Mati Ketawa Gaya Orang Bugis #1


[07.03.2013] Suatu hari, seorang lelaki paruh baya yang berasal dari Ujung Pandang menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jakarta. Sebutlah namanya, La Capila. La Capila bisa sampai di Jakarta karena ikut dengan sepupunya yang sudah menjadi warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan bertahun-tahun lalu.

Untuk menambah wawasannya tentang Ibu Kota, La Capila memilih berjalan-jalan di Jakarta seorang diri.
“Naik pete’-pete’ besar ma’, jangang mako antarka’ Beddu.”
“Hati-hatiko pale’ nah.”
“Iyye’ gampammi itu.”

Begitu naik metromini --yang disebutnya pete’-pete’ besar, La Capila duduk di kursi yang kosong sambil celingak-celinguk memperhatikan penumpang yang naik dan turun.

Begitu metromini sampai di halte jalan Sudirman, seorang penumpang lelaki berteriak kencang, “Sudirman ya Bang....” Teriakan penumpang lelaki itu disambut dengan teriakan yang lebih kencang dari kondektur, “Sudirman.... Sudirman...” metromini pun berhenti di halte dan penumpang lelaki pun turun.

Metromini kembali berjalan, begitu sampai di halte jalan Kartini, seorang penumpang perempuan berteriak, “Kartini Bang...” sambil mengetuk-ngetukkan uang receh di kaca jendela metromini. Lagi-lagi kondektur ikut teriak, “Ya Kartini.... Kartini... turun....” dan penumpang perempuan itupun turun di halte ketika metromini berhenti.

Melihat kejadian tersebut, La Capila berfikir cepat, “Mmmmm... ternyata di Jakarta, bukang kiri dibilang kalau mauki’ turung, tapi disebu’ namata’... terus disebu’ juga namana kerne’na, Bang.” Maka La Capila kemudian konsentrasi pada perjalanan dan mencari tempat yang pas untuk turun.

Begitu metromini yang ditumpanginya melintas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, La Capila memutuskan untuk turun di situ, dia tertarik dengan air terjun yang ada.

“La Capila..... Bang.... La Capila...” tiba-tiba La Capila berteriak kencang. Mendengar teriakan kencang yang begitu tiba-tiba itu, kondektur, penumpang, bahkan supir berbalik menatap keheranan ke arah La Capila. Tapi kondektur tidak ikut berteriak, malah berjalan mendekat ke arah La Capila, metromini terus melaju.

“La Capila..... Bang.... La Capila...” lagi-lagi, La Capila berteriak kian lantang, tangannya yang memegang receh juga dipukul-pukulkan ke kaca jendela metromini. Kondektur metromini yang sudah berdiri di samping La Capila langsung bertanya kencang sambil memegang bahu La Capila, “Ade ape Bang? Kok treak-treak?”

La Capila sempat melongo sebelum kembali berteriak, “La Capila..... Bang.... La Capila...” Mata kondektur melotot, “Mau abang ape? Treak-treak nggak jelas juntrungannye.”
“Mau maka’ turung dari pete’-pete’ Bang.” Jawab La Capila.
“Loh, kenape abang tidak bilang dari tadi.” Terang si kondektur.
“Sudahma’ teriak-teriak, sa sebut namaku, kenapako tidak teriak juga?” Tanya La Capila.
“Emang siape nyang suruh abang treak kayak gitu? Aye kagak ngarti...” Kondektur berkilah.
“Kan kalau mauki’ turung, disebut namata’ toh?” Terang La Capila.
“Ha.....?” Seru si kondektur keheranan, matanya membeliak sebelum tertawa terbahak yang diikuti oleh seluruh penumpang dan sopir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama