[27.10.2014] Banyak orang yang
bilang bahwa masa SMU adalah masa merah jambu.
Masa di mana kita mulai
beranjak dewasa, sudah bisa menentukan pilihan tanpa aturan ketat dari orang
tua. Di masa SMU inilah kita mulai merasakan virus merah jambu itu meyerang.
Jantung berdebar-debar ketika ditatap oleh lawan jenis, apalagi kalau yang
menatap itu kece, pipi ikut merona jadinya.
Tapi Fana tidak begitu peduli
dengan semua itu.
Fana menganggap itu sekedar
gosip dari orang-orag yang nggak punya kerjaan. Bagi Fana, masa SMU adalah masa
belajar, belajar serius.
Apalagi sekolahnya di madrasah
Aliyah, sekolah agama.
Itu hanya bertahan satu tahun.
Di awal tahun kedua, pas naik
kelas, virus merah jambu itu mulai menyerangnya. Fana tak mampu menyangkalnya.
Geletar aneh itu mulai menyerangnya ketika seorang cowok, murid baru pindahan
dari pesantren ditempatkan di kelasnya. Belum semingu kenalan, dia sudah berani
mengungkapkan perasaannya pada Fana.
Fana jadi bimbang.
Asa hati tak menentu.
Mungkinkah ini yang namanya
cinta?
Tanya Fana dalam hati.
* *
* * *
Suara motor terdengar
dimatikan.
“Assalamu ‘alaikum.”
Yani masuk rumah dan langsung
masuk kamarnya setelah terlebih dahulu mencium tangan ibunya.
“Yani masuk dulu, Ma.”
Ibunya hanya mengangguk
mengiyakan.
Fana dan sang ibu menatapnya
keheranan sampai Yani menghilang dari balik pintu kamar. Keduanya saling
berpandangan.
“Apa nggak salah tuh, ma?” Fana
bertanya keheranan.
“Iya, ya, mama juga keheranan,
sejak kapan kakakmu kayak gitu.” Jawab sang ibu tak kalah herannya.
Memang, sore itu penampilan
Yani lain dari sebelumnya. Celana jeans ketat, baju kekecilan dan jilbab mini
dari bahan kaos yang selama ini menyertainya, sudah hilang, diganti dengan baju
terusan yang berwarna lembut dipadu dengan jilbab berwarna senada.
Yani kelihatan lebih anggun
dengan pakaian model barunya tapi tetap saja mengherankan Fana dan ibunya.
“Apa yang terjadi dengan
kakakmu Fana? Kok tiba-tiba dia berubah seperti itu?” Ibunya balik bertanya ke
arah Fana.
“Mana Fana tahu, Ma? Coba saja
tanya sendiri sama kak Yani.” Jawab Fana sekenanya sambil mengangkat bahu.
“Betul juga, nanti ibu
menanyainya pas makan malam. Jangan lupa ingatkan mama, ya?” Seru ibunya sambil
beranjak menuju dapur.
“Beres, Ma.”
Fana tersenyum ke arah ibunya.
Untuk memperturutkan rasa
penasarannya, Fana beranjak menuju kamar kakaknya. Diketoknya pintu kamar yang
didapatinya terkunci.
“Kak Yani, Fana boleh masuk!?”
Teriak Fana dari luar.
“Tunggu sebentar!!! Jawab Yani
dari dalam kamar.
Tak begitu lama, pintu kamar
Yani terbuka.
“Masuk aja Fan, tumben ke
kamar kakak, ada apa?”
Sambil masuk kamar dan
menghempaskan badannya di atas tempat tidur, Fana menjawab,
“Mo ngingetin kak Yani.”
“Tentang apa?” Tanya Yani
penasaran.
“Si Edo sudah dua kali
menelepon ke sini nyari kak Yani.”
“Apasih maunya tuh anak nyari
aku terus?”
“Masak kak Yani nggak ngerti
sih? Eh, kak Edo tuh gagah juga ya?”
“Hus, ngaco kamu!”
“Kakak dari mana aja sih? Kakak
ikut acara apaan, sampai seminggu nginap di luar? Terus kata si Edo, handphone
kak Yani tidak pernah aktif, makanya dia nelepon ke sini cari kakak.”
“Ah, udah deh Fan, sekarang
nggak ada Edo-edoan dalam kamus kak Yani!! Nggak ada pacaran sebelum menikah!!”
“Titik!!!!!”
“Wah kak Yani segitunya.”
“Udah, mending kamu mandi, entar
keburu maghrib. Sholatnya jangan sampai telat.”
“Baiklah…”
Sambil beranjak keluar dari
kamar Yani, Fana masih diliputi rasa penasaran. Kak Yani kok berubah ya?
Biasanya kalau sore begini, capek dari kampus, dia pasti tidur. Shalat aja
dikerjakan kalau sempat, itupun kalau diingatkan sama mama. Sekarang...?? auk
ah elap.
* *
* * *
“Fan… kamu nggak merasa aneh
dnengan tatapan Zul terhadapmu?” Cerocos Rosa suatu pagi di ruang kelas yang
masih lengang.
“Maksudnya?” Tanya Fana.
“Sepertinya dia punya hati deh
terhadapmu.” Jawab Rosa sambil menyikut Fana.
“Ya jelas dong punya hati,
kalau tidak punya, emangnya hantu?”
“Ah, kau Fan, orang seriuas
nih. Maksudku sepertinya dia tuh jatuh cintrong sama kamu.”
“Hi… hi… hi… anak baru itu?”
Fana terpingkal-pingkal
mendengar penjelasan Rosa.
“Dia kan anak alim, dari
pesantren lagi.” Lanjutnya.
“Emangnya kau pikir anak alim
nggak bisa jatuh cinta Fan?”
Tanpa memperdulikan kata-kata
Rosa, Fana berujar,
“Nggak kebayang deh, gimana
pacaran sama dia, nggak kuku aku.”
“Hus, ada-ada aja kau, tapi
kalau benar, gimana?” Tanya Rosa lagi.
“Benar bagaimana maksudmu?”
“Ya, kalau benar Zul suka
padamu?”
Fana terdiam sejenak.
“Mmmm…. gimana ya?”
“Tuh, kan, kamu juga suka
dia?”
Muka Fana merona merah jambu,
dia tersenyum malu.
“Jujur aja non, Zul memang
cakep kok.” Sambil menjawil pinggang Fana, Rosa berlari menjauh.
Fana pura-pura marah dan
mengejar.
Tapi dalam hati berbunga.
* *
* * *
Sore itu, cahaya mentari
begitu indah.
Di teras depan, Yani sedang tadarusan
ba’da ashar, kebiasaan baru yang dilakukannya sejak pakaiannya berubah. Fana
datang mendekat, duduk di samping kakaknya.
Yani menghentikan bacaannya,
ditaruhnya mushaf mini itu di saku bajunya.
“Ada apa, Fan?”
Fana hanya terdian dan
memberengut.
“Kamu ribut di sekolah?”
Fana menggeleng.
“Dimarahi ibu guru?”
“Dapat pe-er sulit?”
“Dijahili teman?”
Semua dijawab dengan gelengan.
“Ayo dong Fan, jangan buat kak
Yani penasaran begini.”
Fana tersenyum.
“Baik, Fana akan cerita, tapi
ada syaratnya, kak Yani sepakat?”
“iya deh, tapi syaratnya, kak
Yani sepakat?” Ujar Yani penasaran
“Kak Yani harus menjawab
pertanyaan Fana.”
“Pertanyaan apa sih?” Yani
makin penasaran.
Fana tertawa penuh kemenangan.
“Kenapa sih Kak Yani tiba-tiba
berpakaian seperti ini, kuno banget, mending seperti dulu, pakai jilbab tapi
tetap trendy.”
Yani tersenyum mendengar
kata-kata adiknya.
“Ayo dong kak, jangan cuma tersenyum.”
Desak Fana tak sabaran.
“Baiklah adikku yang manis.”
“Kak Yani berpakaian kayak
gini, karena yang namanya pakai jilbab itu, yang namanya menutup aurat itu, ya
kayak gini.”
Fana melongo mendengar jawaban
kakaknya.
“Makanya Fana seharusnya
seperti ini juga jilbabnya, kan sudah dewasa, jangan pakai jilbab bongkar pasang
seperti sekarang, ke sekolah pakai jilbab, tapi selain itu, tak pakai lagi.”
Yani tersenyum sambil mengacak
rambut adiknya lembut.
“Tapi Fana belum bisa kak.”
“Loh, kenapa?”
“Belum dapat hidayah, mungkin.”
Jawab Fana sekenanya.
“Fana.... Fana... hidayah tuh
sudah diturunkan Allah, manusia saja yang tak mau menerimanya, justru memakai jilbab
berarti membuka pintu bagi masuknya hidayah itu.”
Mereka terdiam beberapa saat.
“Nah, kakak sudah cerita,
sekarang gantian Fana yang cerita, ada apa?” Tanya Yani.
“Em... gimana ya?” Ujar Fana tersenyum
malu-malu.
“Ayo dong, kok sama kakak
sendiri, malu?” Lagian kita kan sudah sepakat tadi.”
Setelah mikir-mikir sejenak,
Fana berkata,
“Baiklah, Fana akan cerita
sama kak Yani, tapi jangan ketawa ya?”
“Iya deh, Kakak janji.” Jawab
Yani sambil menepuk pundak adiknya.
“Gini kak, beberapa hari yang
lalu, di kelas Fana ada siswa baru...”
“Terus, ada apa dengan siswa
baru itu? Ngegangguin Fana?”
“Nggak begitu Kak, justru dia,
namanya Zul, kirim salam ke Fana lewat Rosa, katanya dia mau jadi pacar Fana. Orangnya
sih gagah, cuma Fana masih ragu.”
“Kenapa harus ragu, Fan?”
Fana tersenyum kegirangan
mendengar kalimat kakanya, dia merasa dapat dukungan.
“Jadi kak Yani sepakat kalau
aku menerima cintanya?”
“Jangan senang dulu non, kakak
menganjurkan agar jangan ragu menolaknya.”
“Ah... kak Yani.... tapi
kenapa?”
“Fana, dalam Islam, pacaran
itu nggak ada.”
“Tapi kan dalam Islam kita
disuruh saling kenal mengenal, dengan pacaran, kenal-mengenalnya akan lebih
mendalam, Kak.”
Yani tersenyum mendengar
kata-kata adiknya.
“Apa memang benar demikian? Apa
tidak sebaliknya? Justru dengan pacaran, kalian tidak akan mengenal dengan baik
karena kalian pasti berusaha saling menjaga image
di depan pacar masing-masing.”
Menghela nafas sejenak.
“Dan yang paling penting lagi,
pacaran th potensi mendekati zinanya sangat besar.”
“Kalau yang itu sih kak Yani
tidak perlu khawatir, Zul itu anaknya alim kak, dari pesantren lagi.”
“Fana.. Fana... emangnya kalau
sudah alim dan dari pesantren, maka sudah boleh nyerempet-nyerempet dosa?”
“Nggak ada jaminannya, kan?”
Fana cemberut mendengar
argumen kakaknya.
“Ah, sudah deh, bicara dengan
kak Yani makin membuat Fana pusing.”
Fana meninggalkan kakaknya
yang masih duduk termangu di teras. Dalam hati, Yani berdoa, Ya Allah berilah
petunjuk-Mu pada adikku.
* *
* * *
Sepulang dari sekolah, di atas
meja belajarnya, Fana menemukan sebuah kado mungil bersampl warna hijau muda. Tanpa
banyak tanya, dibukanya sampl kado tersebut dan didapatinya sebuah buku
berwarna merah dengan judul Kenapa Harus Pacaran?,
yang ditulis oleh Rabiah Al Adawiyyah. Di halaman pertama tertulis sebah pesan
singkat.
Adikku Nur Inayah Saffana
Semoga hadian ini mampu membantumu mengatasi
masalah yang kita bicarakan kemarin.
Di bagian bawah tertera nama
Irfayani Hasanah dengan catatan kecil, “maaf, kakak harus praktik lapang hari
ini”.
Diperhatikannya kembali buku
kecil itu, di covernya tertera sebuah judul nyentrik dan menyentil hatinya
siang itu, Kenapa Harus Pacaran? Ketika
membaca judul itu, dia langsung teringat kejadian tadi pagi di sekolah.
“Hai Fana, kamu dapat surat
nih, dari.....”
Rosa menegurnya pas istirahat pertama.
“Dari siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan si
Zul.”
“Mana suratnya?”
Sambil menyerahkan surat
bersampul merah jambu tersebut.
“Tampaknya dia tuh ngebet
banget deh sama kamu, Fana.”
Fana menerima surat itu dan
langsung dimasukkannya ke dalam tas.
“Nggak dibaca sekarang?”
“Nanti aku baca di rumah.”
“Terserah kaulah, tapi Zul
berpesan, dia ingin suratnya dibalas pas hari valentine nanti.”
Fana diam saja mendengar
kata-kata Rosa.
Sore itu, perlahan
dikeluarkannya surat dari Zul dan diletakkannya di samping buku pemberian
kakaknya.
Surat itu tidak dibukanya.
Aku sudah bisa menebak isinya,
katanya dalam hati.
Diraihnya buku kecil tulisan
Rabiah Al Adawiyyah tersebut dan dibacanya lembar demi lembar.
* *
* * *
Hari ini, 14 februari 2005,
surat balasan dan kado valentine untuk Zul sudah disiapkannya baik-baik, nanti
dia akan menitipkannya lewat Rosa. Pada jam istirahat kedua, baru kado itu
diserahkannya kepada Rosa untuk disampaikan ke Zul.
“Wah, dengan hadiah nih, Fana?”
Fana hanya tersenyum.
“Zul akan gembira banget
melihat hadiah valentine darimu.”
“Apakah ini berarti kamu
menerimanya, Fani?”
“Aku memang yakin bahwa kalian
adalah pasangan yang serasi, jadiannya pas pada hari valentine lagi,
benar-benar romantis.”
Kembali Fana hanya tersenyum
mendengar celoteh Rosa, sahabatnya.
Ketika jam pelajaran usai,
Fana membereska peralatan belajarnya samil bersenandung kecil. Tiba-tiba,
“Apa maksudmu dengan ini semu,
Nur Inayah Saffana!!!?”
Suara Zul menggelegar siang itu.
Untung siswa lain sudah pada
pulang, termasuk Rosa.
“Suratku tidak kau baca, bahan
kau kirim kembali. Eh. Kau kirim lagi buku sampah ini padaku!!!”
Zul membanting buku Jangan Katakan Cinta tulisan Lukman
Haqqani di meja Fana.
Fana hanya diam, diambilnya
buku itu dan ditatapnya Zul dengan tatapan mata tajam.
Zul semakin emosi dibuatnya.
“Kalau memang kau tidak mau
menjadi pacarku, jawab saja tidak, tidak perlu kau jadi sok alim begitu.”
Fana angkat bicara,
“Jaga ucapanmu Zulkifli!! Aku
tidak menyangka kau seperti itu!”
Dengan tetap menatap tajam ke
arah Zul.
“Aku melakukan ini karena aku
pikir kau dari pesantren dan lebih tahu tentang syariat dari aku, tapi nyatanya!!???”
‘Kau tidak ubahnya dengan
cowok lain yang tidak bertanggungjawab, memacari anak gadis orang sampai bosan,
lalu ditinggalkan. Kalau memang berani, kenapa tidak menikah saja?”
Zul hanya ternganga dan tak
mampu berkata apa-apa, dia tidak menyangka Fana akan seberani itu bicara
terhadapnya.
“Aku tahu, kau sebenarnya
mengerti, Zulkifli, bahwa pacaran itu dilarang, tapi kau tetap melakukannya
juga, lalu apa bedanya kau dengan yang lain!!?? Aku menyesal pernah
mengenalmu!!!”
“Assalamu alaikum!”
Fana
meraih tasnya dan meninggalkan Zul sendiri di dalam kelas.
Tags:
Cerita Pendek