[12.03.2013]
Suatu hari, La Capila naik metromini. Karena tidak mendapatkan tempat duduk
yang kosong, La Capila terpaksa berdiri. Metromini pagi itu memang sangat
sesak. La Capila terpaksa berdiri di depan seorang lelaki seumurannya yang
sedang duduk, lelaki itu memakai blangkon.
“Tabe’
di Mas, berdirika’ di depanta’ kodong.” La Capila berbasa-basi.
“Nggak
apa-apa, orang Bugis ya Daeng?” Jawab si Mas Blangkon.
“Iyye’
saya dari Jumpandang, tahu dari manaki’ Mas, kalau saya orang Bugis?” La Capila
keheranan.
“Ya
tahu aja Daeng, kentara dari logat dan gayanya yang ndeso.” Jelas si Mas
Blangkon lagi.
La
Capila diam saja mendengar sindiran dari si Mas Blangkon, dia merasa perlu
merendah, toh dia memang pendatang di Jakarta, dan betul juga bahwa dia dari
kampung, sebuah kampung kecil di Pattiro, SibuluE, Bone.
Mas
Blangkon nyeletuk memulai percakapan,
“Daeng,
kenal dengan Soekarno?”
“Iyye’
saya kenalji, presideng pertama.” Jawab La Capila santun.
“Orang
Jawa itu Daeng.” Jelas Mas Blangkon, La Capila diam saja.
Mas
Blangkon bersuara lagi,
“Daeng,
kenal dengan Soeharto?”
“Iyye’
saya kenalji juga, presideng kedua.” La Capila kalem.
“Orang
Jawa juga itu Daeng.” Klaim Mas Blangkon mantap. La Capila lagi-lagi hanya
diam.
Lagi-lagi
Mas Blangkon bertanya,
“Daeng,
kenal dengan Gus Dur?”
“Iyye’
saya kenalji, presideng keempat.” La Capila menjawab pelan.
“Itu
juga orang Jawa, Daeng. Orang Jawa hebat-hebat kan?” Mas Blangkon bertanya. La
Capila mengangguk pelan.
Tiba-tiba,
“Mas, ko
kenal Mikel Jekseng?” Suara La Capila terdengar pelan.
“Kenal
toh Daeng, yang King Of Pop itu kan?” Mas Blangkon menjawab.
“Orang
apa bede’ Mikel Jekseng, Mas?” La Capila bertanya lembut.
Lama
tak ada jawaban.
Setelah
sekian lama, si Mas Blangkon menjawab dengan suara bergetar,
“Michael
Jackson orang Bugis, Daeng....”
Rupanya, ujung
badik La Capila sudah menempel di dadanya.
Tags:
Refleksi