03. (Serupa) Reviu Film yang Tanggung

Kurang dari dua puluh empat jam, dua kali aku menonton sebuah film yang bisa membuatku tertawa renyah, namun juga bisa menangkap pesan moral yang kuat dan berbasis ajaran Islam yang syamil. Betapa tidak, meski dari enam orang pemeran utamanya, tiga di antaranya perempuan dengan jilbab yang lumayan besar, bahkan salah seorang mengenakan cadar, tapi mampu menampilkan wajah Islam yang ramah, dan toleran.

Tadi pagi sebelum jumatan, aku menontonya pertama kali via portal berbagi video dalam jaringan. Menonton yang kedua kalinya kulakukan seusai taraweh, sambil mengetik kata demi kata dalam tulisan ini. Jadi, kadang film-nya yang ku-pause untuk mengambil kesempatan menorehkan kata, biasa pula menulisnya yang kuhentikan lalu fokus menatap jalannya kisah dalam film.

Setidaknya ada tiga tema menarik yang diselesaikan secara sederhana melalui percakapan antar tokoh, namun jauh dari kesan simplistis. Isu itu adalah soal ekslusivitas hak masuk surga, cara pandang terhadap cadar, dan cara pandang Islam terhadap homoseksual. Coba perhatikan, isu-isu ini terasa sensitif di kalangan Islam, terutama Islam puritan, kan?

Sampai di sini, aku belum akan membocorkan judul, nama pemeran, serta pihak yang merilis film ini, mungkin di tulisan berikutnya akan aku terakan semua itu. Pada tulisan ini, aku hanya akan mengisahkan ulang ketiga tema di atas, dengan beberapa catatan tambahan dari perspektifku secara pribadi. Ya, semacam reviu sekecil-kecilan pada sisi cerita dan nilai yang bergerak di balik film ini.

Pertama, cara pandang terhadap cadar atau sering pula dinamai purdah. Pembicaraan soal cadar menjadi hangat beberapa waktu terakhir sebagai akibat merebaknya tindakan teror yang ditengarai digerakkan oleh kaum agamawan yang punya cara pandang ekstrimis. Film ini mampu menggambarkan bagaimana pemakaian cadar sebagai sikap keberagamaan yang mendasar (fundamental) dan mengakar (radikal) tidak identik dengan ekstrimitas.

Pada satu bagian scene, si perempuan bercadar melontar tanya kepada lima orang temannya mengenai pandangan mereka terhadap orang bercadar, bahkan membandingkannya dengan perempuan berbikini. Perempuan bercadar itu resah, mengapa masyarakat lebih mudah menerima perempuan yang hanya mengenakan bikini dibanding mereka yang melengkapi busananya dengan purdah.

Seorang kawannya yang hafiz menjawab bahwa mengenal seseorang itu butuh untuk melihat mukanya, lagian cadar itu tak wajib. Seorang lagi yang baru saja hijrah mengatakan itu hak meski dia tak mewajibkan. Dua orang akhwat sepakat mengatakan tak usah bercadar, biar tak jadi pusat perhatian. Beragam jawaban itu menunjukkan bahwa film itu berusaha membuka cakrawala penonton soal betapa kayanya perspektif dalam berislam.

Nilai film menjadi terang saat tokoh utama yang menjadi jangkar sepanjang cerita film itu bergulir angkat bicara, “Mau perempuan bercadar atau perempuan berbikini, itu sama saja. Tugas lelaki bukan memberikan penilaian, tapi menundukkan pandangan.[1]” Wow, kalimat yang keren, bukan? Lepas dari kesan menghakimi orang lain, namun lebih fokus pada bagaimana senantiasa menilai diri, bukankah itu yang memang diperintahkan agama[2]?

Kedua, ekslusivitas hak masuk surga bagi muslim. Tema lain setelah soal cadar yang mengemuka dalam film ini adalah boleh tidaknya penganut agama selain Islam masuk surga. Si perempuan bercadar memilih sikap ekslusif, bahwa ibarat orang kuliah, secerdas apapun dia bila tak pernah mendaftar di kampus, tak mungkin jadi mahasiswa. Si hafiz konsisten untuk lebih liberal, bahwa surga bukan hak ekslusif muslim.

Kali ini dua orang tokoh utama akhwat berbeda pendapat, meski tak bertolak belakang. Yang satu melontar tanya soal kemungkinan orang yang banyak amal jariah seperti penemu telepon harus masuk neraka hanya karena bukan muslim. Akhwat yang satu lagi sesuai ciri khasnya yang cerdas mengutip ayat al Quran soal shabiin[3], dilengkapi dengan perbedaan tafsiran dari kalangan ulama.

Lagi-lagi si tokoh utama hadir menjelaskan keberpihakan film pada nilai tertentu: pluralitas kebenaran dan jalan keselamatan, meski memang terkesan apologetik. Menurutnya, daripada menghabiskan waktu memperdebatkan hak orang-orang masuk surga, mending memastikan diri sendiri apakah layak masuk surga atau tidak. Memang tak menyelesaikan masalah, tapi terkesan menghindar.

Ketiga, pandangan tentang hoomoseksual. Film ini memposisikan homoseksual bukanlah sesuatu yang salah dan penyakit menjijikkan. Ianya adalah ujian dari Tuhan yang harus bisa dihadapi dan diatasi oleh mereka yang kuat. Menariknya, justru tokoh utama yang dijadikan sebagai pihak yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, dan dia berkomitmen untuk berusaha menjadi lebih baik.

Yang membuat kisah ini menjadi lebih kuat karena si tokoh utama sendiri yang menjelaskan orientasi seksualnya itu. Ditambah dengan komitmen salah seorang tokoh utama perempuan yang siap menikah dengannya dan bersedia untuk membantunya serta menguatkan dia dalam menghadapi ujian itu. Meski pada saat yang sama, teman-temannya yang lain memilih menjauh.

Film ini tidak secara serampangan menghakimi kaum homoseksual, meski sikap itu tetap mengemuka dari salah satu tokoh di film yang baru saja hijrah. Sementara si perempuan bercadar meski tak menyalahkan, tetap saja kaget. Lalu si hafiz malah memanfaatkan situasi itu secara pragmatis, meski sesungguhnya dia tak menyoal homoseksualitas sebagai sesuatu yang menyimpang dan harus dikucilkan.

Masih banyak tema lain yang menarik untuk didiskusikan dalam film ini, seperti interpretasi atas fungsi kekhalifaan yang sungguh keren, soal petshop dan larangan memperjualbelikan kucing, soal patah hati, ustaz seleb, dan lain-lain. Sengaja tak semua dituliskan pada warita ini, biar ada bahan untuk tulisan selanjutnya. Juga agar pembaca penasaran dan mencari tahu itu film apa dan lalu menontonya.

3 Ramadan 1439 H / 18 Mei 2018 M



[1] Pandangan ini mengacu pada perintah Allah dalam al Quran surah An Nur (24) ayat 30
[2] Daripada menilai dan menghakimi orang lain, al Quran malah menganjurkan agar setiap diri menghakimi dan menilai dirinya sendiri, seperti disebut dalam surah al Hasyr (59) ayat 18
[3] Mengacu ke al Quran surah al Baqarah (2) ayat 62.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama