[06.02.2012] Hidup
ini memang aneh ya, banyak hal yang terjadi di luar perkiraan kita. Tapi itulah
hidup, penuh dengan misteri, dan justru itulah yang membuatnya menjadi nikmat
untuk dijalani. Bila hidup selalu berjalan sesuai perkiraan, maka tentu kita
akan merasa bosan menjalaninya, hidup berjalan datar dan tanpa nuansa.
Begitupun
dengan pilihanku menikahi Sitti Wahyuni Hafid, banyak kawan yang
berkomentar bahwa aku tak cocok dengannya. Bukan karena aku lebih baik darinya,
tapi karena karakter kami jauh berbeda. Lagian sebelum menikah, kami tidak
begitu akrab, jauh dari tingkat keakrabanku dengan beberapa perempuan yang menurut
kawan-kawanku lebih pas buatku.
Aku
begitu menikmati tenggelam dalam bacaan-bacaan ‘berat’, sementara dia lebih
memilih bacaan seputar resep makanan. Aku melibatkan diri dalam pergulatan
pemikiran-pemikiran baru bersama teman-temanku, dia malah lebih asyik
mempraktekkan resep masakan yang baru saja dia baca. Aku terkenal sebagai
pemurung, dia begitu riang. “Wah, dimana nyambungnya kalian?” Begitu komentar
kawan-kawan ketika kami memutuskan menikah.
Dengan
bermodalkan tekad dalam hati dan nekad dari nyali, kami memutuskan untuk melangkah
bersama. Kami percaya bahwa badai pasti berlalu, tinggal bagaimana mempersiapkan
diri agar tidak ikut berlalu seiring berlalunya badai, kami bersiap menghadapi
badai itu bersama.
Rabu
pagi, 06 Februari 2008 kami memutuskan untuk mengikat diri dalam simpul
pernikahan. Kuucapkan akad nikah dan ijab kabul di hadapan di tengah keluarga,
karib kerabat dan handai taulan. Sejak detik itu, kami menjalani hidup bersama,
hidup yang menyatukan begitu banyak nuansa perbedaan diantara kami, hidup yang menurut
kawan-kawan akan berat karena perbedaan yang ada.
Empat tahu
berlalu, tibalah kami di hari Senin, 06 Februari 2012. Memang masih teramat
singkat waktu yang kami jalani bersama untuk mengukur kemampuan kami
mendamaikan beragam perbedaan yang ada. Bahkan jalan hidup masih teramat panjang
terbentang di hadapan, dengan persoalan yang lebih beragam dan kompleksitas
masalah yang tak mungkin terhindarkan.
Tapi
yang pasti, waktu empat tahun telah membuka mata kami berdua bahwa hidup memang
tak sesederhana yang kami bayangkan, namun juga tidaklah sesulit yang dikhawatirkan
oleh mereka yang masih kesulitan memutuskan untuk menikah.
Empat
tahun telah memberi kami kesempatan untuk senantiasa berusaha menjadi sepasang
orang tua yang baik bagi Qonitah Wafiyah Tenri Bilang yang hadir saat
pernikahan kami menjelang setahun, 09 Desember 2008, dan adiknya, Mehdi
Qoidul Wafiq Tenri Pada yang lahir dua tahun kemudian, 15 Desember 2010. Kehadiran
mereka makin menyemarakkan kehidupan kami.
Empat
tahun juga mengajarkan kepada kami bahwa perbedaan yang kami ketahui sebelum
kami menikah belum apa-apa bila dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan di antara
kami yang kami sadari kemudian, setelah kami menjalani hidup bersama. Tapi
itulah misteri hidup, itu semua tak membuat kami menyerah, malah menjadi
amunisi bagi kami untuk menjalani hidup bersama yang lebih baik.
Istriku,
Sitti Wahyuni Hafid, yang lebih sering kusapa ‘Nona”, bukanlah
perempuan sempurna sebagaimana yang sering dibayangkan oleh para lelaki yang
mencari istri ideal. Nona hanya manusia biasa yang tak sempurna, kadang
marah, kadang ceroboh, kadang lupa, dan tak jarang membuat jengkel.
Jangan
juga berfikir bahwa karena dia hobi memasak, maka dia akan menjadi sempurna
atau minimal lebih baik di sisi ini. Tidak, kadang juga nasinya tidak matang secara
sempurna, ikan gorengnya gosong, atau mungkin sayurnya yang keasinan. Apalagi
kalau dia lagi memasak sambil menyuapi anaknya dengan bubur, maka bersiaplah
menikmati masakan dengan penuh kesabaran.
Tapi
jangan salah, justru karena kesilapan dan kekurangan seperti itulah, maka
kehidupan keluarga kami menjadi lebih manusiawi. Menghadapi situasi seperti
itu, kami lebih sering tertawa bahagia --menertawakan kekurangan kami, daripada
meratapinya. Semua itu mendorong kami untuk saling memaklumi kekurangan, dan berusaha
saling melengkapi keterbatasan.
Kadang juga,
aku harus menyeterika sendiri pakaian kerja, bahkan menyeterikakan pakaiannya
juga. Apalagi bila pagi saat pakaian belum diseterika, sementara anak-anak kami
masih ingin bermanja dengan ibunya di tempat tidur sehabis sholat subuh,
jadilah saya yang harus menyeterika.
Dalam
keseharian, keterbatasan dan kekurangan malah membuat hubungan kami menjadi
kian dekat, kami saling melengkapi. Kalau dia mencuci pakaian, aku yang
menjemurnya; kalau dia menyeterika, aku yang melipatnya; kadang juga aku
mengurus anak yang masih balita seharian ketika ada urusan yang harus
diselesaikannya. Peran-peran ini kami jalankan, dan kadang bertukaran.
Tapi
jangan untuk urusan masak-memasak, kami tak pernah bertukar peran dalam hal
ini. Keahlianku dalam memasak hanya untuk urusan mie instan, selebihnya
bersiaplah untuk kecewa. Setragis-tragisnya ikan gorengnya yang gosong, masih
lebih tragis kalau aku yang menggorengnya, ikan itu bakalan hancur lebur karena
adukan sodek. Terlebih kalau aku dipercaya memasak sayur, wah bisa-bisa irisan sayurnya
seperti makanan kelinci.
Kadang juga
dia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi kebiasaan burukku mengerjakan
pekerjaan di detik-detik terakhir, aku harus diingatkan berkali-kali olehnya.
Sering juga aku teledor untuk hal-hal kecil, apalagi untuk urusan memberi makan
anak, aktivitas yang paling sering membuatku merasa gagal sebagai ayah yang
baik. Aku kalah telaten darinya untuk urusan ini.
Situasi
semacam inilah yang membuatku kian sadar bahwa hidup itu --termasuk urusan
jodoh, benar-benar misteri. Perbedaan yang kami miliki malah membuat kami
kian berusaha saling memahami. Kekurangan-kekurangan kami menjadi tantangan
untuk saling melengkapi. Komentar-komentar kawan ketika kami memutuskan menikah
bahwa kami tidak cocok, menguap perlahan.
Tags:
Istri