Kurang dari
dua puluh empat jam, dua kali aku menonton sebuah film yang bisa membuatku tertawa
renyah, namun juga bisa menangkap pesan moral yang kuat dan berbasis ajaran Islam
yang syamil. Betapa tidak, meski dari enam orang pemeran utamanya, tiga di
antaranya perempuan dengan jilbab yang lumayan besar, bahkan salah seorang
mengenakan cadar, tapi mampu menampilkan wajah Islam yang ramah, dan toleran.
Tadi pagi
sebelum jumatan, aku menontonya pertama kali via portal berbagi video dalam
jaringan. Menonton yang kedua kalinya kulakukan seusai taraweh, sambil mengetik
kata demi kata dalam tulisan ini. Jadi, kadang film-nya yang ku-pause untuk mengambil kesempatan
menorehkan kata, biasa pula menulisnya yang kuhentikan lalu fokus menatap
jalannya kisah dalam film.
Setidaknya
ada tiga tema menarik yang diselesaikan secara sederhana melalui percakapan
antar tokoh, namun jauh dari kesan simplistis. Isu itu adalah soal ekslusivitas
hak masuk surga, cara pandang terhadap cadar, dan cara pandang Islam terhadap
homoseksual. Coba perhatikan, isu-isu ini terasa sensitif di kalangan Islam,
terutama Islam puritan, kan?
Sampai di
sini, aku belum akan membocorkan judul, nama pemeran, serta pihak yang merilis
film ini, mungkin di tulisan berikutnya akan aku terakan semua itu. Pada tulisan
ini, aku hanya akan mengisahkan ulang ketiga tema di atas, dengan beberapa
catatan tambahan dari perspektifku secara pribadi. Ya, semacam reviu sekecil-kecilan
pada sisi cerita dan nilai yang bergerak di balik film ini.
Pertama, cara pandang terhadap cadar atau
sering pula dinamai purdah. Pembicaraan soal cadar menjadi hangat beberapa
waktu terakhir sebagai akibat merebaknya tindakan teror yang ditengarai
digerakkan oleh kaum agamawan yang punya cara pandang ekstrimis. Film ini mampu
menggambarkan bagaimana pemakaian cadar sebagai sikap keberagamaan yang
mendasar (fundamental) dan mengakar (radikal) tidak identik dengan ekstrimitas.
Pada satu
bagian scene, si perempuan bercadar melontar tanya kepada lima orang temannya
mengenai pandangan mereka terhadap orang bercadar, bahkan membandingkannya
dengan perempuan berbikini. Perempuan bercadar itu resah, mengapa masyarakat
lebih mudah menerima perempuan yang hanya mengenakan bikini dibanding mereka
yang melengkapi busananya dengan purdah.
Seorang
kawannya yang hafiz menjawab bahwa mengenal seseorang itu butuh untuk melihat
mukanya, lagian cadar itu tak wajib. Seorang lagi yang baru saja hijrah
mengatakan itu hak meski dia tak mewajibkan. Dua orang akhwat sepakat
mengatakan tak usah bercadar, biar tak jadi pusat perhatian. Beragam jawaban
itu menunjukkan bahwa film itu berusaha membuka cakrawala penonton soal betapa
kayanya perspektif dalam berislam.
Nilai film
menjadi terang saat tokoh utama yang menjadi jangkar sepanjang cerita film itu
bergulir angkat bicara, “Mau perempuan bercadar atau perempuan berbikini, itu
sama saja. Tugas lelaki bukan memberikan penilaian, tapi menundukkan pandangan.[1]” Wow, kalimat yang keren,
bukan? Lepas dari kesan menghakimi orang lain, namun lebih fokus pada bagaimana
senantiasa menilai diri, bukankah itu yang memang diperintahkan agama[2]?
Kedua, ekslusivitas hak masuk surga bagi muslim. Tema
lain setelah soal cadar yang mengemuka dalam film ini adalah boleh tidaknya penganut
agama selain Islam masuk surga. Si perempuan bercadar memilih sikap ekslusif,
bahwa ibarat orang kuliah, secerdas apapun dia bila tak pernah mendaftar di
kampus, tak mungkin jadi mahasiswa. Si hafiz konsisten untuk lebih liberal,
bahwa surga bukan hak ekslusif muslim.
Kali ini
dua orang tokoh utama akhwat berbeda pendapat, meski tak bertolak belakang. Yang
satu melontar tanya soal kemungkinan orang yang banyak amal jariah seperti
penemu telepon harus masuk neraka hanya karena bukan muslim. Akhwat yang satu
lagi sesuai ciri khasnya yang cerdas mengutip ayat al Quran soal shabiin[3], dilengkapi dengan perbedaan
tafsiran dari kalangan ulama.
Lagi-lagi
si tokoh utama hadir menjelaskan keberpihakan film pada nilai tertentu:
pluralitas kebenaran dan jalan keselamatan, meski memang terkesan apologetik. Menurutnya,
daripada menghabiskan waktu memperdebatkan hak orang-orang masuk surga, mending
memastikan diri sendiri apakah layak masuk surga atau tidak. Memang tak
menyelesaikan masalah, tapi terkesan menghindar.
Ketiga, pandangan tentang hoomoseksual. Film ini
memposisikan homoseksual bukanlah sesuatu yang salah dan penyakit menjijikkan. Ianya
adalah ujian dari Tuhan yang harus bisa dihadapi dan diatasi oleh mereka yang
kuat. Menariknya, justru tokoh utama yang dijadikan sebagai pihak yang memiliki
orientasi seksual yang berbeda, dan dia berkomitmen untuk berusaha menjadi
lebih baik.
Yang membuat
kisah ini menjadi lebih kuat karena si tokoh utama sendiri yang menjelaskan
orientasi seksualnya itu. Ditambah dengan komitmen salah seorang tokoh utama
perempuan yang siap menikah dengannya dan bersedia untuk membantunya serta menguatkan
dia dalam menghadapi ujian itu. Meski pada saat yang sama, teman-temannya yang
lain memilih menjauh.
Film ini
tidak secara serampangan menghakimi kaum homoseksual, meski sikap itu tetap
mengemuka dari salah satu tokoh di film yang baru saja hijrah. Sementara si
perempuan bercadar meski tak menyalahkan, tetap saja kaget. Lalu si hafiz
malah memanfaatkan situasi itu secara pragmatis, meski sesungguhnya dia tak
menyoal homoseksualitas sebagai sesuatu yang menyimpang dan harus dikucilkan.
Masih banyak
tema lain yang menarik untuk didiskusikan dalam film ini, seperti interpretasi
atas fungsi kekhalifaan yang sungguh keren, soal petshop dan larangan
memperjualbelikan kucing, soal patah hati, ustaz seleb, dan lain-lain. Sengaja tak
semua dituliskan pada warita ini, biar ada bahan untuk tulisan selanjutnya. Juga
agar pembaca penasaran dan mencari tahu itu film apa dan lalu menontonya.
3 Ramadan
1439 H / 18 Mei 2018 M
[1] Pandangan ini mengacu pada perintah
Allah dalam al Quran surah An Nur (24) ayat 30
[2] Daripada menilai dan menghakimi orang
lain, al Quran malah menganjurkan agar setiap diri menghakimi dan menilai
dirinya sendiri, seperti disebut dalam surah al Hasyr (59) ayat 18
[3] Mengacu ke al Quran surah al Baqarah
(2) ayat 62.
Tags:
Refleksi