[10.12.2013]
Sejatinya, aku membuat tulisan ini kemarin, tapi karena deraan kemalasan dan
#GagalFokus, maka baru hari ini kusempatkan diri menulis sebagai kenangan atas
peringatan hari lahir anakku yang pertama, Qonitah Wafiyah Tenri Bilang Daeng
Ranne, atau yang kami sapa dengan panggilan Cinta.
Kemarin,
Cinta genap berusia lima tahun sejak kelahirannya, 09 Desember 2008 silam. Tak
ada perayaan istimewa untuk merawat kenangan atas hari lahirnya, kecuali doa untuknya
–yang sedikit lebih panjang dari
hari-hari sebelumnya.
Oh
ya, hampir terlupa, Cinta mendapatkan hadiah dari mamanya berupa seperangkat
alat tulis-menulis yang terdiri dari tas, alas menulis, krayon, dan kotak pensil.
Sebuah hadiah yang memang dia butuhkan untuk mendukung aktivitas sekolahnya.
Cinta
memperlakukan tasnya dengan begitu istimewa, dia tidak berniat untuk
menggunakan tas tersebut ke sekolah, dia ingin menyimpannya sebagai pajangan
yang menyenangkan. Di hari ahad (08/12/2013) sore, ketika kakek dan neneknya
mampir, tas itu menjadi bahan ceritanya.
Kita
sudahi kisah tas sekolah si Cinta sampai di sini. Dalam tulisan singkat ini,
aku mau menceritakan percakapanku dengan Cinta tadi siang sepulang dia dari
sekolah dan aku sedang berada di rumah. Sebuah percakapan ngalor-ngidul terkait
ulang tahunnya.
Begitu
usai ganti baju, Cinta mendatangiku di dapur –aku sedang menggoreng telur dadar pesanan si Mehdi, adiknya. Dengan
gaya sok dewasa, Cinta langsung menghampiriku, bertanya tentang apa yang sedang
aku lakukan, dan melongok ke atas wajan.
“Sedang
apaki’, Tetta?”
“Menggoreng
telur untuk adik Mehdi, mauki’ juga
digorengkan telur?” Jawabku.
“Ooooo...
menggoreng telur?”
“Iyye’,
mauki’ juga?”
“Tidak,
masih kenyangka’, Tetta.”
Cinta
berlalu, dia menghampiri Mehdi, adiknya yang lagi duduk melantai di depan
lemari pendingin sambil mempermainkan piringnya, menati telur dadarnya siap
dihidangkan. Sambil ikut duduk di lantai di samping adiknya, Cinta bicara ke
arahku.
“Tetta,
saya pakai tas baruku’ tadi ke
sekolah.”
“Tas
baru yang mana? Siapa belikanki’?”
Aku pura-pura bertanya.
“Itue, tas yang warna pink, nabelliyangnga’ mamaku’ kemarin.” Jelasnya dengan logat Makassar yang kental.
“Ada
nabelikanki’ mamata’ tas baru?”
Tanyaku lagi.
“Ada
dong, hadiah ulang tahunku.” Jawabnya sambil tersenyum ceria.
Sambil
meniriskan telur dadar yang sudah matang, aku melanjutkan cerita dengan Cinta.
“Sudah
maki’ bersyukur, Nak?”
“Bersyukur
apa, Tetta?”
“Bersyukur
karena ulang tahunki’ dan nabelikanki’ tas, Mama.”
“Belumpa’ Tetta, hehehehe..... Marahki Allah kalau tidak bersyukurki’?” Waduh, pertanyaanya mulai agak
sudah nih.
“Iyye’,
kalau tidak bersyukurki’ pasti marahki Allah, Nak.” Jawabku sekenanya.
“Memang(nya),
nalihatka’ Allah,Tetta?” Ah, Cinta, pertanyaanmu makin sulit, Nak.
“Iyye’,
Allah Maha Melihat, Nak.”
“Besar
matana Allah, Tetta? Bisa nalihat semuana?” Bagaimana aku menjawab pertanyaan ini dengan penjelasan yang
sederhana dan bisa dia mengerti? Plisssss....
Aku
tak langsung menjawab pertanyaan Cinta yang terakhir, aku memilih melayani
Mehdi yang sudah menanti dari tadi, aku menambahkan kecap ke atas telur dadarnya.
“Tetta,
nalihatki’ juga Allah, Tetta? Semuana?”
Cinta terus memburuku, dia membutuhkan jawaban.
“Iyye’
Nak, Allah Maha Melihat..... Allah juga Maha Besar.” Aku menjawab seadanya,
sambil mencari penjelasan yang lebih tepat.
“Ooooo....”
Cinta terlihat melongo, aku berdoa, semoga tak ada pertanyaan lanjutan.
Tapi
ternyata, doaku kali ini sangat tidak makbul, Cinta melanjutkan kalimatnya.
“Tapi
kenapa tidak kulihatki Allah, Tetta? Na besar sekali? Sembunyiki
Allah, Tetta?” Cecar Cinta.
Aku
terdiam, cukup lama, kesulitan menemukan penjelasan yang tepat. Tiba-tiba,
Mehdi dengan gaya bicaranya yang masih cadel, nyeletuk.
“Cembunyiti Allah, Tetta. Cecilti mataNa, jadi tidak telihatangngi”.
Ternyata dari tadi Mehdi menyimak percakapanku dengan kakaknya dan dia berpikir
bahwa Allah tidak kelihatan karena Dia sembunyi, dan mataNya juga kecil.
“Kecil
mataNya Allah, Tetta?” Cinta terpengaruh oleh celetukan adiknya. Aku yang kian
bingung harus menjawab seperti apa.
“Iyya,
Cecilti mataNa.” Mehdi kembali berkomentar sambil mencomot telur dadarnya
sedikit demi sedikit.
“Oooo...
Naintipki’ Allah,Tetta?” Wow, lagi-lagi Cinta terpengaruh oleh komentar
adiknya.
“Iyya,
naintipti’ dayi jendeya.” Malah Mehdi yang kembali menimpali bahwa Allah
mengintip mereka dari jendela.
Kukuatkan
batin, aku mencoba menjawab.
“Tidak,
Nak. Allah Maha Besar dan Maha Melihat, Dia tidak sembunyi, tidak mengintip
juga!” Jawabku dengan suara ditegas-tegaskan. Aku menncoba menunjukkan otoritas
karena kesulitan menemukan jawaban yang tepat. #Modus, hehehehehe.....
“Kenapa
pale’ tidak kulihatki Allah, Tetta?” Cinta masih saja terus
memburu jawaban.
“Itu
karena Allah terang sekali, Nak. Silau mata kalau dilihatki.”
“Jadi
tidak bisa dilihat Allah, Tetta?”
“Iyye’,
Nak. Allah itu terang sekali cahayaNya, jadi tidak bisa dilihat.”
“Oooooo....”
Cinta cuma mengucapkan itu, lalu beranjak meninggalkan dapur.
“Oooooo....”
Mehdi mengikuti ekspresi kakaknya, dan ikut beranjak dari dapur.