Hikayat Sang Unyu

[06.01.2012] Ternyata, sepenggal kata bisa membuat seseorang menjadi uring-uringan, bahkan sampai galau, segalau-galaunya. Seperti yang aku alami sejak dari kemarin pagi, aku bergalau ria hanya karena sepenggal kata, unyu. Kata singkat yang hanya terdiri dari empat huruf dengan arti yang tidak kufahami. Tapi justru di sinilah masalahnya, aku menjadi penasaran dengan ketidakfahamanku akan artinya.

Sampai hari ini, saat catatan ini aku buat, aku merasa ‘terhantui’ oleh kata unyu, aku merasa suasananya menjadi unyu sekali. Berawal dari sebuah status di akun facebook bang Binhad Nurrohmat,
Tik-tik-tik bunyi unyu di atas genting
Unyunya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun unyu semua...

Mahluk apa sih unyu itu? Saya langsung menanyakan masalah ini pada Kakek Segala Tahu, Opa Google yang awet muda dan kian ciamik. Dari sekian banyak tautan yang muncul, tak ada yang bisa memberi alasan memuaskan buatku. Tautan yang muncul memang menunjukkan bahwa kata ini sudah sangat umum digunakan dengan arti yang tak jelas, bahkan diperbincangkan tentang asal usulnya menjadi tautan yang cukup dominan.

Salah satu tulisan yang membuat kontroversi kian hangat adalah tulisan bertanggal 16 september 2010 yang berjudul Sejarah Asli  TentangKata “UNYU” (Awal dan Sampai Tenar), di akhir tulisan ada tambahan catatan Ditulis oleh Desy Putri Wulandari [via deiisidefa] dengan tautan ke blog pribadi Desy Putri Wulandari.

Untuk tidak menghamburkan penasaran dengan rasa penasaran, langsung aku kunjungi blog dimaksud, dan alhmadulillah tenyata ternyata blog ini sudah tidak aktif. Dalam postingan blog http://uniqpost.com tertulis,
“UNYU” kata yang sangat populer di jejaring sosial “TWITTER” sampai sekarang banyak orang yang SOK tau tentang arti kata UNYU. Mereka bilang UNYU itu sok tau, sok imut, belagu, alay dsb. Padahal UNYU itu berawal dari saya yang membuat account TWITTER dengan user name @deiisy_unyunyuu.
Setahun yang lalu saat saya masih duduk di kelas 3 SMA, kata-kata unyu itu sering saya gunakan untuk iseng-iseng saja, contohnya;
“echy kamu kok lucu sihhh?” aku jawabnya dengan “unyuu masa sih?”
kalo ada hal-hal yang lucu atau menggemaskan pasti saya bilang “unyuu (sekilas) banget sih itu orang”
kalo lagi kesel juga sering saya bilang “unyu”
UNYU secara tidak langsung itu menjalar jadi kebiasaan di diri saya, sedikit-sedikit UNYU, apa-apa UNYU, sampe teman-teman saya memanggil saya dengan sebutan UNYU/NYU.
Tidak mengandung arti apa-apa selain hanya lucu-lucuan saja, tapi kenapa sih orang-orang itu menganggap kata unyu itu alay,sok imut,sok tau dan berbagai macam arti UNYU. Kenapa kata UNYU menjadi tenar??

Tenyata, menurut tulisan tersebut, kata unyu dipopulerkan –kalau tidak ingin mengataan ditemukan, oleh seseorang yang bernama Desy Putri Wulandari, bahkan kata unyu sudah dijadikan sebagai nama sebuah akun twitter miliknya, @deiisy_unyunyuu. Alamat ini sih belum sempat aku cek apakah aktif atau tidak.

Sebagai sebuah penanda, unyu menjadi sebuah kata yang berselancar bebas dan merdeka serta menyempurnakan dirinya dalam belukar bahasa. Unyu berkelana mencari petandanya sendiri dalam belantara Langage. Saya menjadi teringat pakem Saussurean bahwa antara penanda dan petanda ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan –meskipun terhubung dengan prinsip arbitrer atau ‘mana suka’.

Hubungan unyu dengan para pengguna dan pihak yang mengklaim sebagai pencipta istilah ini, juga mengantarkan saya pada si nyentrik Roland Barthes yang menfatwakan ‘kematian pengarang’. Bagi barthes, sebuah teks yang telah lahir dengan selamat, maka dia menjadi milik pembacanya. Interpretasi, makna dan petanda yang terkait dengannya, bukan lagi hak prerogatif si penulis untuk menentukannya, melainkan milik publik.

Jadi sekukuh apapun Desy Putri Wulandari mengajukan klaim atas istilah unyu ini, ikhtiar yang dilakukannya tidak lebih kuat dari pemaknaan yang dilakukan oleh orang lain. Unyu menjadi teks yang bukan lagi miliki siapa-siapa, dia menjadi barang publik yang bisa dikonsumsi oleh siapapun,.

Selain mengingatkanku dengan Saussure dan Barthes, unyu juga membuatku terkenang akan percah pemikiran Jean Baudrillard, tentang simulasi. Dalam magnum opus-nya, Simulations (1983), Baudrillard memperkenalkan sebuah pendekatan atas kebudayaan secara baru. Baginya, kebudayaan (barat) hari ini merupakan sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas.

Unyu, yang menjadi pokok bahasan kita mengalami nasib sebagaimana yang dijelaskan Baudrillard. Sebagai sebuah penanda, unyu terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, dan tanpa referensi relasional yang jelas sebagai petandanya. Bila situasi ini dipandang dengan analogi peta, dapat dikatakan bahwa peta hadir mendahului kenyataan geografis yang direpresentasikannya.

Inilah sebuah dunia simulakra, dunia yang tanpa asal usul, tanpa pijakan realitas tanpa dirinya sendiri. Bahkan dalam titik ekstrim, situasi dimana tidak lagi jelas yang mana penanda dan yang mana petanda, maka menjelmalah sebuah tanda yang kosong, pastis. Dunia menjadi penuh parodi, suatu “parodi kosong” atau “copy kosong” yang tidak memiliki arti apa-apa.

Demikianlah nasib Sang Unyu, dia menjadi penanda yang tak memiliki pijakan petanda apapun dan dimanapun, dia hadir sebagai salah satu aktor dalam sebuah pentas parodi, parodi yang melompong dan hampa makna. Sebuah pastis!


2 Komentar

Lebih baru Lebih lama