Soe Hok Gie, Surakhmat, dan Socrates


[20/12/2012] Beberapa waktu yang lalu, seorang karib, Surakhmat menjadikan sepenggal kalimat sakti dari Soe Hok Gie, sebagai jawaban atas pertanyaan yang tak jenuh diajukan oleh sistem sebuah jejaring sosial populer, “Apa yang Anda pikirkan?”.

Kalimat itu adalah, “Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin”. Saya mengatakan kalimat Soe itu sakti, karena kalimat tersebut mampu menggugah dan menggerakkan seseorang untuk berbuat.

Di saat banyak pihak yang menganjurkan agar kita menjadi serumpun pohon bambu agar bisa bertahan dari terpaan angin kehidupan dan badai persoalan, Soe justru menolak tunduk, Soe memilih menjadi pokok oak yang kukuh menentang angin, tegar menantang badai.

Dengan menjadi bambu, hidup anda akan aman dalam menghadapi terpaan angin dan badai. Begitu angin kencang berhembus dari timur, maka anda tinggal meliuk ke barat. Begitu pun sebaliknya, bila badai datang menyerbu dari arah barat, maka meliuklah ke arah timur.

Bila anda mempraktikkan gaya bambu ini, maka tentu hidup anda akan selamat sentosa, seperti rumpun bambu yang tak akan tergeser dari tanah tempatnya berpijak. Hal ini karena batangnya bisa meliuk seirama arah angin. Demikian bambu mengajarkan.

Mereka yang belajar dari gaya bambu, akan menjadi orang-orang yang lihai menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan lingkungan dan keinginan pihak yang berkuasa atas dirinya. Dia adalah anak kesayangan, anak penurut, tak banyak protes dan tak pernah menuntut.

Tapi pada saat yang sama, hidupnya akan senantiasa berada di ujung telunjuk pihak yang menguasainya, pimpinan, atasan, atau majikannya. Dia tak punya inisiatif untuk tampil lebih mandiri, lebih partisipatif, dan lebih aktif. Kondisi seperti inilah yang tidak diinginkan oleh Soe.

Soe menolak menjadi pohon bambu, menolak berdiam dalam comfort zone. Soe menolak menjadi mapan dalam kerangkeng tanpa inisiatif, dia enggan untuk tunduk pada hembusan angin sepoi, dia ingin berdiri tegak dan teguh menentang badai.

Soe memilih menjadi pokok oak. Pohon dengan akar yang kukuh memancang ke dalam bumi, dan reranting menggapai angkasa. Pohon yang tak mau berkompromi dengan arah angin dan hentakan badai.

Menjadi pohon oak juga adalah sebentuk ikrar, kesiapan untuk menerima bahwa dedaunannya akan meranggas, reranting yang berderak dan lepas, pohon yang berderak dan patah, serta akar yang tercerabut, mentas.

Menjadi oak adalah kesiapan untuk menyerahkan hidup demi mempertahankan prinsip, menjaga idealisme¸dan memperjuangkan harapan.

Kesediaan untuk tetap berfikir waras dan menimbang secara logis, di saat yang lain ikut-ikutan menjadi gila dan kehilangan rasionalitas.

Memilih sebagai oak juga adalah kesiapan untuk menjadi pemenang dengan gagah, di saat semua yang lain tersapu angin dan terenggut badai, pohon oak akan tetap berdiri kokoh, meski dengan reranting yang terenggut dan dedaunan yang terkoyak.

Oak, kesiapan untuk menerima kemenangan yang bukan sebagai hadiah. Oak hanya menginginkan kesuksesan sebagai anak kandung dari perjuangan, penderitaan, dan pengorbanan tak terperi.

Soe sudah membuktikan itu, dia membuktikan bahwa dirinya memang sepohon oak. Dengan segala hal yang dimilikinya, dia berjuang mewujudkan cita-cita dan harapannya, cita-cita dan harapan bersama dari mereka yang memiliki idealisme.

Setelah merenung beberapa jenak, aku coba mencari tahu alasan sang kawan menulis kalimat sakti Gie tersebut di akun jejaring sosialnya. Surakhmat, sang kawan menjawab lirih, “Saya tak mau terjebak pada zona nyaman, Man!”

Mendengar itu, aku mencoba mengukur posisiku sekarang. Apakah aku sedang terjebak pada kenikmatan zona nyaman dan tak ubahnya sebagai serumpun pohon bambu, ataukah aku tengah berusaha menjadi oak?

Di saat aku mencari-cari jawaban, justru yang berkelebat adalah sebuah petuah dari Socrates, “Hidup yang tak terperiksa secara filosofis adalah hidup yang tak layak dijalani”. Kalimat yang menjadikannya pohon oak kehidupan.

Aku kian terpekur...
Lebih baru Lebih lama