Ayahku, Surat, dan Tetangga

[09.10.2012] Masihkah kita terbiasa berkirim surat lewat pos? Tentu sebagian besar kita sudah jarang melakukannya, kecuali untuk surat-surat kedinasan tertentu yang memang diharuskan untuk dikirim menggunakan jasa pos. Kita akan merasa lebih efektif berkomunikasi via short massage system (SMS), blackberry massenger (BBM), whatsapp, cuitan di twitter, facebook, dan surat elektronik.

Masihkan kita bisa menulis surat dengan tulisan tangan? Dengan ‘tulisan indah’, tulisan dengan jalinan huruf yang saling merangkul dengan lekukan-lekukan yang begitu halus? Dengan kata-kata yang mendayu-dayu menyentuh kalbu? Tentu sebagian besar kita sudah terbiasa menulis pesan seperlunya. Di samping karena medium yang digunakan membatasi jumlah karakter pesan yang ingin disampaikan, juga karena kita merasa sudah bukan zamannya lagi bertukar informasi dengan bahasa yang berbunga-bunga.

Aku teringat era ketika masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, komunikasi dengan orang tua di kampung (Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone) aku lakukan melalui surat yang dititipkan pada sopir mobil angkutan umum. Malah aku jarang menggunakan jasa pos, sebab membutuhkan waktu yang lebih lama.

Begitu biaya hidup mulai menipis, aku mengambil secarik kertas dan kutulislah surat permintaan uang ke kampung. Buat ibunda yang tercinta... atau ...sembah sujud ananda..., atau ...dari ananda yang rindu”, frasa seperti itu adalah hal lumrah yang selalu menghiasi surat-suratku ke kampung. Terdengar klasik ya? Seperti kalimat-kalimat dalam roman Siti Nurbaya atau Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Tapi terkait dengan surat menyurat, yang paling aku ingat adalah para tetangga di kampung. Saban hari, ada saja tetangga yang mampir ke rumah minta dibuatkan surat untuk keluarganya –entah itu suami, istri, anak, atau orang tua, yang merantau ke Tawau, Malaysia Timur. Tak jarang, bahkan mnereka meminta dibuatkan surat dalam bahasa bugis dengan huruf lontara, berhubung mereka yang dituju surat tak mengerti huruf latin.

Ayahku yang seorang guru Madrasah Aliyah dengan senang hati melayani permintaan para tetangga. Aku yang kebagian membantu menyiapkan kertas dan alat tulis, serta melipat dan memasukkan surat ke dalam amplop, memanfaatkan untuk curi-curi kesempatan membaca surat yang telah dibuat. Kalimat-kalimat ..tatarimana iyyaE sure’ passEllE watakkalEku’...(seterima surat pengganti diriku) atau ...selleng uddani polE mai ri ana’ta’...(salam rindu dari ananda tercinta) atau maraja addampengnga’ mai indo’...(sungguh besar permohonan maafku, Ibu), tak pernah tergantikan.

Terkait dengan kebiasaan ayahku menulis surat untuk para tetangga, aku teringat dengan pulpen yang selalu aku siapkan untuk dipakai ayahku. Kalau tidak salah, sebuah pulpen buatan Cina dengan merek Hero. Pulpen yang sedikit gemuk itu, gagangnya ada yang berwarna hijau, hitam, atau merah tua dengan penjepit berwarna emas. Saban hari sebelum dipakai, bagian belakang pulpen itu kubuka untuk memeriksa tinta yang ada di dalam pipet sekaligus tempat menampung tinta.

Bila tintanya kurang, maka pipet tersebut kupencet kuat-kuat, lalu mata pena pulpen tersebut aku celupkan ke dalam botol tinta, setelah itu, pencetan kulepas perlahan agar tinda tersedot masuk ke dalam pipet.Hal itu kulakukan beberapa kali sampai tintanya benar-benar penuh.  Setelahnya tinggal membersihkan mata pena yang tadi tercelup, dan pulpen Hero itupun siap untuk digunakan.

Kembali ke persoalan surat tetangga, tugas ayahku belum berakhir di situ. Beliau masih kebagian tugas untuk mengantar surat tersebut ke kantor pos di Kota Kabupaten, Watampone. Jadi ketika berangkat ke tempat mengajar yang kebetulan memang di Watampone, ayahku selalu mampir ke kantor pos untuk  mengirim. Pun surat-surat untuk tetangga, juga dikirim menuju ayahku dengan menggunakan alamat madrasah tempatnya mengajar.

Begitu surat-surat untuk tetangga tiba, aku kebagian mengundang tetangga bersangkutan untuk mmapir ke rumah. Kenapa demikian? Karena mereka tidak tahu membaca, sehingga ayahku, dan seringkali aku, membacakan surat-surat tersebut. Momen membacakan surat untuk tetangga tersebut menjadi momen yang sangat berkesan.

Kadang aku ikut bersedih ketika isi suratnya memang menyayat hati. Tapi bukan cuma itu penyebabnya, tapi juga karena si empunya surat sudah menangis duluan mendengarkan kabar sedih itu kubacakan. Bila mendengar mereka sesenggukan, aku menghentikan sejenak aktivitas membacaku, menunggu tangisnya mereda atau menunggu instruksi mereka agar aku melanjutkan pembacaan.

Pada hari ini, 9 Oktober, hari yang disebut sebagai Hari Surat-Menyurat Internasional, aku mengenang kembali pengalamanku bersama surat, ayah dan tetangga-tetanggaku. Semoga momen ini bisa membuatku untuk tak pernah lupa bahwa menulis surat dan mengirimnya lewat pos pernah begitu berperan dalam mengisi kehidupan masa kecilku.

Ingatan ini membuatku rindu untuk kembali mengakrabi surat yang ditulis dengan pulpen, terutama surat-surat pribadi dengan kalimat yang mendayu-dayu, dan pilihan kata yang terdengar lebay. Ada yang berkenan mengirim surat untukku? Ada yang berkenan menerima suratku? Atau ada yang mau dibuatkan surat? Dalam bahasa bugis dan tulisan lontara? Ayo...

4 Komentar

  1. oh iyaaa...
    tu kan, saya jadi terinspirasi buat postingan soal berkirim surat.

    BalasHapus
  2. ayo menulis....

    surat-suratan yuk :)

    BalasHapus
  3. aku mau.. berkirim surat, yuk kak.. bahkan ketika cinta atau mehdi atau adiknya sudah mengenal literasi, aku mau kok jadi sahabat penanya.. ^^
    bahkan pada kedua orang tuanya yg sgt menakjubkan...
    krimi alamatnya Pak.. I'll try to send my letter, but you have to teach me how to say that in Bugisnesse...

    BalasHapus
  4. Ukhti T-Nee
    Ayo berkirim surat...

    kirim ke alamat:
    Jl. Sultan HAsanuddin No. 171 Takalar

    ditunggu ya
    persoalan bahasa bugis, nanti saya jelaskan lewat surat balasan :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama