Mehdi dan Cinta |
Cerita
itu muncul ketika aku menunjuk dua baris tulisan di dinding yang tertera
menggunakan spidol bertinta biru. “Siapa yang menulis di dinding?” Tanyaku ke
arah istri yang lagi mengganti bajunya Mehdi. “Siapa lagi kalau bukan Cinta,
Kak.” Jawab istriku sambil tersenyum.
“Nona,
bagaimana caranya Cinta bisa menulis di tembok setinggi itu?” Tanyaku lagi.
“Cinta
berdiri di atas galon kosong itu, Kak, terus naik ke atas meja, hehehe...”
Jelas istriku lagi sambil tertawa.
Mendengar
itu, saya juga ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berujar, “Makin
kreatif saja anak itu, hehehe...”
Tiba-tiba
istriku berujar,
“Itu
belum seberapa, Kak, Mehdi nih yang lebih jago.”
“Maksudnya?
Mehdi ikut manjat dan mencoret dinding juga?” Tanyaku penasaran.
“Tidak
begitu, Kak, Mehdi tidak mencoret di dinding, dia mencoret di lemari.”
“Hahahaha...
ternyata Mehdi juga tak mau kalah ya, kalau Cinta mencoret di dinding kamar,
Mehdi mencoret di dinding lemari.”
“Tapi
bukan itu yang seru, Kak.” Sergah istriku.
“Jadi
apa dong?” Tanyaku penasaran.
“Alasan
ketika aku tanya ke Mehdi, Kak.”
“Cerita
dong, penasaran nih.”
Berikut
ini cerita istriku:
#1
“Mehdi.....
kenapa itu dinding lemari dicoret-coret, Nak?” Tanyaku.
“Butan
coletang, Mama, itu icanna, Ndi[1].”
Jawab Mehdi sambil tersenyum lebar.
“Apa
Mehdi? Mama tidak mengerti, Nak.”
“Ican,
Ndi, Mama[2].” Mehdi,
sedikit ngotot.
“Oooo, itu
tulisannya Mehdi?”
“Iyye’,
Mama.” Jawab mehdi sambil menghambur ke pelukanku.
#2
“Mama, bisama’
biking angka dua[3].”
Seru Cinta.
“Mana
angka duanya, Nak?” Tanyaku.
“Itu,
hehehehe...” Jawab Cinta sambil menunjuk ke dinding.
“Aduh,
kenapa dindingnya dicoreti begitu, Nak?” Ujarku kaget.
“Angka
dua itu, Mama. Bisama’ toh? Hehehehe..[4]” Cinta
cengengesan.
“Terus
bagaimana caranya Cinta menulis di situ?”
“Naikka’
di galon, hehehehe...[5]”
Jelas Cinta dengan centil sambil menarik-narik ujung rokku.
Saya mengelus
rambutnya sambil tersenyum, “Iyye’ tulisan Cinta bagus, Nak, tapi lain kali
menulis di kertas saja ya. Itu kertasnya banyak, disediakan Tetta. Terus
galonnya jangan dinaiki, Nak, nanti galonnya pecah.”
“Hehehe....”
Cinta tertawa, mengangguk, lalu berlari ke luar kamar sambil membawa spidolnya,
entah di dinding mana lagi dia akan menulis angka dua kesukaannya.
Sore
itu, saya menyuapi Mehdi bubur –Mehdi sudah
dua tahunan, tapi masih suka makan bubur. Mungkin karena merasa eneg atau
sudah kenyang, Mehdi memuntahkan bubur dari mulutnya.
“Mehdi,
kok buburnya dimuntahkan, Nak.” Tanyaku sambil mengambil lap.
“Butang
muntah, Mama.[6]”
Jawab Mehdi dengan lantang.
“Jadi
apa itu, Nak?” Tanyaku lagi.
“Bubuynya
netesy cedikit-cedikit, heheheh....[7]” Jawab
Mehdi lagi sambil tertawa.
“Kamu
ini, hehehehehe.... Ayo ditelan buburnya, Nak.”
Cerita-cerita
itu membuatku terharu, ternyata anak-anakku bertumbuh dengan daya kritis yang perlu
dijaga agar tak padam. Kemampuan mereka untuk beradu argumen dengan Mamanya
patut dihargai, kelihaiannya mengajukan alasan luar biasa. Mengenai ini,
istriku berkomentar, “Ini karena mereka selalu ikut tettanya diskusi,
hehehehe....”
Memang,
hampir tiap malam jumat dan malam ahad, aku berdiskusi dengan teman-teman
Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Kalau tidak di sekretariat, biasanya
teman-teman berkumpul di rumah. Kalau teman-teman datang ke rumah untuk
diskusi, Cinta dan Mehdi biasanya nimbrung mendengar.