http://garmbarnet.blogspot.com |
[11.11.2013] Kemarin, 10 Nopember 2013, kita memperingatinya
sebagai Hari Pahlawan. Sebagian orang berlomba membicarakan tentang makna
kepahlawanan, dan berusaha mencari pahlawan, sebagian yang lain mengeluh karena
tak ada lagi yang layak disebut pahlawan.
Mereka yang euforia membincang makna kepahlawanan,
berlomba-lomba mengurai arti kepahlawanan, mulai dari aspek sejarah perjuangan
masa lalu, sampai pada konteks kekinian. Ada juga yang membahasnya pada sektor
kehidupan tertentu, pun mengurainya dari perspektif filologi.
Setelah makna pahlawan dan kepahlawanan diurai secara
mendalam, maka yang berpikiran pesimis akan melontarkan kesah tentang
kekosongan pahlawan di negeri ini, tak ada lagi yang layak disebut pahlawan dan
berhak menyandang gelar kehormatan kepahlawanan.
Mereka yang optimis, mereka percaya bahwa pahlawan itu
masih ada, dan berusaha mencarinya di berbagai sektor kehidupan, maka
terjadilah proses reaktualisasi nilai-nilai kepahlawanan secara sektoral dan
muncullah berbagai macam anugerah, award dan penghargaan bagi pahlawan
kontemporer.
Namun tak sedikit, yang optimis ini terjebak menjadi
fatalis, bahkan apatis. Bagi yang fatalis, mereka yakin bahwa pahlawan masih
ada, namun entah di mana. Atau bahwa pahlawan memang belum ada lagi, tapi nanti
akan ada, namun entah kapan.
Sementara yang apatis, mereka menganggap bahwa ada dan
tidak adanya pahlawan, tidak lah berpengaruh bagi kehidupan mereka. Bagi mereka,
orang-orang yang mengaku pahlawan, sekarang, tak lebih dari sekedar orang-orang
yang menjadi pahlawan karena politik pencitraan.
Mereka percaya bahwa pahlawan sejati tetap ada dan
akan senantiasa ada, tetapi sudah tidak lagi mempunyai makna bagi mereka.
Pahlawan sejati tenggelam di tengah pusaran pahlawan-pahlawan artifisial yang
lebih mendominasi wacana kepahlawanan masyarakat.
Kita sebagai generasi muda harapan bangsa, apakah kita
akan terjebak dalam salah satu kondisi di atas? Apakah kita menjadi pesimis
akah keberadaan pahlawan sejati, atau optimis akan keberadaannya tapi entah
kapan dan di mana? Atau tak peduli dengan itu semua?
Pemuda boleh kehilangan segalanya, tapi tak selayaknya
kita kehilangan harapan. Menurut Ali Syari’ati, salah seorang arsitek revolusi
Islam di Iran, jangan hanya menanti dan berharap akan datangnya pemimpin yang
adil, siapkan prakondisi yang memungkinkan pahlawan itu muncul.
Kapankah pahlawan sejati itu akan mengemuka? Ketika
seseorang mampu mengatasi dirinya sendiri, dia bertindak bukan atas kepentingan
pribadinya, melainkan berdasarkan kebenaran yang diyakini meskipun dalam
berbagai kejadian yang berbeda.
Inilah yang Alan Badiou sebut sebagai agen politik
yang menggerakkan perubahan. Subyek yang muncul dalam kaitannya dengan
kebenaran, subyek yang hanya menjadi subyek apabila memiliki kesetiaan pada
kebenaran. Sementara kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang muncul dari
dalam event (kejadian).
Dengan demikian –menurut Badiou, subyek menjadi
subyek apabila ia memiliki militansi tertentu kepada kejadian. Zlavoj Zizek
mengusulkan Lenin sebagai model. Lenin menyadari kekurangannya dalah hal konsep
ekonomi dan politik, namun ia sadar akan pentingnya berbuat untuk kedua hal
tersebut.
Dalam Islam, sikap seperti Lenin pernah ditunjukkan
oleh Husain ra. dalam tragedi Karbala. Ketika itu, dalam perhitungan matematis
dan kalkulasi pragmatis, jumlah rombongan Husain ra. sudah pasti kalah dari
pasukan Ubaidillah bin Ziyad, namun hal tersebut tidak membuat Husain ra.
mundur, beliau tetap bersetia pada kebenaran, dan memilih syahid di ujung
pedang musuhnya.
Maka, bagi mereka yang percaya bahwa pahlawan itu
tidak ditemukan --tapi dilahirkan, berhentilah menunggu Mahdi yang akan
memimpin perlawanan terhadap kedzaliman sebagaimana pilihan datuknya, Husain,
ra., jadikanlah dirimu pahlawan itu, Mahdi itu.
Sebab, setiap tempat adalah ruang
bagi subyek untuk menunjukkan kesetiaannya pada kebenaran, dan setiap waktu
adalah event (kejadian) tempat mengemukanya kebenaran. Maka tak ada kata
lain, jadilah pahlawan!