[11.03.2012] Pagi
hari yang lembab, membuatku enggan untuk beranjak cepat ke kantor. Aku memilih
duduk di teras dengan muka kusut karena belum mandi. Aku duduk menanti, ya,
menanti lewatnya pemandangan menarik dari lalu lalang pengguna jalan.
Tiba-tiba
aku rindu pada pemandangan anak berseragam putih biru, berbondong-bondong ke
sekolah dengan keriangannya yang begitu lepas, pemandangan yang lazim
kusaksikan beberapa tahun lampau. Tahun-tahun ketiga smartphone dan gadget
belum lagi dikenal, bahkan mungkin dalam impian mereka sekalipun.
Mereka
berjalan beriringan sambil berbagi cerita kesibukan pagi harinya membantu ibu
menyiapkan jualan, tentang ayam-ayam peliharaan mereka yang mulai bertelur,
atau juga tanaman tomat mereka di belakang rumah yang buahnya perlahan
menguning, bahkan ada yang menceritakan panen kacang tanahnya kemarin sore.
Semua
mereka ceritakan dalam dengan senyum sumringah, dengan suara renyah, penuh
optimisme hidup. Muka mereka bening, bulir-bulir keringat terlihat di dahi. Tak
ada bedak, gincu ataupun pelembab. Mereka menghadirkan muka yang telanjang
tanpa polesan dan manipulasi. Begitu segar.
Aku
juga membayangkan ketika mereka hendak ke sekolah, sementara hujan turun di
pagi hari. Semangat tak pernah kendor, mereka bergerombol ke sekolah dengan
berpayung daun pisang, atau daun keladi. Tangan kanan menggenggam erat pelepah
daun pisang atau daun keladi, sementara tangan kiri menenteng sepatu dan ujung
rok untuk menghindari tempias air.
Bahkan
bila hujan menderas disaat pulang sekolah, terkadang bermain hujan menjadi
hiburan luar biasa yang murah meriah. Buku dimasukkan ke dalam kantong kresek
untuk menghindari air, kantong kresek yang selalu terselip di kantong selama
musim hujan. Betapa indahnya masa remaja.
Tapi
ternyata itu pemandangan dulu, yang kusaksikan pagi ini jauh berbeda. Mereka
yang berseragam putih biru itu sudah enggan berangkat bareng ke sekolah, apalagi
berjalan kaki. Jarak rumah yang tidak terlalu jauh ke sekolah dijalani dengan
naik motor, becak, atau diantar dengan mobil orang tua.
Memang
masih ada yang berjalan kaki, yang jarak rumahnya cuma ratusan meter dari
sekolah, tapi itu hanya dua tiga orang. Itupun mereka yang memilih berjalan kaki,
menjalaninya dalam kebisuan dan keterasingan di dunianya masing-masing. Mereka
sibuk bermain smartphone dan gadget, tanpa peduli dengan teman yang berjalan di
sampingnya, yang juga menikmati kesibukan yang sama.
Tak ada
lagi keceriaan manusiawi di ruang nyata. Semua dirampas dan dibenamkan dalam
ruang maya dalam genggaman. Mereka tertawa, cemberut, bahkan terlihat terharu
karena memandangi benda mungil di tangan. Jempol menari-nari di atas tuts tipis
yang dibalut dengan lapisan warna-warni. Dunia yang aneh.
Tags:
Refleksi