[24.08.2011] Dalam berbagai gerakan perempuan yang ada di dunia ini, akan kita temukan bawa setiap gerakan itu bekerja dalam model analisisnya masing-masing. Misalnya, pada tahun 70-an kita kenal dengan maraknya gerakan Feminisme Liberal yang mendasarkan gerakannya pada analisis Women In Depelopment (WID). Setelah analisis ini dianggap tidak memadai maka muncullah model analisis Women And Depelopment (WAD) yang di gembar-gemborkan oleh gerakan feminis yang berbasis ideologi Neo-Marxis.
Dari kedua model analisis ini, yang menarik untuk kita perhatikan adalah bahwa mereka mencoba mengaalisis relasi antara perempuan dengan pembangunan. Dalam WID, analisis ini menunjukkan bagainana proses pembangunan yang sedang berlangsung memposisikan perempuan, ini menjadi acuan untuk menilai berdaya dan tidaknya perempuan. Sedangkan WAD, melangkah lebih jauh dengan menganalisis sejauhmana keterlibatan aktif para perempuan dalam proses pembangunan yang sedang bergulir. Jadi kedua model analisis ini masih berkutat pada perempuan saja, tanpa berusaha memperluas analisisnya sampai pada struktur sosial yang lebih kompleks.
Barulah pada tahun 90-an, ketika gerakan feminisme yang berbasis Empowerement memperkenalkan perangkat analisis baru yang dikenal dengan nama analisis Gender and Development. Analisis ini yang kemudin dikenal sebagai analisis gender mencoba melihat semua masalah perempuan tidak hanya dari perspektif yang sempit, namun mencoba memperluas cakupan analisis yang dilakukan. Ananlisis ini tidak hanya berkutat pada posisi, fungsi dan peran perempuan dalam hubungannya dengan pembangunan, namun mulai melihat secara mendalam tentang struktur sosial yang lebih kompleks.
Secara sederhana, gender dapat difahami sebagai posisi, fungsi dan peran sosial (beban gender) yang dilekatkan pada seorang manusia berdasarkan jenis kelamin (identitas gender) yang dimiliki. Jadi dari pemahaman dasar ini dapat dikatakan bahwa analisis gender adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan lahirnya beban gender yang timpang serta menunjukkan secara radikal dampak yang ditimbulkan.
Analisis gender sebagai sebuah perangkat analisis, setidaknya menyorot masalah relasi antara identitas gender (laki-laki dan perempuan) yang ada dari perspektif kultural, teologis dan ekonomi. Secara kultural analisis gender kemudian melihat bahwa ketimpangan gender muncul karena mengakarnya budaya patriarkhi dalam masyarakat. Kalau secara teologis, analisis gender menemukan bahwa ketimpangan gender diakibatkan karena banyaknya teks keagamaan yang ditafsirkan secara missoginis. Dan dari segi ekonomi, akan ditemukan bahwa ketimpangan gender diakibatkan oleh persaingan ekonomi khususnya dalam hal kepentingan penguasaan atas faktor produksi.
Sementara itu kalau kita dampak yang ditimbulkan dari ketimpangan-ketimpangan yang ada adalah adanya ketidakadilan gender antara kedua identitas gender (laki-laki dan perempuan) yang kita kenal. Namun kalau kita serius untuk melihat masalah ini, maka akan ditemukan bahwa kunci utamanya adalah masalah ekonomi, atau dengan kata lain orientasi dari analisis gender ini adalah orientasi ekonomi. Karena untuk menilai apakah budaya patriarkhi dan teks keagamaan yang missoginis serta penguasaan faktor produksi yang tidak merata, analisis gender menggunakan variabel-variabel ekonomi. Sementara itu, kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh identitas gender tertentu (dalam hal ini perempuan) hanyalah implikasi dari kekerasan dan ketidakadilan ekonomi.
Artinya bahwa analisis gender sebagai sebuah analisis sosial tetap menempatkan masalah ekonomi sebagai infrastruktur dari sebuah masyarakat (baik budaya, hukum, sosial, agama dan yang lainnya). Jadi analisis gender adalah analisisi yang berorientasi ekonomi. Sebagaimana Women In Development dan Women And Development, analisis gender juga tetap bekerja dalam narasi besar materialisme.
Kalau kita menyorot secara lebih mendalam, maka akan kita temukan bahwa analisis gender merupakan sebuah analisis yang ambigu, karena tujuan dari analisis ini adalah mencoba memberdayakan perempuan dari struktur sosial yang timpang dan tidak adil. Struktur sosial yang timpang yang dimaksud adalah bangunan masyarakat kapitalistik Padahal analisis gender bekerja dalam logika yang sama dengan kapitalisme, sama-sama berorientasi ekonomi. Analisis gender, bukannya membangun daya kritis terhadap kapitalisme, justru sebaliknya malah makin memapankannya.
Dalam analisis gender akan kita temukan bahwa budaya patriarkhi dan penafsiran teks keagamaan yang missoginis memasung perempuan dalam wilayah domestik sementara itu faktor-faktor produksi berada di wilayah publik sehingga menyebabkan timpangnya struktur penguasaan faktor-faktor produksi. Faktor-faktor produksi dikuasai oleh identitas gender tertentu (laki-laki), dan dengan penguasaannya itu, mereka dengan bebas melakukan kekerasan dan penindasan terhadap identitas gender lain (perempuan). Untuk mengantisipasi ini, maka perempuanpun harus melakukan penguasaan terhadap faktor-faktor produksi, ini menuntut perempuan untuk meninggalkan wilayah domestik dan merambah wilayah publik dan hambatan yang dihadapi adalah budaya patriarkhi serta penafsiran teks keagamaan yang missoginis.
Secara genealogis, sebenarnya analisis gender ini merupakan sebuah produk pemikiran yang patut dicurigai karena dia lahir dari rahim eradaban yang begitu kapitalistik sehingga watak kapitalis tetap menaglir dalam kesadaran analisis ini. Kenapa demikian, karena analisis gender dimunculkan dengan alasan untuk membebaskan perempuan, padahal kenyataannya untuk menyelamatkan krisis yang dialami oleh peradaban kapitalisme.
Peradaban kapitalisme kotemporer mengalami krisis akut di inti sistemnya, yaitu krisis kapital. Kapitalisme mengalami pertumbuhan kapital yang tidak terkendali sehingga terjadi over capital, ini mendorong terjadinya konstruksi produksi yang juga harus over dan untuk itu, dibutuhkan tenaga kerja yang banyak dan tetap mampu menjaga agar jangan sampai terjadi lonjakan biaya produksi.
Analisis gender kemudian menjadi pil penenang bagi krisis kapitalisme ini, karena denga adanya dorongan kepada para perempuan untuk merambah wilayah publik, itu akan menutupi kebutuhan kapitalis akan tenaga kerja yang murah. Dan yang sangat memprihatinkan adalah bahwa perempuan kemudian bukannya dipersilahkan memilih untuk berada di wilayah publik ataukah diwilayah domestik, malah para perempuan kemudian menjalankan peran ganda, diwilayah publik dan di wilayah domestik sekaligus.
Padahal secara jeli, kalau kita mengikuti alur berfikir yang di bangun oleh Ivan Illich, sebenarnya jangan dikira bahwa peran-peran ekonomi hanya bisa diakses kalau seseorang itu berada di wilayah publik, karena ternyata di wilayah domestik ada sebuah struktur perekonomian sendiri. Jadi jangan dikira kalau seorang perempuan menyiapkan makanan terhadap keluarganya bukan merupakan tindakan ekonomi, justru tindakan seperti ini adalah inti dari tindakan ekonomi yang selama ini terabaikan, padahal betapa pesar pengeluaran yang tidak terjadi karena peneluaran itu di bayar oleh tenaga para perempuan yang berperan sebagai ibu dan istri. Tinggal bagaimana agar masyarakat memahami hal tersebut.
Disamping itu, perempuan kemudian diproduk untuk menjadi pasar yang sangat subur tanpa perempuan itu merasa, bahkan mereka (para perempuan) menganggap itu suatu kebebasan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Naomi Wolf (Beauty Mith : 1990) bahwa “perempuan di negara maju yang telah mendapatkan hak mereka yang setara dengan laki-laki, ternyata tidak bisa membebaskan dirinya dari mitos tentang kecantikan yang di ciptakan oleh industri”. Perempuan, selain di produk menjadi buruh dengan gaji murah, mereka juga di produk menjadi konsumen massif (mass consumption).
Untuk membebaskan diri dari belitan wacana analisis gender yang berorientasi ekonomi, maka seharusnya dilakukan pergeseran orientasi dalam melakukan analisis gender. Apalagi bagi seorang muslim, maka analisis gendernya harus beorientasi taqwa. Dalam perspektif ini, struktur masyarakat seharusnya terbangun diatas infrastruktur tauhid yang berintikan ajaran taqwa. Karena sesungguhnya yang membedakan kemuliaan manusia bukanlah penguasaannya terhadap faktor produksi yang berada di wilayah publik, melainkan sejauhmana dia mampu mengamalkan ajaran hidup taqwa.
Dengan berorientasi taqwa, maka kedua identitas gender yang ada (perempuan maupun laki-laki), tidak lagi terjebak bahwa mereka harus bertarung untuk memperebutkan wilayah publik agar mereka memiliki akses yang sama terhadap faktor-faktor produksi. Karena ukurannya adalah taqwa, maka tidak ada lagi pemetaan wilayah publik dan wilayah domestik, yang perlu diperhatikan bahwa dimanapun faktor-faktor ketakwaan itu bisa di akses, disitulah seharusnya mereka berada (bandingkan konsep fastabiqul khaerat).
Dalam mengakses faktor-faktor ke-taqwa-an, maka kedua identitas gender ini seharusya tetap menjaga etika ke-taqwa-an yang inhern dalam proses mengakses tersebut, etika tersebut adalah saling tolong-menolong dan bantu-membantu karena tujuan akhir dari orientasi taqwa adalah keadilan antara kedua identitas gender tersebut dan bukannya pertarungan tiada henti dan saling memanfaatkan antara keduanya.
Dalam posisi seperti ini, maka analisis gender tidak lagi hanya mencoba mencari dan berusaha meruntuhkan perbedaan beban gender yang ada antara kedua identitas gender, melainkan berusaha untuk memahami bahwa keduanya memang berbeda, namun perbedaan itu tidak berarti pembeda dan ini juga berarti bahwa perbedaan itu tidak harus membuat adanya ketimpangan ekonomi, kultural, dan teologis, karena pada hakekatnya yang membedakan keduanya adalah sejauh mana mereka (kedua identitas gender) mampu menegakkan keadilan sebagai inti dari taqwa. Wallahu A’lam Bis Shawab...
Tulisan ini saya buat pada tanggal 22-02-1425 H