[17.01.2013] Aku
tiba sekira pukul 14.10 wita di gedung berlantai dua di jalan H. M. Suaib Pasang No. 3 Takalar. Ini kunjungan pertamaku ke tempat ini,
sebuah nama terpampang di dinding lantai dua, pas di atas pintu masuk gedung: “Kantor
Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Takalar”, tercetak dengan warna hitam
dengan latar biru langit.
Sebelum aku menjangkau pintu, sebuah MobilPintar –atau lebih tepatnya MotorPintar, menyambutku dengan setumpuk buku yang terlihat kumal dan berdebu. Entah sudah berapa lama MobilPintar itu terparkir di situ dan menjadi penunggu pintu.
Sebelum aku menjangkau pintu, sebuah MobilPintar –atau lebih tepatnya MotorPintar, menyambutku dengan setumpuk buku yang terlihat kumal dan berdebu. Entah sudah berapa lama MobilPintar itu terparkir di situ dan menjadi penunggu pintu.
Begitu aku melewati pintu, di sebelah kanan terdapat
rak penitipan barang, kulihat ada beberapa helm di dalamnya. Sebelah kiri
terdapat meja front office, di
dinding bagian belakangnya terdapat televisi yang menyala dengan suara yang
lumayan besar.
Awalnya aku pikir tak ada sesiapa di front office, tapi begitu aku mendekat
dan mencoba melongok ke balik meja yang seukuran dada, terdengar dengkur halus yang
timbul tenggelam ditingkahi suara televisi. Seorang lelaki muda tertidur di
kursi, kakinya selonjoran di atas meja di bagian dalam front office.
Melewati frontoffice, terlihat tangga menuju lantai dua, dari atas sayup-sayup aku dengar
suara musik. Beberapa ruang yang terletak di sisi kiri dan kanan setelah pintu
juga tak berpenghuni, meski pintunya menganga. Dengan ragu, kulangkahkan kaki menuju
lantai dua.
Begitu kepalaku menjangkau lantai dua, aku disambut
dengan suasana temaram. Sebuah ruangan tanpa lampu yang menyala, penerangan
mengandalkan sinar matahari yang menelusup masuk lewat kaca jendela yang
separuh gordennya tidak terbuka.
Suasana ruang baca Perpustakaan Daerah Kabupaten Takalar (17/01/2013)
Hawa lumayan gerah, ditambah dengan suara musik yang
mengalun berpadu dengan suara televisi yang terdengar nyaring dari lantai
bawah. Terdapat dua buah kipas angin ukuran sedang tergantung di dinding, tapi
dengan kabel colokan yang tergantung begitu saja, tak ada aliran listrik ke
situ. Kipas angin cuma jadi penghias dinding.
Kulihat seorang petugas perempuan yang duduk terkantuk-kantuk
di kursi kayu di samping rak berisi tumpukan arsip koran yang kumal, berdebu
dan tak terurus, bahkan beberapa terlihat robek dan bekas tumpahan air. Koran edisi
baru terserak di atas meja baca, mungkin habis dibaca pengunjung.
Kulihat dua orang pengunjung putri, memakai
kerudung, satu orang berseragam putih abu-abu, yang satunya berseragam putih
hitam, entah dari SMA, MA atau SMK, aku juga tak menanyakannya. Aku memilih ke
pojok jauh mencari suasana tenang yang suara musik dan televisinya tidak
terlalu bingar. Kutemukan seorang pengunjung juga di sana, mengenakan celana
abu-abu berbaju kaus oblong, tubuhnya lumayan ceking.
Tiga orang pengunjung Perpustakaan Daerah Kab. Takalar (17/01/2013)
Kuhampiri rak buku-buku geografi dan sejarah, iseng aku
mencari-cari mungkin ada buku yang pantas untuk kubaca, sebab aku datang tanpa
perencanaan hendak mencari buku apa. Tak sengaja, kutemukan buku ‘Tasawuf, Apa dan Bagaimana’ tulisan Khan Sahib Khaja Khan. Kuambil buku itu sambil
bertanya-tanya, apa betul buku ini merupakan kategori buku geografi dan
sejarah?
Aku mendekat ke meja baca di samping pengunjung yang
bertubuh ceking itu, kudapati kursi dan meja yang berdebu. Bahkan yang lebih
parah, kutemukan sebuah buku tergeletak di bawah meja, tepat di pojok ruangan. Lantai
bukan hanya berdebu, tapi berpasir, buku itu sepertinya sudah lama berada di
situ.
Sebuah buku tergeletak di bawah meja (17/01/2013)
Beberapa helai yang terlepas dari buku, dibiarkan berhamburan (17/01/2013)
Tak sampai sepuluh menit, aku bersin-bersin karena
debu, hidungku langsung gatal dan berair. Aku beringsut menuju sudut yang lebih
terang, kubuka jendela sedikit untuk mencari udara segar. Aku memilih berdiri
sambil bersandar ke dinding untuk mendapatkan penerangan yang cukup dan udara
segar.
Akhirnya, aku memilih untuk memutari rak-rak buku
yang ada, yang kutemukan hanyalah tumpukan-tumpukan buku yang berdebu, susunan
yang tidak rapi, bahkan ditumpuk begitu saja. Buku yang ada, terkesan tak
terurus, petugas perpustakaan seperti tak peduli, hanya seorang yang kelihatan.
Dua ruang kerja di sisi barat lantai dua melompong, tanpa sesiapa.
Dengan gontai aku beranjak menuju tangga turun, kubawa
hidung yang basah dilengkapi bersin, aku berniat pulang dengan hati yang begitu
sedih. Aku didera kecewa yang luar biasa, di Perpustakaan Daerah milik
Pemerintah Kabupaten Takalar, aku menyaksikan bagaimana buku diperlakukan
sedemikian buruk. Tradisi literasi tak ada arti di bagungan berlantai dua ini.
Kondisi buku di Perspustakaan Daerah Kabupaten Takalar (17/01/2013)
Kondisi buku di Perspustakaan Daerah Kabupaten Takalar (17/01/2013)
Namun tiba-tiba, kusaksikan seorang ibu muncul dari
bawah, di belakangnya menyusul tiga orang anak, yang paling besar berumur sekira
sepuluh tahunan, sementara yang paling kecil, aku tebak masih pra-sekolah. Begitu
sampai di lantai dua, mereka bertiga berlari riang di sela-sela rak buku.
Rupanya mereka berlomba mencari buku tertentu.
Aku terhenyak, terharu, rasa kecewaku terasa
terobati oleh senyum mereka. Ketiganya, masing-masing menenteng buku pilihan,
dan ditemani oleh perempuan yang aku pikir ibu ketiga anak itu, mendekat ke
meja petugas. Buku-buku disodorkan, mereka meminjam buku. Betapa bahagia diriku
melihat itu.