnya.
“kok guru tidak menjawab tanyaku? Aku yakin guru faham tentang hidup zuhud, bukankah apa yang guru lakukan dengan membagi semua ikan hasil tangkapan guru ke penduduk desa merupakan sebentuk hidup zuhud?”
Kembali La Capila mencecar gurunya.
Bukannya menjawab pertanyaan muridnya dan menjelaskan tentang zuhud, I Mapesona hanya berkata,
“Kalau kau mau faham tentang hidup zuhud, pergilah berkunjung ke rumah orang yang paling zuhud hidupnya di negeri ini”.
“Siapakah dia duhai guru? Masih adakah orang yang lebih zuhud dari dirimu? Di mana saya dapat menemuinya?”
Kembali La Capila melempar tanya.
“Pergilah ke kota kerajaan dan berkunjunglah ke rumah kakak seperguruanku dulu, I Mangerangi namanya”, terang I Mapesona.
“Berangkatlah besok pagi-pagi sekali”.
Lanjutnya.
Keesokan harinya, La Capila turun gunung menuju ibu kota kerajaan, sesampainya di pinggiran kota, dia bertanya kepada gembala yang sedang menjaga ratusan ekor sapi di padang rumput.
“Wahai gembala, ke arah manakah aku harus melangkah bila ingin menemui I Mangerangi?”
“Ikuti saja jalan ini, sekitar satu kilometer ke depan, engkau akan melihat rumah yang paling mewah di sisi kiri. Itulah rumah I Mangerangi, tuanku yang punya semua sapi ini”.
Jelas si gembala sapi.
Dengan penuh keheranan, La Capila melanjutkan perjalanannya, mana mungkin orang yang punya ratusan sapi seperti itu di sebut zuhud oleh gurunya? Keheranannya makin menjadi ketika dia sampai di rumah yang dimaksud sang gembala. Ketika melangkah masuk, dia disambut oleh pelayan yang cantik-cantik yang mempersilahkannya masuk ke ruang tamu yang berlapis permadani tebal.
Belum lepas keheranan La Capila, dari ruang dalam keluarlah seorang pria setengah baya dengan berpakaian kebesaran berlapis sutra dan berhias intan berlian dan mutiara. Di belakangnya berjalan beberapa dayang yang nampak membawa makanan-makanan yang lezat. Mata La Capila terbelalak, guruku pasti salah! Belum lepas keheranannya,
“Hai anak muda, ada apa kau datang menemuiku?”
“Saya La Capila, murid dengan I Mapesona”, jelasnya.
“Oooh, bagaimana kabar gurumu yang terlalu cinta dunia itu?” seru I Mangerangi.
Kali ini La Capila tidak dapat menahan amarahnya,
“Kurang ajar, kau yang hidup bergelimang harta begini berani menuduh guruku yang hidup amat sederhana sebagai pencinta dunia!”
“Hahahahah, memang saya bergelimang harta tapi saya rela menyerahkan seluruh hartaku kepadamu saat ini juga kalau kamu mau, aku tidak membutuhkannya”.
“Tidak….!!!” Seru La Capila.
“Asal tahu saja, gurumu memang kelihatan sederhana, tapi dia selalu memikirkan ikan-ikan yang dia hadiahkan kepada penduduk desa dengan ingatan menyesal”. Lanjut I Mangerangi.
Karena tidak dapat menahan jengkel, La Capila meninggalkan rumah I Mangerangi dengan tergesa pulang menemui gurunya.
“Guru, kenapa dia kau sebut zuhud padahal dia hidup bergelimang harta? Bahkan dia dengan kurang ajar menuduhmu sebagai pencinta dunia”.
“Apalagi yang dia bilang?” Tanya I Mapesona.
“Dia bilang, guru memang hidup sederhana tapi tidak bisa melupakan semua ikan-ikan yang telah guru berikan kepada penduduk desa”.
Mendengar cerita muridnya, I Mapesona sampai tidak sadarkan diri. La Capila terheran-heran melihat keadaan ini. Setelah beberapa saat, I Mapesona sadarkan diri.
“Betul sekali apa yang dikatakannya itu muridku, aku memang seperti yang dia ungkapkan.”
“Maksud guru?” La Capila makin keheranan.
“Sebenarnya, setiap hari ketika malam hari telah tiba, saya masih sering berandai-andai kenapa tidak saya sisakan barang seekor dua ekor ikan yang agak besar agar bisa kita nikmati bersama.” Terang I Mapesona.
“Ketahuilah muridku, hakekat dari zuhud itu adalah ketika kau tidak lagi tergantung dan dikuasai oleh hartamu meskipun engkau kaya raya, dan bukan pada tampilanmu yang kelihatan sederhana tapi pikiranmy dipenuhi dengan hasrat dan keinginan untuk memiliki dan menguasai harta sebanyak-banyaknya.” Lanjutnya.
“Kok guru pintar menjelaskan tetapi tidan pintar mengamalkannya?” Selidik La Capila.
“Itulah masalahnya…” I Mapesona mendesah panjang.