[10.01.2012] Pilkada Takalar
sudah di depan mata, kalau tak ada aral melintang, perhelatan akbar demokrasi
yang dijamin dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta
perubahan keduanya melalui UU No, 12 Tahun 2008, akan digelar pada September
2012. Sisa delapan bulan lagi, masyarakat Takalar yang telah memenuhi syarat
akan menggunakan hak pilihnya.
Pilkada merupakan sarana
bagi masyarakat untuk menyalurkan haknya secara langsung dalam memilih peminpin
untuk masa lima tahun pemerintahan. Pesta demokrasi itu diharapkan mampu
melahirkan pemimpin daerah yang akan mengawal implementasi otonomi daerah dalam
rangka pencapaian tujuan otonomi daerah, mempercepat peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sebagai bagian dari proses politik yang
demokratis, pelaksanaan pilkada memuat harapan besar bagi masyarakat untuk
terlibat secara langsung dan aktif dalam proses politik yang sehat, benar, dan
bermartabat demi kebaikan bersama. Melalui pilkada, masyarakat menyalurkan
aspirasi politiknya secara bebas dan merdeka.
Secara sederhana,
politik dapat diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama. Teori yang mengemuka sejak dari zaman Plato dan Aristoteles
masih hidup ini sudah menjadi pemahaman klasik di dunia politik. Namun pun
demikian, defenisi ini merupakan pengertian yang paling pas untuk menggambarkan
apa itu politik secara sederhana.
Dari pemahaman tentang politik sebagai cara
untuk meraih kebaikan bersama, oleh Anthony Giddens (1998 : 44) disebut
sebagai model ‘politik emansipasi’. Model politik emansipasi
adalah model proses politik yang bergerak untuk mewujudkan substansi demokrasi;
kebebasan, kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Ini berarti bahwa para pelaku politik atau
politisi bekerja untuk mewujudkan itu semua dengan berusaha menyingkirkan
faktor-faktor yang menghambat terwujudnya masyarakat demokratis dan
berkeadilan. Sementara itu, mereka para politisi yang tidak menjalankan politik
sebagaimana pengertian ini, disebutnya sebagai model ‘politik kehidupan’.
Dewasa ini menurut Anthony Giddens, telah terjadi
pergeseran orientasi politik dari model politik emansipasi yang mengedepankan
perjuangan sosial dalam menghadapi ketidakadilan, ke arah politik kehidupan
yang lebih mengedepankan politik pilihan, identitas, dan hubungan antar
keduanya. Pergeseran ini oleh Nancy Fraser disebutnya pergeseran pada arah
politik dari ‘politik redistribusi’ menjadi ‘politik pengakuan diri
(recognition)’.
Politik redistribusi Fraser menggumankan bahwa
politik merupakan sarana untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan
bersama, sementara politik pengakuan diri lebih berwujud pada sikap pragmatis
para pelaku politik untuk mencari kemakmuran diri sendiri. Proses demokrasi
menjadi penuh dengan pelaku politik yang tak ubahnya para pencari keuntungan
sesaat.
Pergeseran ini terjadi di tengah masyarakat
kontemporer yang oleh Zigmunt Bauman (2005 : 1) disebutnya sebagai masyarakat
yang encer. Masyarakat didikte oleh perubahan maha cepat di tingkat permukaan –terutama
oleh industri media-- hingga terbentuk modus kehidupan sosial yang serba
individual, semata-mata berorientasi-diri, dan dangkal.
Proses politik dalam masyarakat yang encer tidak
lagi berorientasi emansipatif sebagaimana keinginan Giddens, juga jauh dari
kesan politik redistribusi versi Frazer. Politik dalam masyarakat yang encer
adalah juga politik yang encer, yang diisi oleh para politisi yang hanya
mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya dan kehilangan kedalaman.
Menurut Robertus Robert (2010 : 2), politik yang
encer ini adalah model politik kehilangan kepemimpinan karena para pelakunya
berubah menjadi “idola-idola” yang bekerja demi kepentingan personal
mereka ketimbang kepentingan publik. Dalam konteks pilkada, para politisi dalam
politik yang encer hanya sibuk bersolek di berbagai baliho yang tersebar di
persimpangan-persimpangan jalan dan lorong-lorong.
Keberadaan politisi jenis ini hanya berbentuk
kamuflatif, sebab mereka tak pernah benar-benar menjadi subyek politik yang
memperjuangkan terciptanya redistribusi keadilan dan kesejahteraan dengan
merata, melainkan hanya menjadi pihak mengambil keuntungan dengan memanipulasi
dukungan politik dari publik konstituennya.
Persitiwa politik menjadi acara ‘panen raya’ bagi setiap
mereka yang hanya menjadikannya sebagai sarana meraup keuntungan pribadi, ini
bisa terlihat pada tim-tim sukses yang menjamur ketika pilkada akan dihelat.
Inilah yang dijelaskan oleh Antonio Negri dan Michael Hardt melalui Robertus
Robert (2010 : 4) dengan mengatakan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam
proses ‘pencarian laba’ kapitalis –entah itu petani, nelayan, pegawai,
akademisi-- semuanya berpotensi memasuki hubungan eksploitatif.
Kondisi yang sangat tidak ideal dan jauh menyimpang
dari pengertian dasar politik itu sendiri sebagai sarana meraih kemakmuran
bersama, membuat Anthony Giddens, Antonio Negri dan Michael Hardt sampai
pada kesimpulan tentang matinya politik dan memudarnya peran aktif subyek
politik dalam mendorong perubahan sejarah.
Realitas pilkada hari ini memperlihatkan realitas matinya
politik karena politik telah gagal menjadi sarana mewujudkan
kebaikan bersama, dan peran subyek politik juga ikut memudar karena para
politisi –kandidat beserta tim suksesnya, hanya sibuk mencari popularitas
untuk mendongkrak elektabilitas. Ujung-ujungnya, mereka akan menunggangi
kekuasaan yang diraihnya untuk meraup apa yang disebut oleh Negri dan Hardt
sebagai laba kapitalis.
Dalam bahasa Alan Badiou manusia-manusia –para
pelaku politik itu, telah kehilangan ‘hasrat akan kebenaran’. Kebenaran
ikut tergerus akibat ditinggalkannya filsafat oleh para pelaku politik. Badiou
menjelaskan tentang tergerusnya empat sendi utama filsafat, oleh arus kehidupan
kontemporer. Keempat hal tersebut adalah revolusi, logika, universalitas, dan
momen risiko.
Revolusi sebagai hasrat yang inheren dalam filsafat
untuk senantiasa mendorong perbaikan dan pembaruan secara radikal, telah diserang
oleh imperium kebebasan dalam alam demokrasi. Individu dengan bebas menentukan pilihan
pada seorang calon kepala daerah, meskipun calon yang di dukungnya mungkin
tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin daerah ke arah yang
lebih baik.
Logika sebagai kerangka berfikir yang mengedepankan
akal budi dan rasionalitas, telah digerus oleh ketidaklogikan komunikasi –termasuk
komunikasi politik. Komunikasi politik yang nampak dalam proses pilkada
melalui kesan-kesan dan retorika yang dangkal –yang terlihat dalam tag line,
baliho, dan beragam peraga sosialisasi lainnya, telah mengendorkan setiap
relasi dan prinsip-prinsip.
Nilai-nilai universalitas telah tergusur oleh model
dunia yang kian terspesialisasi dan terfragmentasi. Tak lagi ada pijakan akan
mengemukanya nilai-nilai kebenaran universal, semua tergerus oleh kerangka fikir
yang sempit dan penuh pertimbangan subyektif yang susah ditemukan argumentasi
obyektifnya.
Momen risiko sebagai efek dari keberpihakan pada
kebenaran secara konsisten telah menjadi hampa, karena dunia kontemporer sudah
tidak lagi menghendaki komitmen pada sebuah keputusan secara konsisten, dunia
politik saat ini penuh dengan orang-orang yang mengedepankan kerangka kalkulasi
yang pragmatis.
Dunia politik sebagaimana tergambar dalam pilkada
Takalar, yang dihuni oleh manusia-manusia –para pelaku politik itu, yang
telah kehilangan ‘hasrat akan kebenaran’, oleh John Gray disebut sebagai
situasi ‘berakhirnya utopia’. Dunia yang tidak lagi memberikan harapan apa-apa
bagi masyarakat, kecuali menempatkan masyarakat sebagai korban dari pertarungan
para politisi yang haus kekuasaan.
Hilangnya politik emansipasi bersama dengan agen
politik yang menggerakkan perubahan telah mendorong Badiou –sebagaimana
dalam Robertus Robet (2010 : 192), mengusulkan bahwa dibutuhkan subyek yang
muncul dalam kaitannya dengan kebenaran. Subyek yang hanya menjadi subyek
apabila memiliki kesetiaan pada kebenaran. Kebenaran sendiri adalah kebenaran
yang muncul dari dalam event (kejadian).
Dengan demikian –menurut Badiou, subyek
menjadi subyek apabila ia memiliki militansi tertentu kepada kejadian. Zlavoj Zizek
(2002 : 272) dengan mengamini Badiou mengusulkan Lenin sebagai model, “Kebesaran
Lenin adalah bahwa sekalipun ia kekurangan aparatus konseptual yang memadai
untuk memikirkan kedua tataran ini secara bersamaan (ekonomi dan
politik—peny), ia sadar akan pentingnya berbuat demikian –tugas yang
perlu meski mustahil”.
Dalam Islam, subyek sebagaimana idealisasi Badiou
maupun Zizek telah dicontohkan oleh salah seorang cucu rasulullah Muhammad,
SAW., Imam Husain ra. dalam tragedi Karbala. Ketika itu, dalam perhitungan
matematis dan kalkulasi pragmatis, jumlah rombongan Imam Husain ra. sudah pasti
kalah dari pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad, namun hal
tersebut tidak membuat Imam Husain ra. mundur, beliau tetap bersetia pada
kebenaran, dan memilih syahid di ujung pedang musuhnya.
Subyek seperti inilah yang diharapkan akan mampu menjadikan pilkada
Takalar sebagai medium membangkitkan kembali politik emansipasi-nya Giddens, politik
redistribusi-nya Frazer, politik yang
difahami dan dijalani sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama. Semoga.
ilustrasi dicomot dari http://tribunnews.com
:)
BalasHapus