[09.01.2012] Pembicaraan mengenai relasi antara perempuan dan laki-laki, merupakan
bahan pembicaraan yang tidak pernah basi dan tidak akan pernah basi. Mulai dari
zaman batu sampai zaman cybernetic, perbincangan seputar wacana ini
tetap marak. Hal ini mungkin karena wacana ini mencoba mendedahkan sebuah
masalah mendasar dari sebuah masyarakat. Masalah mendasar itu adalah relasi
sosial yang membangun sebuah struktur masyarakat.
ilustrasi dicomot dari http://rahimimajinasi.wordpress.com/page/2/
Sebagai sebuah wacana, maka wacana seputar relasi gender ini juga tidak
lepas dari sifat-sifat wacana secara umum. Seperti yang digambarkan oleh
Foucault, bahwa sebuah wacana merupakan bangunan dari berbagai praktek
regulatif, praktek regulatif yang dimaksud adalah aturan, korelasi, posisi,
fungsi dan transformasi sosial yang melingkupi dan mewadahi sebuah bangunan
pernyataan di paparkan.
Karena wacana tidak pernah netral (malah selalu mengindikasikan
adanya kuasa yang bekerja di baliknya), maka dalam perjalanannya sebagai
wacana, relasi gender juga telah melahirkan berbagai macam teori yang mencoba
menjelaskan secara gamblang masalah ini, dan yang paling mutakhir sekarang ini
adalah teori feminisme.
Secara sederhana, teori ini menganalisis bahwa telah terjadi
ketidakadilan gender yang diderita oleh salah satu pihak (dalam hal ini
pihak perempuan) atas struktur sosial yang ada --yang meliputi bangunan
ekonomi, kultur dan teologis. Pembicaran ini tidak akan mencoba mengulas
seperti apa cara dan mekanisme kerja dari ketiga struktur sosial tersebut.
Tulisan ini akan mencoba melihat apakah memang benar bahwa struktur
ekonomi, kultur dan teologi benar-benar merugikan perempuan atau tidak,
sebagaimana yang dianalisa oleh kaum feminis. Dan untuk menganalisis itu, maka
tulisan ini akan mencoba menggunakan kerangka kerja analisa wacana kritis
dengan pendekatan kognisi sosial.
Secara sederhana, analisa wacana kritis dengan pendekatan kognisi sosial,
memandang wacana sebagai sebuah praktek sosial, jadi ada semacam hubungan
dialektis antara sebuah sebuah praktek diskursif tersebut dengan identitas dan
relasi sosial. Atau dengan ringkas dapat dikatakan bahwa sebuah bangunan wacana
seharusnya merupakan representasi dari
kognisi sosial masyarakat.
Namun bagaimanapun juga, kami yang lelaki masih lebih beruntungmereka-reka yang tampak, sementara anak-anak perempuancukup dibuat penasaran karena tak melihat apa gerangan yang hendak di duga.Anak lelaki begitu bebas menentukan langkah kaki!Hanya perempuan yang senantiasa bernama penantian.(Raudal Tanjung Banua)
Demikian pula pernyataan yang dikemukakan oleh Raudal Tanjung Banua
yang dikutip di atas. Pernyataan itu merupakan sebuah bangunan wacana yang
mencoba mewakili kognisi sosial masyarakat dimana Raudal tanjung Banua
mengungkapkan pernyataan itu. Namun ini tidak berarti bahwa pernyataan ini
secara otomatis menjadi penjelas yang sahih bahwa masyarakat dimana Raudal
Tanjung banua berada sangat tidak adil terhadap perempuan.
Hal ini karena, hubungan yang terbangun antara sebuah wacana sebagai
sebuah praktek diskursif dengan identitas dan relasi sosial yang merupakan
bangunan kognisi sosial selalu dan senantiasa mengalami dialektika dinamis,
sehingga bisa saja sebuah masyarakat memahami sebuah wacana dengan pemahaman
yang menggunakan logika terbalik. Jadi mereka sesungguhnya menerima sesuatu
yang bertentangan, bahkan bertolak belakang dengan yang diungkapkan lewat
pernyataan-pernyataan yang dikemukakan.
Kalau pernyataan yang dikemukakan oleh Raudal Tanjung Banua coba kita
analisis dengan perspektif feminisme, maka akan kita temukan sebuah ketimpangan
yang sangat akut, di mana sebuah tuduhan keras dilontarkan dengan mengatakan
bahwa “hanya perempuan yang senantiasa bernama penantian”. Sementara itu
laki-laki kemudian ditempatkan menjadi orang yang bebas merdeka untuk melakukan
apa-apa “anak lelaki begitu bebas menentukan langkah kaki!”. Sebuah
pernyataan yang secara selintas memang sangat patriarkhi, dan sistem patriarkhi
sangat merugikan perempuan.
Namun ada sebuah pertanyaan kritis yang juga patut dikemukakan terhadap
kesimpulan ini, apakah memang benar bahwa secara kognitif semua masyarakat
menyimpulkan seperti itu? Tampaknya kesimpulan ini merupakan sebuah kesimpulan
yang agak gegabah dan terburu-buru serta terlalu menyederhanakan dan overgeneralized
dalam menganalisis sebuah masalah.
Ternyata dalam kehidupan nyata, akan kita temukan betapa banyak anggota
masyarakat yang secara sadar untuk menerima sebuah relasi gender yang dikatakan
patriarkhi ini, termasuk kaum perempuan yang mengerti dan faham akan wacana
feminisme. Begitupun juga dengan kaum laki-laki, adalah sebuah kesalahkaprahan
besar, kalau terjadi generalisasi bahwa laki-laki menikmati sistem patriarkhi
ini, justru sebaliknya, karena ternyata ada juga kaum lalaki yang merasa
dirugikan bahkan tertekan dengan struktur masyarakat yang sangat patriarkhi
itu.
Taruhlah misalnya kalau kita kembali mencermati pernyataan Raudal
Tanjung Banua “kami yang lelaki masih lebih beruntung mereka-reka yang
tampak”. Apakah memang benar bahwa lelaki akan beruntung kalau mereka mampu
mereka-reka yang tampak, dan perempuan hanya tergantung pada hasil rekaan
lelaki? Justru sebaliknya, ternyata ada kaum lelaki yang menganggap bahwa
struktur sosial ini sangat tidak adil terhadap mereka, mengapa harus lelaki
yang diwajibkan menjelaskan realitas? ini sebuah beban berat yangseharusnya di
tanggung bersama oleh semua pihak (baik laki-laki maupun perempuan).
Juga pernyataan Raudal Tanjung Banua bahwa “hanya perempuan yang
senatiasa bernama penantian” ini juga merupakan ketidakadilan, mengapa
hanya perempuan yang punya hak untuk menanti, mengapa laki-laki tidak diizinkan
untuk menanti? Padahal penantian merupakan sebuah posisi yang sangat mulia.
Bahkan Ali Syari’ati menegaskan bahwa masyarakat yang akan menjadi pemenang
sejarah adalah masyarakat yang senantiasa menanti dan memiliki pengharapan,
sebuah masyarakat yang memiliki konsep intizhar.
Penantian menuntut kepasrahan total, kesabaran dan kesetiaan. Di dalam
penantian tercermin sebuah proses kreatif untuk membangun sebuah optimisme
tanpa batas dimana do’a-do’a dan karya bermekaran. Penantian merupakan sebuah
ranah yang begitu luas dan dalam dimana kita bisa menggali kesederhanaan dan
kebijaksanaan tentang betapa berartinya sebuah pengharapan.
Memang kalau dipandang dari sudut pandang Feminisme, akan terpampang
sebuah ketidakadilan yang begitu dalam karena analisis ini bekerja dalam
kerangka oposisi biner yang membagi dunia dalam polaritas yang berhadap-hadapan
secara struktural, sehingga antara penanti dan yang dinanti terbangun hubungan
sruktural yang saling mensubordinasi antara satu dengan yang lain. Yang dinanti
kemudian mendeterminasi para penanti-nya. Sungguh tragis.
Padahal yang paling tepat sebenarnya adalah bagaimana masing-masing
pihak (baik laki-laki maupun perempuan) menyadari bahwa posisi yang satu
tidak lebih baik di banding yang lain. Justru sebaliknya, keduanya merupakan
sebuah posisi yang memungkinkan muncul dan bekerjanya energi kreatif untuk
saling mendekati, melengkapi dan menyempurnakan.
Tullisan lama, 04-01-1424 H
Saat ini ku juga lagi nunggu s'orang :)
BalasHapusmasya Allah....
BalasHapus