[08.01.2012] Ketika berbicara tentang cinta,
Erich Fromm membagi cinta menjadi beberapa
tipe berdasarkan obyek yang dicintai. Ada cinta persaudaraan, cinta keibuan,
cinta erotis, cinta diri dan cinta kepada Tuhan. Tulisan ini akan mengulas
masalah cinta yang ketiga yaitu cinta erotis dalam hubungannya dengan proses
pernikahan yang merupakan ekspresi paling nyata dari cinta jenis ini. Dalam
konteks inilah posisi dan peran keberanian dan faktor-faktor yang lain akan
menemukan muaranya.
Namun sebelum sampai pada
pembahasan secara mendetail tentang cinta erotis alangkah baiknya kita menyorot
lebih dahulu pemahaman Fromm mengenai cinta. Secara sederhana beliau mengatakan
bahwa cinta pada dasarnya merupakan suatu kemauan, suatu keputusan untuk
mengikat kehidupan dengan kehidupan orang lain. Dan secara spesifik cinta erotis
difahaminya sebagai cinta yang mendambakan suatu peleburan secara total atau
penyatuan secara ekslusif dengan pribadi lain atau orang tertentu.
Karena sifatnya yang ekslusif,
maka Fromm menganggap bahwa jenis cinta
inilah yag paling tidak bisa di percaya dan tidak bersifat universal. Namunpun
begitu, hal ini tidak menjadi alasan bahwa cinta erotis ini harus oleh di
hilangkan, justru sebaliknya, karena sifatnya yang khas, maka jenis cinta ini
seharusnya mendapat perhatian khusus, apalagi jenis cinta inilah yang menjadi
landasan sebuah pernikahan yang merupakan fondasi utama sebuah tatanan
masyarakat.
Ekslusifitas dari cinta erotis
akan berdampak pada hubungan antara dua pribadi dengan begitu intim sehingga
kemungkinan untuk mengalami penyimpangan menjadi kepemilikan sangatlah besar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka bangunan cinta ini seharusnya tidak di
pisahkan dari bangunan cinta yang lain, terutama cinta persaudaraan. Dengan
cinta persaudaraan, manusia akan menyadari bahwa kita semua merupakan bagian
dari ummat manusia yang satu. Sehingga ini menuntut kita untuk tidak
membeda-bedakan kemana cinta ini akan diarahkan.
Dengan landasan ini, cinta
erotis dibangun dengan ciri paradoksal kemanusiaan yang nyata, di satu sisi
kita dituntut untuk tidak membeda-bedakan obyek cinta, namun pada saat yang
sama kita juga mengakui adanya keunikan dan kekhasan dari tiap-tiap individu.
Karena kekhasan inilah, kemungkinan melakukan pilihan individu yang akan
menjadi obyek cinta erotis menjadi dimungkinkan.
Tetapi yang harus di perhatikan
–menurut Fromm- apabila cinta erotis memang tetap mau di klaim sebagai
cinta, maka seharusnya kita memahami bahwa saya (sebagai pribadi yang
unik) benar-benar mencintainya dari hakekat keberadaan saya dan menerima
keberadaan pribadi lain dalam hakekat keberadaan saya. Sehingga pernikahan
sebagai ekspresi sosial dari cinta erotis seharusnya difahami sebagai tindakan
sosial, meskipun dilakukan oleh individu-individu yang unik.
Karena hal inilah maka dalam
melakukan keputusan untuk menikah, keberanian saja tidak cukup. Karena biasanya
keberanian itu muncul dari perasaan yang kuat, dan perasaan itu bisa itu bisa
berkurang atau bahkan menghilang, fahamilah bahwa cinta itu bukan hanya
persoalan perasaan. Cinta, setidaknya harus memenuhi empat elemen dasar -menurut
Fromm- yaitu, perhatian, tanggungjawab, penghargaan dan pemahaman.
Bila keempat elemen dasar cinta
ini coba untuk di penuhi dalam sebuah proses pernikahan maka, tapatlah bahwa
keberanian saja tidak cukup. Disamping perasan yang kuat, juga di butuhkan
penilaian dan keputusan yang menjadi dasar membangun perjanjian untuk berusaha
mempertahankan perasaan saling mencintai dan menyayangi sepanjang kehidupannya
di dunia ini. Tanpa penilaian dan keputusan, dengan apa perjanjian (bahasa
Islam ; aqad) akan dilakukan ? Dan tanpa aqad, dengan apa perasaan itu bisa
di jaga dan di lestarikan.
Kemampuan untuk melakukan
penilaian dan mengambil keputusan yang akan menjadi landasan dari sebuah
perjanjian untuk tetap mempertahankan perasaan saling mencintai dalam konsep
cinta erotis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mampu memenuhi
elemen-elemen cinta. Dan kemampuan ini tidak akan mungkin mampu dilakukan oleh
orang-orang yang mengalami neurosis dalam masalah cinta.
Neurosis dalam masalah cinta
adalah kondisi dimana manusia gagal mengalami perkembangan secara sempurna
konsep cinta ibu atau cinta ayah. Mereka mengembangkan cinta tidak secara
seimbang, seringkali cinta ayah yang lebih besar dibanding cinta ibu ataukah
sebaliknya. Kondisi ini akan menghambat seseorang untuk memasuki fase
kedewasaan dalam cinta.
Kedewasaan dalam masalah cinta
ditunjukkan dengan keberhasilan untuk mengharmonisasi kehadiran cinta ibu yang
dibangun diatas landasan hati nurani dengan cinta ayah yang dibangun diatas
landasan akal budi. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita harus menunjukkan
diri bahwa kita menjadi duplikat ibu sekaligus ayah dalam hal percintaan,
melainkan model cinta dari keduanya mampu mengilhami kita dalam membangun
cinta.
Ilustrasi dicomot dari http://danikaizen.blogspot.com
nice post mas :)
BalasHapusterima kasih sudah mampir :)
BalasHapuswacana yang bagus,....
BalasHapus