[22/12/2012] ‘Diep op den bodem van de ziel van iedere
wrouw leeft de wens naar liefde en moederschap’. Kalimat yang diucapkan
pertama kali oleh Henriette Roland Holst ini aku temukan dalam halaman 79 buku
tulisan Ir. Soekarno yang berjudul Sarinah (1963).
Oleh Bung Karno, kalimat tersebut diterjemahkan ‘Di dalam djiwa tiap-tiap
wanita jang sedalam-dalamnja, bersemajam keinginan kepada tjinta dan keibuan’.
Aku
membaca buku tersebut di saat Indonesia sedang ramai merayakan Hari Ibu yang
jatuh pada tanggal 22 desember setiap tahun. Mengenai Hari Ibu ini, aku
bertanya-tanya dalam hati, ibu seperti apakah yang dimaksud oleh perayaan ini?
Idealisasi ibu macam bagaimana yang menjadi model ritual ini?
Karena
banyaknya tanya yang menggumpal di kepada, aku mencoba mencari tahu asal-usul
munculnya momentum itu. Setelah membongkar-bongkar bacaan, menjelajahi
halaman-halaman buku, mengintip ke laman-laman internet aku temukan bahwa
penetapa 22 desember sebagai Hari Ibu berkaitan erat dengan organisasi
perempuan yang berdiri pada tahun 1928 di Yogyakarta, Persatoean Perempoean
Indonesia (PPI).
Persatoean
Perempoean Indonesia (PPI) lahir dari Kongres Perempuan Indonesia tingkat
nasional yang pertama kali diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Desember
1928. Kongres yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan ini merupakan
fondasi pertama gerakan perempuan sekaligus sebagai upaya konsolidasi dari
berbagai organisasi perempuan yang ada.
Penetapan
22 desember sebagai Hari Ibu dilakukan pada Kongres Perempuan Indonesia yang
ketiga di Bandung pada tanggal 23 – 28 Juli 1938. Penetapan ini kemudian
ditetapkan menjadi perayaan nasional melalui Dekrit Presiden Sukarno No. 316
tahun 1959.
Menyambut
momentum ini, di hampir semua kesempatan dan media, baik cetak, elektronik,
maupun di jejaring sosial dunia maya, berjubel ucapan selamat Hari Ibu yang
dilengkapi dengan pernak-pernik yang berbau ibu, lebih tepanya lagi berbau
domestifikasi peran perempuan.
Ada
semacam salah kaprah di sebagian kita yang menyambut hari ibu dengan mengagung-agungkan
peran domestik seorang perempuan. Padahal, semangat dirayakannya Hari Ibu
adalah kehendak untuk membangun kesetaraan dan kesejajaran antara kaum lelaki
dan kamu perempuan.
Melihat
ini, aku terkenang akan ibuku –yang
kusapa ma(m)mi. Ibu yang mengajariku untuk berani bersikap kritis dan tak
larut dalam arus mayoritas. Ibu yang tak hanya faham tentang tetek-bengek
urusan dapur, sumur dan kasur, melainkan bergelut dalam arus pemikiran yang
lebih luas.
Saya
ingat betul ketika saya pertama kali mendapatkan kesempatan mengikuti Pemilihan
Umum tahun 1997. Ibuku mengingatkan, “dalam menentukan pilihan, jangan
terpengaruh dengan tekanan apapun, memilihlah berdasarkan kesadaranmu sendiri. Kau
sudah mahasiswa, tentu tahu mana yang baik, mana yang buruk.”
Pada kesempatan
tersebut, aku baru tahu bahwa ternyata, meskipun sudah berstatus sebagai seorang
guru negeri, ibuku tak pernah sekalipun memilih Golkar dalam pemilu. Padahal sebagai
pegawai negeri sipil, menjadi anggota Golkar adalah sebuah kewajiban. Ibuku
selalu mempunyai pilihan lain.
Mungkin
ibuku tak faham dengan teori perubahan, atau falsafah gerakan, dan semacamnya,
tapi sikap ibuku setidaknya telah menunjukkan sebentuk keberanian seorang
perempuan untuk bersikap terhadap sesuatu yang keluar dari sentrum dapur, sumur
dan kasur.
Memang
apa yang dilakukan oleh ibuku tidaklah serevolusioner R.A. Kartini, atau yang
lainnya. Tapi bagiku, sikap ibuku yang menolak tunduk dan memilih partai
penguasa –bahkan sangat berkuasa-- dalam
sebuah pemilihan umum adalah sebentuk sikap revolusioner yang telah turut
membentuk sikapku.
Hari ini,
saya tak sempat pulang kampung untuk menemui ibuku dan mengecup punggung
tangannya sambil mengucapkan Selamat Hari Ibu, maka aku menyapanya melalui
tulisan singkat ini. Mungkin ibuku juga tak sempat membaca tulisan ini, tapi
saya yakin, akan ada ibu yang membacanya.
Dalam
Sarinah (1963 : 247), Ir. Soekarno menulis, Manakala La Passionaria (Doloros Ibarouri) di dalam revolusi Spanjol
berseru : “Hai wanita-wanita Spanjol, djadilah revolusioner!”, maka saja
berkata : “Hai wanita-wanita Indonesia, djadilah revolusioner, --tiada kemenangan revolusioner, djika tiada
wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, djika tiada pedoman
revolusioner!”