Kritisisme Ala Qonitah dan Mehdi

Mehdi dan Cinta
[25.03.2015] Tadi pagi, aku tertawa terbahak mendengar cerita dari istri yang menuturkan tingkah laku Cinta dan Mehdi selama aku tinggal tiga hari. Aku tertawa bukan hanya karena cerita istriku itu lucu, lebih dari itu, ceritanya juga mengharukan .

Cerita itu muncul ketika aku menunjuk dua baris tulisan di dinding yang tertera menggunakan spidol bertinta biru. “Siapa yang menulis di dinding?” Tanyaku ke arah istri yang lagi mengganti bajunya Mehdi. “Siapa lagi kalau bukan Cinta, Kak.” Jawab istriku sambil tersenyum.

“Nona, bagaimana caranya Cinta bisa menulis di tembok setinggi itu?” Tanyaku lagi.
“Cinta berdiri di atas galon kosong itu, Kak, terus naik ke atas meja, hehehe...” Jelas istriku lagi sambil tertawa.
Mendengar itu, saya juga ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berujar, “Makin kreatif saja anak itu, hehehe...”

Tiba-tiba istriku berujar,
“Itu belum seberapa, Kak, Mehdi nih yang lebih jago.”
“Maksudnya? Mehdi ikut manjat dan mencoret dinding juga?” Tanyaku penasaran.
“Tidak begitu, Kak, Mehdi tidak mencoret di dinding, dia mencoret di lemari.”
“Hahahaha... ternyata Mehdi juga tak mau kalah ya, kalau Cinta mencoret di dinding kamar, Mehdi mencoret di dinding lemari.”

“Tapi bukan itu yang seru, Kak.” Sergah istriku.
“Jadi apa dong?” Tanyaku penasaran.
“Alasan ketika aku tanya ke Mehdi, Kak.”
“Cerita dong, penasaran nih.”

Berikut ini cerita istriku:

#1
“Mehdi..... kenapa itu dinding lemari dicoret-coret, Nak?” Tanyaku.
“Butan coletang, Mama, itu icanna, Ndi[1].” Jawab Mehdi sambil tersenyum lebar.
“Apa Mehdi? Mama tidak mengerti, Nak.”
“Ican, Ndi, Mama[2].” Mehdi, sedikit ngotot.
“Oooo, itu tulisannya Mehdi?”
“Iyye’, Mama.” Jawab mehdi sambil menghambur ke pelukanku.

#2
“Mama, bisama’ biking angka dua[3].” Seru Cinta.
“Mana angka duanya, Nak?” Tanyaku.
“Itu, hehehehe...” Jawab Cinta sambil menunjuk ke dinding.
“Aduh, kenapa dindingnya dicoreti begitu, Nak?” Ujarku kaget.
“Angka dua itu, Mama. Bisama’ toh? Hehehehe..[4]” Cinta cengengesan.
“Terus bagaimana caranya Cinta menulis di situ?”
“Naikka’ di galon, hehehehe...[5]” Jelas Cinta dengan centil sambil menarik-narik ujung rokku.
Saya mengelus rambutnya sambil tersenyum, “Iyye’ tulisan Cinta bagus, Nak, tapi lain kali menulis di kertas saja ya. Itu kertasnya banyak, disediakan Tetta. Terus galonnya jangan dinaiki, Nak, nanti galonnya pecah.”
“Hehehe....” Cinta tertawa, mengangguk, lalu berlari ke luar kamar sambil membawa spidolnya, entah di dinding mana lagi dia akan menulis angka dua kesukaannya.
Tulisannya Cinta di dinding
#3
Sore itu, saya menyuapi Mehdi bubur –Mehdi sudah dua tahunan, tapi masih suka makan bubur. Mungkin karena merasa eneg atau sudah kenyang, Mehdi memuntahkan bubur dari mulutnya.
“Mehdi, kok buburnya dimuntahkan, Nak.” Tanyaku sambil mengambil lap.
“Butang muntah, Mama.[6]” Jawab Mehdi dengan lantang.
“Jadi apa itu, Nak?” Tanyaku lagi.
“Bubuynya netesy cedikit-cedikit, heheheh....[7]” Jawab Mehdi lagi sambil tertawa.
“Kamu ini, hehehehehe.... Ayo ditelan buburnya, Nak.”

Cerita-cerita itu membuatku terharu, ternyata anak-anakku bertumbuh dengan daya kritis yang perlu dijaga agar tak padam. Kemampuan mereka untuk beradu argumen dengan Mamanya patut dihargai, kelihaiannya mengajukan alasan luar biasa. Mengenai ini, istriku berkomentar, “Ini karena mereka selalu ikut tettanya diskusi, hehehehe....”

Memang, hampir tiap malam jumat dan malam ahad, aku berdiskusi dengan teman-teman Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Kalau tidak di sekretariat, biasanya teman-teman berkumpul di rumah. Kalau teman-teman datang ke rumah untuk diskusi, Cinta dan Mehdi biasanya nimbrung mendengar.



[1] Bukan coretan, Mama, itu tulisannya, Mehdi
[2] Tulisannya Mehdi, Mama.
[3] Mama, saya sudah bisa menulis angka dua
[4] Itu angka dua, Mama, saya sudah bisa (menulis angka dua) kan?
[5] Saya naik di atas galon.
[6] Bukan muntah, Mama.
[7] Buburnya menetes, sedikit-sedikit.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama