[16.11.2013]
Namanya Mehdi Qoidul Wafiq Tenri Pada, anakku yang kedua ini, lahir pada hari
rabu, 15 Desember 2010. Bicaranya sudah lancar, namun dengan penyebutan kata
yang masih kurang sempurna. Bila dia sudah terlanjur bicara, beleter[1]nya minta
ampun.
Berikut
ini, ada dua cerita yang menunjukkan betapa comel[2]nya si
Mehdi bagi kami. Ada saja yang dia ucapkan yang membuat kami tak bisa menahan
tawa,kadang di tengah rasa jengkel atas ulahnya, tiba-tiba mengucapkan sesuatu
yang tak kami sangka dan membuat kami terpingkal.
* * *
Mehdi dan Jari (tidak) Manis
Di
suatu kamis sore, kuku tangannya dipotong oleh mamanya, protesnya minta ampun,
dia takut tangannya berdarah. Untuk membuat dia tenang, berbagai macam cara pun
dilakukan untuk meyakinkannya bahwa memotong kuku itu tidak berbahaya. Maklum,
jarang dia potong kuku dalam keadaan terjaga, biasanya, kami memotong kukunya
kala dia tidur.
Mehdi dan Mamanya |
“Iyye’,
Mama baca bismillah, Nak. Bismillahir rahmanir rahim. Sudah kan?”
“Iyye’,
sudah, Mama. Pelan-pelan ki’ Mama, nah?” Ujarnya dengan muka beriba-iba.
Tapi
begitu alat pemotong kuku mulai menyentuh ujung jarinya, Mehdi akan menarik
tangannya, lalu mendekapnya dengan dramatis.
“Aduh...,
aduh... Sakit, Mama...”
“Mehdi,
tidak sakit, Nak. Sini tangannya.”
Mehdi
pun akan mengangsurkan tangannya untuk dipotong kukunya dengan pesan,
“Baca
bismiyyah ki’ Mama, deh.”
“Iyye’,
Nak. Bismillahir rahmanir rahim.”
“Pelan-pelan
ki’ Mama, nah?”
Kejadian
ini akan terjadi berulang kali untuk berhasil memotong satu persatu kuku di
jari-jarinya.
“Mehdi,
ayo’mi, Nak. Tinggal jari telujukta’ yang belum.” Pinta mamanya sambil
mengulurkan tangan untuk meraih tangan si Mehdi yang berada dalam dekapan.
“Jayi
apa, Mama? Jayi teyunjuk?”
“Iyye’
Nak, jari telunjuk.”
“Yang
mana jayi teyunjuk, Mama?”
“Itu
yang di dekat jempol, Nak.”
Mehdi lagi mengecek playlist |
“Ooooo,
ini jempoy, Mama?”
“Iyye’,
itu jempol, Nak.”
“Yang
ini?
“Kelingking.”
“Kalau
ini?”
“Itu
namanya jari manis, Mehdi.”
“Jayi
manis, Mama?”
“Iyye’
Nak, sini tangannya, kukunya masih ada kan?”
Tanpa
memperhatikan permintaan mamanya, Mehdi spontan menjilat jari manisnya, dia
bolak-balik di dalam mulutnya.
“Tidak
manis, Mama.”
“Memang
tidak manis, Nak.”
“Kenapa
paeng Kita bilang jayi manis?”
“Namanya
jari manis, Nak.”
“Bukan,
Mama. Bukan jayi manis deh, tidak manis ini, Mama.”
Dan
sampai sekarang, mehdi tidak mengakui bahwa ada yang bernama jari manis di
antara jari-jarinya.
* * *
Air Tak Bisa Lompat, Karena Tak Punya Kaki
Mehdi seusai sholat dhuhur di Masjid Agung Takalar |
“Tetta,
kenapa Kita siyam kepayaku?”
“Tetta
tidak siram kepalata’, Nak.”
“Kenapa
paeng basah kepayaku?”
“Ooo,
kan tetta pakai ini, jadi airnya lompat ke kepalata’, Nak.”
“Jangan pakai itu, Tetta, saya tidak mau mandi.”
Sambil menujuk shower yang aku pegang.
Mehdi
menjauh ke sudut kamar mandi, enggan melanjutkan mandinya.
“Iyye’,
Tetta tidak pakai ini pale’, nanti lompat lagi airnya, pakai timba saja ya.”
Saya menyimpan shower di cantolannya dan meraih gayung.
“Iyye’,
pakai timba mo.”
“Tetta,
tidak bisa yompat air, Tetta.”
“Kenapa
tidak bisa?”
“Karena
tidak ada kaki’na.”
“Iyye’,
hehehehe...”
“Yaaa,
Tetta tidak tahu.”
Dan
sampai sekarang, Mehdi selalu menolak mandi menggunakan shower.
* * *
Mehdi Tak Mau Mandi, Cuma Mau Cuci Badan
Mehdi seusai sholat dhuhur di Masjid Jami' Nurul Aman Sombala'bella Takalar |
“Tetta,
saya tidak mau mandi, cuci-cuci badan saja ya.”
“Kenapa
tidak mau mandi, Mehdi?”
“Nanti
basah kepayaku.”
“Kan
tetta pakai timba, Nak.”
“Tapi
cuci badanmo saja nah, Tetta?”
“Iyye’,
cuci badan saja pale’.”
Begitu
masuk kamar mandi, Mehdi tidak protes.
“Nah,
mehdi sudah mandi.”
“Bukan
mandi Tetta, cuci badan.”
“Mandi,
mehdi.”
“Tidak
tetta, tidak basah yambutku.”
“Oooo,
iyye’, cuci badan.”
Tags:
Mehdi