Kalimat
itu adalah, “Saya tak mau jadi pohon
bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin”. Saya
mengatakan kalimat Soe itu sakti, karena kalimat tersebut mampu menggugah dan
menggerakkan seseorang untuk berbuat.
Di saat
banyak pihak yang menganjurkan agar kita menjadi serumpun pohon bambu agar bisa
bertahan dari terpaan angin kehidupan dan badai persoalan, Soe justru menolak
tunduk, Soe memilih menjadi pokok oak yang kukuh menentang angin, tegar
menantang badai.
Dengan
menjadi bambu, hidup anda akan aman dalam menghadapi terpaan angin dan badai.
Begitu angin kencang berhembus dari timur, maka anda tinggal meliuk ke barat.
Begitu pun sebaliknya, bila badai datang menyerbu dari arah barat, maka
meliuklah ke arah timur.
Bila
anda mempraktikkan gaya bambu ini, maka tentu hidup anda akan selamat sentosa,
seperti rumpun bambu yang tak akan tergeser dari tanah tempatnya berpijak. Hal
ini karena batangnya bisa meliuk seirama arah angin. Demikian bambu
mengajarkan.
Mereka
yang belajar dari gaya bambu, akan menjadi orang-orang yang lihai menyesuaikan
diri sesuai dengan tuntutan lingkungan dan keinginan pihak yang berkuasa atas
dirinya. Dia adalah anak kesayangan, anak penurut, tak banyak protes dan tak
pernah menuntut.
Tapi
pada saat yang sama, hidupnya akan senantiasa berada di ujung telunjuk pihak
yang menguasainya, pimpinan, atasan, atau majikannya. Dia tak punya inisiatif
untuk tampil lebih mandiri, lebih partisipatif, dan lebih aktif. Kondisi
seperti inilah yang tidak diinginkan oleh Soe.
Soe
menolak menjadi pohon bambu, menolak berdiam dalam comfort zone. Soe menolak menjadi mapan dalam kerangkeng tanpa
inisiatif, dia enggan untuk tunduk pada hembusan angin sepoi, dia ingin berdiri
tegak dan teguh menentang badai.
Soe
memilih menjadi pokok oak. Pohon dengan akar yang kukuh memancang ke dalam
bumi, dan reranting menggapai angkasa. Pohon yang tak mau berkompromi dengan
arah angin dan hentakan badai.
Menjadi
pohon oak juga adalah sebentuk ikrar, kesiapan untuk menerima bahwa dedaunannya
akan meranggas, reranting yang berderak dan lepas, pohon yang berderak dan patah,
serta akar yang tercerabut, mentas.
Menjadi
oak adalah kesiapan untuk menyerahkan hidup demi mempertahankan prinsip,
menjaga idealisme¸dan memperjuangkan harapan.
Kesediaan
untuk tetap berfikir waras dan menimbang secara logis, di saat yang lain ikut-ikutan
menjadi gila dan kehilangan rasionalitas.
Memilih
sebagai oak juga adalah kesiapan untuk menjadi pemenang dengan gagah, di saat
semua yang lain tersapu angin dan terenggut badai, pohon oak akan tetap berdiri
kokoh, meski dengan reranting yang terenggut dan dedaunan yang terkoyak.
Oak,
kesiapan untuk menerima kemenangan yang bukan sebagai hadiah. Oak hanya
menginginkan kesuksesan sebagai anak kandung dari perjuangan, penderitaan, dan
pengorbanan tak terperi.
Soe
sudah membuktikan itu, dia membuktikan bahwa dirinya memang sepohon oak. Dengan
segala hal yang dimilikinya, dia berjuang mewujudkan cita-cita dan harapannya,
cita-cita dan harapan bersama dari mereka yang memiliki idealisme.
Setelah
merenung beberapa jenak, aku coba mencari tahu alasan sang kawan menulis
kalimat sakti Gie tersebut di akun jejaring sosialnya. Surakhmat, sang kawan menjawab
lirih, “Saya tak mau terjebak pada zona nyaman, Man!”
Mendengar
itu, aku mencoba mengukur posisiku sekarang. Apakah aku sedang terjebak pada
kenikmatan zona nyaman dan tak ubahnya sebagai serumpun pohon bambu, ataukah
aku tengah berusaha menjadi oak?
Di saat
aku mencari-cari jawaban, justru yang berkelebat adalah sebuah petuah dari
Socrates, “Hidup yang tak terperiksa
secara filosofis adalah hidup yang tak layak dijalani”. Kalimat yang
menjadikannya pohon oak kehidupan.