Kemiskinan Simbolik Massal

Merdeka kata yang begitu hangat ditelinga kita akhir-akhir ini. Kata yang begitu kuat menghipnotis kesadaran setiap warga Indonesia untuk berusaha memperingatinya dengan berbagai macam acara dan ritual, mulai dari acara panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino.


17 Agustus, hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari itu diperingati sebagai hari kemerdekaan. Hari dimana bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Sejak hari itu Indonesia dokenal sebagai bangsa yang berdaulat. Bulan ini kembali kita hanyut dalam suasana heroik itu, suasana dimana kemerdekaan berhasil diraih dan direngkuh.

Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa sebenarnya sebenarnya hari ini kita belumlah merdeka dan berdaulat. Dengan analisa makro sosial hal ini dapat terlihat dari ketergantungan Indonesia dari berbagai segmen kehidupan, terutama ekonomi, terhadap negara lain.

Tulisan ini juga akan mencoba menganalisis gejala ketidakmerdekaan tersebut, namun tidak dalam analisa makro sosial sebagaimana sering dilakukan oleh berbagai pihak, melainkan akan mencoba menyorot ketidakmerdekaan itu dari sudut pandang keseharian atau mikro sosial, terutama dalam konteks hari kemerdekaan.

Kemiskinan Simbolik
Salahsatu kemampuan berharga yang dimiliki oleh manusia adalah kemampuannya menyampaikan perasaan kepada orang lain melalui proses komunikasi. Dalam proses komunikasi terjadi pertukaran informasi dalam rajutan simbol yang dimengerti dan disepakati.

Simbol secara sederhana difahami sebagai hasil dari sebuah proses budaya manusia yang bernama representasi. Jadi simbolisasi merupakan upaya manusia untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan cara mengkonkritkan yang semula begitu astrak, agar lebih mudah difahami dan dimengerti.

Kegembiraan akan kemerdekaan adalah sesuatu yang begitu abstrak, proses konkretisasinya melahirkan berbagai macam simbol dalam bentuk peringatan hari kemerdekaan yang senantiasa diadakan tiap tahun, peringatan itu dimeriahkan dengan berbagai macam kegiatan.

Mulai dari tingkat desa dan kelurahan sampai ketingkat negara peringatanitu dilaksanakan dengan meriah dan semarak. Hampir semua warga dari kota besar sampai ke pelosok desa, mencoba berpartisipasi dalam mengisi hari itu.

Keceriaan tergambar wajah anak-anak yang terlibat dalam perlombaan lari karung, tawa lepas bapak-bapak yang main bola pakai sarung saban sore. Ibu-ibu PKK yang ikut lomba gerak jalan atau mereka yang sekedar tumpah ruah kelapangan sebagai penggembira-penonton adalah wujud dari upaya menunjukkan kegembiraan akan kemerdekaan.

Namun satu hal yang secara mikro sosial dapat teramati adalah bahwa dalam upaya memperingati hari kemerdekaan itu, warga Indonesia memperlihatkan lagi satu jenis kemiskinan yang mereka miliki. Kemiskinan itu adalah kemiskinan simbolik.

Kemiskinan simbolik itu terlihat dari model kegiatan dan corak aksi yang dilakukan warga dalam memperingati hari itu tidak jauh berbeda, bahkan sama. Mulai dari kota besar sampai kepelosok desa, dari Sabang sampai Merauke, dari tingkat desa/kelurahan sampai tingkat negara, jenis kegiatan yang dilakukan tidak ada inovasi berarti.

Mulai dari anak sekolahan, petani, guru, nelayan, pedagang, bahkan mahasiswa dan dosen, memahami dan mengharagai hari kemerdekaan ini dengan panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino. Nampaknya kegiatan-kegiatan ini telah menjadi pakem, dari hari kemerdekaan. Tanpa itu semua, hari kemerdekaan menjadi tidak berarti sama sekali.

Terjajah Dihari Merdeka
Mungkin kedengarannya begitu bombastis, namun inilah kenyataan diwilayah mikro sosial kita dihari kemerdekaan, terjajah! Keterjajahan itu mewujud dalam situasi monobudaya. Simbolisasi kegembiraan akan kemerdekaan berjalan dengan begitu dominatif-hegemonik.

Peringatan hari merdeka direduksi menjadi upacara bendera, panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino. Dari tahun ketahun, situasi ini tak pernah tergugat dan dipertanyakan. Seakan-akan hari kemerdekaan memang harus dimeriahkan dengan itu semua.

Dihari dimana kemerdekaan itu dikumandangkan, justru warga dijajah dengan pemaknaan yang sangat monolitik. Peringatan hari kemerdekaan bukannya menambah kesadaran akan arti pentingnya kemerdekaan, malah sebaliknya, kesadaran masyarakat kita makin ditenggelamkan dalam kesadaran massif-ilusif melalui proses dominasi dan pendisiplinan.

Masyarakat dikontrol untuk tidak melalukan pemaknaan atas kemerdekaan secara substansial, melainkan masyarakat dibuai dengan pemaknaan yang sangat artifisial atas arti kemerdekaan. Ruang-ruang ekspresi tetap dikontrol dengan ketat disaat kita mengklaim diri sebagai bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat. Sungguh ironis.

Penjajahan simbolik yang terjadi dihari kemerdekaan ini, berjalan dengan proses politik identitas. Kemerdekaan diasosiasikan dengan makna nasionalisme Indonesia, yang ternyata diasosiasikan lagi dengan panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino.

Ini berarti bahwa bila anda tidak berpartisipasi aktif dalam peringatan kemerdekaan yang berupa panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino, maka anda akan teridentifikasi kurang atau bahkan tidak nasionalis.

Lebih lanjut, bila nilai nasionalisme anda diragukan, maka anda akan terdefenisi sebagai penghianat, bila sudah sepeerti itu, maka anda adalah musuh negara dalam hal ini penjajah. Sebagai penjajah, anda kontraproduktif dengan kemerdekaan.

Kesimpulan akhirnya, bila anda tidak memperingati hari kemerdekaan dengan panjat pinang, pertandingan olahraga, lari karung, tarik tambang dan tidak ketinggalan lomba domino, siapapun anda maka anda akan terkategorikan sebagai musuh atau ‘yang lain’. Inilah arus besar penjajahan simbolik dihari dimana kita seharusnya sudah merdeka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama