[06.02.2013]
Tak terasa Nona, lima tahun kebersamaan kita. Lima tahun sejak aku bisa
memandang senyummu sepuasku dari jarak yang begitu dekat, hangat, dan akrab.
Lima tahun sejak kita mengikrarkan untuk saling mengikat diri –meski pada hakikatnya, pernikahan bukanlah kekang, menjadi sepasang kekasih.
Lima tahun sejak kita mengikrarkan untuk saling mengikat diri –meski pada hakikatnya, pernikahan bukanlah kekang, menjadi sepasang kekasih.
Aku
menerimamu menjadi istriku, kaupun menerimaku menjadi suamimu. Dengan ikhlas,
ikhlas yang lugu, dan sedikit malu-malu.
Hari ini, 06 februari 2013 kembali aku teringat masa-masa ketika dada kita dilanda debar yang sangat, hati pun menanggung rindu yang berat.
Hari ini, 06 februari 2013 kembali aku teringat masa-masa ketika dada kita dilanda debar yang sangat, hati pun menanggung rindu yang berat.
Detik-detik
yang tak kuasa untuk kulupa, namun juga tak mampu kulukiskan dalam selaksa
kata. Hari ini aku hanya mengenang dalam diam, meresapi bahwa kita pernah
melalui momentum yang tak mungkin terulang kecuali dalam kenangan. Kenangan
yang tersimpan dalam ingatan yang panjang dan lempang.
Aku tak
akan bercerita panjang di hari ini Nona, aku hanya akan membacakanmu sebuah
puisi Helvy Tiana Rosa untuk suaminya, Tomi Satryatomo. Akan kubaca puisi ini
di hadapanmu,
Ketika bahasa
tak lagi percaya pada kata
apakah yang masih bisa kita ucap?
: cinta
Ketika wajahmu
tak lagi menampakkan kening, mata,
hidung dan mulut
apakah yang masih bisa kukecup?
: do'a
Ketika bahasa
tak lagi percaya pada kata
apakah yang masih bisa kita ucap?
: cinta
Ketika wajahmu
tak lagi menampakkan kening, mata,
hidung dan mulut
apakah yang masih bisa kukecup?
: do'a
Akhirnya, aku akan
mengecup kedua pelupuk matamu yang teduh, sebab bagiku, itulah do’a yang paling
makbul di seluruh semesta.
Tags:
Istri